x

Substansi

Iklan

Supartono JW

Pengamat
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Sabtu, 12 Maret 2022 16:04 WIB

Politik Etis Ratu Wilhelmina Dasarnya dari Kritik, Banyak Kritik untuk Pemimpin Negeri ini, Tapi Tak Diaggap?

Jauh panggang dari api. Itulah kondisi pemimpin Indonesia terkini, dibanding Ratu Wilhelmina yang Negarawan. Tahu balas budi, tahu moral. Bila Van Deventer masih hidup dan mengkritik Pemerintah + Parlemen Indonesia yang SATU BADAN, mustahil mereka akan tersentuh hati dan pikirannya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sekadar mengulang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Politik itu maknanya pengetahuan mengenai ketatanegaraan atau kenegaraan (seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan). Politik juga berarti segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan negara atau terhadap negara lain. Politik artinya juga cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah), kebijaksanaan.

Tapi mengapa banyak rakyat yang langsung antipati bila rakyat yang lain bicara politik di berbagai ruang, baik di dunia nyata atau pun dunia maya? Padahal manusia hidup di dunia, pasti memakai politik dalam segala urusan dan berbagai sendi kehidupan?

Karena sikap rakyat yang antipati pada urusan politik, terutama politik para pencari dan perebut kekuasaan, para elite dan partai politik, pantas saja berbagai masalah terus mendera rakyat Indonesia akibat dari ulah siapa? Di sisi lain, banyak pula rakyat yang masih naif, karena memang dibikin begitu, maaf, jadi tetap lugu dan bodoh.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Maka, rakyat hanya jadi obyek politik. Hanya dijadikan kendaraan ambisi kekuasaan. Kekuasaan belum berakhir, sudah dibikin wacana tunda pemilu dan nambah waktu jabatan Presiden dengan incaran mengubah konstitusi, lagi-lagi rakyat dijadikan kambing hitam.

Sebelumnya, rakyat juga terus jadi korban kerakusan. Minyak goreng sampai langka padahal ini negeri rayuan pulau kelapa, negeri jajahan kelapa sawit. Siapa yang bermain? Mengapa ada partai politik yang malah bagi-bagi minyak goreng? Sampai kapan mereka rakus dan hanya membalas budi pada junjungannya?

Ingat Ratu Wilhelmina

Situasi negeri dan sikap rakyat yang masih seperti sekarang, saya jadi ingat Ratu Wilhelmina, ingat Politik Etis=Politik Balas Budi untuk pribumi.

Sebagai pengingat, Politik Etis memang melahirkan dua hal. Positif dan negatif. Positifnya ada efek untuk rakyat pribumi dan Indonesia. Negatifnya, dalam praktiknya, tetap ada yang dibikin hanya untung menguntungkan Belanda.

Namun demikian, dalam artikel ini, saya akan mengulas hal positif saja. Sebab dampaknya cukup signifikan untuk kemajuan Indonesia.

Andai C. Th. Van Deventer masih hidup, lalu melihat kondisi Indonesia terkini, bisa jadi beliau akan mengkritik pemerintah Indonesia yang terus hanya memanfaatkan rakyat jelata untuk kepentingannya, dan mungkin memang sengaja bikin rakyat jelata tetap bodoh dan menderita, agar tetap ampuh dijadikan obyek dan tujuan politik kekuasaannya. Sayang, C. Th. Van Deventer sudah tidak ada, pun dia orang Belanda.

Siapa C. Th. Van Deventer?

Rakyat Indonesia yang belum tahu, wajib memahami bahwa C. Th. Van Deventer adalah tokoh Belanda yang mengkritik Pemerintahan Belanda saat itu. Atas kritiknya, Pemerintah Belanda akhirnya membuat kebijakan Politik Etis yang dikeluarkan oleh Ratu Belanda Wilhelmina pada 1899.

Sebabnya, melalui tulisan di majalah De Gids pada 1899, berjudul Een Eereschlud (satu hutang kehormatan), karena Pemerintah Belanda telah begitu lama mengambil untung besar dari wilayah jajahan, sementara rakyat pribumi menderita, membikin pikiran dan hati Sang Ratu tergerak.

Akibat membikin rakyat Indonesia menderita, Pemerintah Belanda memiliki kewajiban moral untuk melakukan balas budi melalui kesejahteraan penduduk. Maka, dibuatlah kebijakan Politik Etis oleh Sang Ratu Belanda pada awal abad ke-20.

Betapa luar biasanya C. Th. Van Deventer, karena mengkritik hanya melalui artikel, tapi manjur menyentuh hati dan pikiran kemanusiaan terdalam Sang Ratu. Tidak perlu pakai unjuk rasa atau demontrasi segala. Setali tiga uang, betapa hebat Sang Ratu Wilhelmina, karena sangat rendah hati dan berbesar hati menerima kritik Van Deventer, hingga lahir Politik Etis. Ini adalah cermin kecerdasan intelegensi dan personaliti keduanya. Pun Ratu Wilhelmina bukan sekadar Ratu, tapi Negarawati.

Politik Etis

Politik etis atau politik balas budi adalah pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang tanggung jawab moral bagi kejahteraan bumi putera. Dalam Politik Etis, ada tiga program utama yaitu irigasi, edukasi, dan emigrasi (transmigrasi).

Melalui program kebijakan tersebut harapannya dapat membawa perubahan besar terhadap kemajuan di Hindia Belanda. Meski dalam praktiknya, tetap disalahgunakan untuk kepentingan dan keuntungan pemerintah Belanda, Politik Etis Ratu Wilhelmina tetap memberikan dampak positif bagi pribumi.

Program irigasi, jelas sampai sekarang masih ada jejaknya dan jadi pedoman untuk sistem pengairan pertanian di Indonesia. Untuk program transmigrasi, juga ada jejaknya, ada hasilnya. Meski kini urbanisasi tetap lebih menang.

Dalam bidang pendidikan, tentu rakyat Indonesia yang terdidik, pernah tahu sejarah bahwa dulu, dari Kebijakan Politik Etis, awalnya pendidikan hanya diperuntukkan bagi anak-anak pegawai negeri dan penduduk yang mampu saja.

Tetapi tetap melahirkan sekelompok kecil intelektual bumiputra yang memiliki kesadaran, jika rakyat bumiputra harus mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain untuk mencapai kemajuan.

Hasilnya, berkat tokoh-tokoh tersebut, lahirlah zaman baru Indonesia, zaman pergerakan nasional. Karena lahir golongan terpelajar dan terdidik. Muncul organisasi-organisasi modern seperti Budi Utomo dan Sarikat Islam. Hebatnya lagi, para intelektual bumiputra tersebut tidak memandang suku, ras, agama dan perbedaan. Mereka lebih merasa bersama sebagai kaum bumiputra yang tertindas.

Yang perlu dicatat, perjuangan di masa Pergerakan Nasional dilakukan melalui pembentukan organisasi-organisasi yang diinisiasi oleh tokoh-tokoh seperti Wahidin Sudirohusodo, Sutomo, Gunawan, Cipto Mangunkusumo, R.T. Ario Tirtokusumo, Samanhudi, atau Ki Hajar Dewantara.

Mereka membentuk organisasi yang dibentuk tidak hanya terbatas bergerak dalam bidang politik tapi juga pendidikan dan sosial hingga menumbuhkan banyak sekolah dan lembaga pendidikan di Hindia Belanda di abad ke-20.

Berkah kebijakan Politik Etis, saya ulang, yaitu lahirnya pergerakan nasional pada pada abad ke-20 sebab adanya peran penting pendidikan yang berdampak tumbuhnya organisasi-organisasi di berbagai bidang seperti politik, sosial dan agama, yang memiliki semangat sama, yaitu mengedepankan kemajuan, persatuan dan kesatuan bangsa.

Lahir kesadaran baru di kalangan terpelajar Indonesia bahwa perjuangan menghadapi kolonial harus dilakukan dengan cara yang berbeda dengan sebelumnya, yaitu berjuang dengan cara modern lewat kekuatan organisasi. Tidak bergantung pada seorang pemimpin, bersifat nasional, memiliki visi bersama jauh ke depan berupa kemerdekaan.

Perjuangan tidak dalam bentuk fisik, tetapi dalam bentuk suatu gerakan, mendorong beberapa peristiwa yang terjadi di berbagai wilayah dunia, menginspirasi para anak muda terpelajar Indonesia untuk membangkitkan nasionalisme Indonesia dalam mengusir penjajah kolonialisme.

Apa politik penguasa sekarang?

Bila Van Derventer masih hidup, lalu menulis kritikan kepada Pemerintah Indonesia sekarang, yang juga terus membikin rakyat menderita, apakah pemimpin negeri ini akan bijak seperti Ratu Wilhelmina? Tersentuh hati dan pikirannya, lalu juga tergerak membikin Politik Etis +62, yaitu politik balas budi kepada rakyat jelata yang selama ini terus menjadi korban politik mereka?

Apakah mereka akan mengalihkan balas budinya kepada para pemodal/cukong dan beralih membalas budi kepada rakyat yang hanya diambil suaranya demi meraih kursi kekuasaan. Terus membikin rakyat bodoh dan menderita, terus membiarkan dan mengabaikan kritikan kaum cerdik cendekia, kaum intelektual, kaum terpelajar, demi ambisi balas budi kepada junjungannya.

Terus satu pikiran dan hati membikin kebijakan dan peraturan atas nama rakyat bahkan sampai mau mengubah konstitusi demi kekuasaan?

Rakyat hanya objek, sadarlah

Jauh panggang dari api. Itulah kondisi pemimpin Indonesia terkini, dibanding Ratu Wilhelmina yang Negarawan. Tahu balas budi, tahu moral. Bila Van Deventer masih hidup dan mengkritik Pemerintah + Parlemen Indonesia yang SATU BADAN, mustahil mereka akan tersentuh hati dan pikirannya.

Entah sampai kapan rakyat Indonesia hanya dijadikan objek politik tanpa mendapatkan kesejahteraan dari para pelaku politik tanah air. Pasalnya, politik mereka memang bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan.

Saat ini, mereka terus mengejar strata sosial untuk meraih keuntungan individu dan kelompok, bukan mengedepankan kesejahteraan masyarakat yang mereka jadikan objek politik.

Kapan mereka sadar dan terpikir balas budi yang nyata untuk rakyat. Bukan melakukan segala sesuatu atas nama rakyat, tapi rakyat cerdas, rakyat intelektual Indonesia, tahu sejatinya mereka hanya melayani dan membalas budi kepada siapa?

 

Ikuti tulisan menarik Supartono JW lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB