x

Seorang guru yang sedang mengajar

Iklan

dudung solahudin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 November 2021

Senin, 14 Maret 2022 07:59 WIB

Memperbaiki Diri

cerpen memperbaiki diri adalah kisah seorang anak yang tidak mau menjadi seorang guru. mempunyai Ayah seorang pensiunan guru di Madrasah Ibtidaiah. ayah begitu lelah mengajar, apalagi saat itu belum banyak kendaraan. Ayah terkadang berjalan kaki yang berjarak kurang lebih  dua kilo meter menuju Madrasah tempatnya mengajar. seorang ayah yang menjadi inspirasi menjadikannya seorang guru dengan tujuan memperbaiki diri.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

 “Manfaatkan ilmu yang ada,” ucap ayahku suatu hari. 

Salah satu nasihat sekaligus instruksi ditujukan khusus kepadaku agar aku meneruskan ayahku menjadi seorang guru. Setelah aku tidak lulus ujian masuk perguruan tinggi negeri aku di tawari mengajar di sekolah tempat ayahku mengajar,.

Ayahku seorang pensiunan guru di Madrasah Ibtidaiah. Setiap hari kulihat ayah begitu lelah mengajar, apalagi saat itu belum banyak kendaraan. Ayah terkadang berjalan kaki yang berjarak kurang lebih  dua kilo meter menuju Madrasah tempatnya mengajar.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Kamu harus terus mengajar dan menjadi guru,” ucap ayah dengan nada tinggi.

Ucapan ayahku itu seperti memaksaku agar bertahan menjadi seorang guru disaat aku sudah mulai bosan setelah kurang lebih 2 tahun aku menuruti keinginan ayahku mengajar. Nasihat itu seperti keputusan Tuhan yang tidak bisa dibantah. Membantah berarti aku dicoret dari anggota keluarga.

“Aku tidak mau menjadi guru, aku mau bekerja di PT,” ucapku lirih.

Kalimat itu ku ucapkan sekaligus minta persetujuan kepada ayah dengan setengah memaksa. Karena aku sudah merasa jenuh dengan pekerjaanku tersebut.

Suasana hening, tidak ada jawaban satu kata pun dari ayah. Aku hanya terdiam sambil menundukkan kepala pertanda takut dan bersiap-siap menerima murka ayahku.Tetapi aku salah menduga. Ayah tidak marah.

“Baiklah jika memang itu keinginanmu, ayah tidak akan memaksa saat ini. Ayah hanya menginginkan kamu melanjutkan profesi ayah sebagai guru,” lirih ayahku. Kepalaku masih tertunduk tidak berani mengangkatnyakhawatir nanti mendadak ayah marah setelah bicara pelan.

Aku baru mengangkat kepalaku setelah aku yakin ayah telah berlalu dihadapanku. Karena aku tidak pernah berani menatap ayahku ketika sedang membicarakan sesuatu apalagi jika pembicaran kami sedikit pelik.

Aku tidak bisa membohongi diriku sendiri, menjadi guru berat bagiku karena aku merasa tidak akan mampu melaksanakan profesi itu dengan maksimal. Kata orang guru itu di ikuti dan ditiru. Sedangkan aku masih suka nongkrong dan belum bisa menjadi teladan bagi murid-muridku nanti. Ditambah lagi usiaku baru dua puluh tahun. Menjadi seorang guru berarti harus menjadi seseorang yang dijadikan teladan dalam perilaku. Baik di depan murid-muridku maupun di masyarakat. Berbagai lamunan itu semakin membuatku yakin berhenti menjadi seorang guru.

Berbeda dengan ayahku yang sudah pengalaman bagaimana caranya mendidik murid-muridnya, dengan usianya yang cukup tua ayahku tampak berwibawa di hadapan murid-muridnya. Tapi tidak hanya di depan murid-muridnya, di masyarakat pun, ayah di hormati dan di segani. Ayah seorang yang bijaksana, tegas tapi tidak keras, nasihatnya ditunggu semua orang dan luwes dalam bergaul.

“Aku tidak akan bisa menjadi guru,” bisikku dalam hati.

“Fay, ke Bekasi yu,” teriak kakak ku dari jauh membuatku kaget.

“Ada apa ke Bekasi?” sahutku sambil keheran-heran dengan ajakan kakakku yang tiba-tiba itu.

Kakakku mendekat sambil berujar,“ Kemarin ayah bilang katanya kamu mau berhenti  mengajar.”

“ Terus?” sambungku.

“Kamu kerja bersama kakak saja di PT.”

Aku tidak menjawab. Aku masih bingung dengan keputusanku kemarin di hadapan ayah. Aku belum siap meneruskan menjadi seorang guru, di sisi lain ayahku sangat mengharapkanku agar menjadi penerusnya sebagai seorang guru, aku tidak tahu kenapa ayah begitu memaksanya agar aku tidak berhenti menjadi seorang guru.

Esok nya aku menghampiri ayahku yang sedang duduk santai di ruang tamu sambil membaca sebuah Koran dan sebatang rokok yang tinggal sedikit di tangan kirinya. Aku duduk berhadap-hadapan di pisahkan dengan meja tamu yang diatasnya ada segelas kopi dan asbak terbuat dari tanah liat yang bentuknya bulat.

“Boleh aku ikut kakak ke kota Bekasi?” ucapku pelan. Sambil sesekali kulihat rokok ayah semakin pendek karena bekas isapannya.

“Silahkan,” jawabnya singkat tanpa memandangku. Sambil  sibuk membaca koran.

“Terima kasih ayah,” sambil aku berdiri dan meninggalkannya.

Aku masih bimbang dengan apa yang aku putuskan itu. Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Seperti biasa aku bersiap-siap mandi dan pergi ke masjid. Mungkin  di rumah Tuhan aku temukan ilham yang akan membisikan kepada kedua telingaku perihal kebimbanganku antara melanjutkan mengajar atau pindah bekerja bersama kakakku.

Esoknya aku sudah bersiap berangkat ke Bekasi dengan membawa pakaian seperlunya dan beberapa berkas lamaran kerja yang akan aku berikan kepada personalia PT tempat kakaku bekerja.

“Besok mulai kerja, nanti sekretaris saya yang akan memberikan tugas selanjutnya,” ucap personalia sambil menjabat tanganku, pertanda aku diterima kerja di perusahannya.

Dua bulan sudah aku bekerja di tempat baru. Gajiku lumayan besar untuk sekedar membeli keperluan sendiri. Dan sesekali mengirim uang untuk ayahku di kampung.

Namun, keadaan itu tidak berlangsung lama. Seolah ada bisikan yang membuatku teringat nasihat ayah. Aku harus kembali mengajar. Aku harus meneruskan keinginan ayahku menjadi seorang guru. Menjadi guru bukan sekadar mengajar, menjadi guru bukan sekadar menjadi pendidik. Tapi menjadi guru bagian dari upaya memperbaiki diri. Saat itu juga aku berniat pulang besok.

“Kak, aku besok mau pulang,” ucapku pelan.

Kakakku tidak bisa menahan niatku untuk pulang dan mengundurkan diri dari pekerjaanku karena sejak awal kakakku paham kondisiku.

Besoknya aku pulang menemui ayah dengan harapan ayah masih mau menerimaku kembali mengikuti cita-cita ayahku menjadikanku seorang guru.

“Alhamdulillah, semoga Tuhan menguatkan niatmu untuk tetap menjadi seorang guru,” ucap ayah pelan. Aku hanya mengangguk pertanda aku siap dan setuju dengan niatku untuk menjadi seorang guru. Ayah pun terlihat senang dan berkaca-kaca seolah-olah berkata do’anya di kabulkan Tuhan agar aku mau menjadi seorang guru.

Hari pertama aku kembali mulai mengajar. Seperti pada umumnya seorang guru harus menyiapkan perangkat pembelajaran sebelum masuk kelas. Perangkat pembelajaran merupakan rencana bahan ajar yang akan disampaikan kepada murid di kelas termasuk didalamnya metode, media pengajaran dan lainnya yang berkaitan dengan Proses Belajar Mengajar.

“Bagaimana kabar mu?” tanya ayahku sambil tersenyum bertanya kepadaku di sela-sela makan siang.

“Alhamdulillah, menyenangkan,” tutur ku sambil asyik melahap makanan yang sudah disediakan oleh ibuku.

“Menjadi guru itu bertujuan memperbaiki diri, tidak semata-mata mengajar di kelas saja,” tutur ayahku suatu hari.

“Iya, terima kasih ayah telah memberikan nasihat,” jawabku.

Empat tahun sudah aku mengajar, terasa asyik kurasakan. Menjadi pendengar yang baik setiap unek-unekyang di keluarkan oleh murid-muridku. Memberikan jalan keluar setiap permasalahan mereka. Dunia terasa indah ketika kita mampu memberikan kegembiraan kepada orang lain termasuk murid-muridku.

Sebelum berangkat ke sekolah, aku sempatkan untuk selalu mengecek perangkat pembelajaran yang telah ku siapkan semalam. Setiap akuhendak Mengajar, aku selalu memilih metode yang akan ku gunakan di kelas nanti. Metode mengajar yang pernah aku pelajari di bangku kuliah. Memilih metode mengajar dan menyiapkan materi pelajaran yang akan disampaikan dimaksudkan agar tercapai tujuan pembelajaran.

Kini aku disibukkan dengan banyak membaca dan menambah wawasan tentang cara mengajar. “Menjadi seorang guru adalah memperbaiki diri,” bisikku dalam hati. Pesan ayahku itu selalu ku ingat dan kusimpan di memoriku dalam mengiringi setiap langkahku.

Benar apa yang dikatakan ayahku beberapa waktu lalu bahwa menjadi guru diniatkan untuk memperbaiki diri menjadi insan yang bisa mengetahui kekurangan diri kemudian mengakui kekurangan itu. Seorang guru harus mampu mengetahui potensi diri agar bisa dikembangkan menjadi lebih baik. Seorang guru jangan bosan untuk terus meningkatkan kualitas diri dengan menambah jam belajar.

Kebiasaanku nongkrong yang tidak jelas tidak lagi kulakukan karena aku sadar dengan profesiku sekarang. Aku lebih sering membaca buku dan sesekali berselancar di dunia maya untuk sekadar melihat-lihat informasi yang berkaitan dengan belajar dan mengajar.

Aku teringat ucapan seorang kiai yang sudah sepuh berujar bahwa, “Jika menjadi seorang guru haruslah sabar menghadapi tingkah dan perilaku murid-murid karena mereka adalah bagaikan benih yang akan tumbuh menjadi sebuah pohon dan berakar kuat serta berdaun rindang.”

Menjadi seorang guru berarti mempunyai tugas yang mulia agar murid menjadi orang yang berkarakter dan berkepribadian kuat.

 

 

Ikuti tulisan menarik dudung solahudin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler