x

Iklan

Orang Kubus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 15 November 2021

Senin, 28 Maret 2022 06:52 WIB

Nanohana, Bunga yang Sedang Mekar

Sebuah cerita tentang dilema yang dihadapi seorang Remaja.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Saat itu aku masih duduk di kelas 2 SMA. Aku yang duduk di bangku yang paling depan itu, aku yang sering berbicara di kelas, dan aku yang selalu mengerjakan tugas. Aku mendominasi kelas dan orang-orang menyebutku bahwa masa depanku akan cerah dan akan menjadi orang sukses. Aku menerima semua pujian itu tapi jauh di dalam hatiku, aku menyangkal semua pernyataan itu. Aku mungkin bisa dibilang seperti itu tapi masalah yang menerpa diriku mungkin sedikit rumit.

Pada malam hari, memori buruk yang ada di kepalaku berputar. Mereka menyerang diriku dari segala arah. Aku seperti tenggelam di lautan yang dalam dan tidak bisa kembali ke permukaan, setiap aku berusaha keluar maka kekuatan yang ada dari dalam menarikku hingga akhirnya aku tidak bisa apa-apa.  Aku tenggelam dalam memori yang buruk setiap malam dan hanya sedikit yang mengetahui diriku yang sebenarnya.

Setiap malam aku juga terus bertanya, apakah diriku memang seburuk ini? Aku yang selalu membaca buku, aku yang dianggap akan sukses di masa depan, dan aku yang tidak tahu arah tujuanku yang jelas. Aku kehilangan arah dan tidak tahu tahu harus kemana. Tidak ada tempat bersandar atau beristirahat dan anehnya aku malah memutar memori itu. Memori yang seharusnya tidak boleh kuputar hingga nanti.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Hingga akhirnya pada suatu pagi, setelah hujan membasuhi tanah dan tumbuhan. Aku melihat perempuan itu, perempuan yang masuk ke kelasku secara tiba-tiba. Lalu ia memperkenalkan dirinya sendiri, namanya adalah Nanohana diambil dari sebuah bunga berwarna kuning dan bermekaran pada musim semi, orang-orang lalu memanggilnya sebagai Hana atau Nano. Saat dia berjalan melewati mejaku, aku sangat tertarik kepadanya. Aku melihatnya  dan wajahnya terlihat manis serta anggun.

Aku mengaguminya dari jauh, aku melihatnya dari jauh, dan aku mencoba mendekatinya. Tapi, di saat aku mulai mendekatinya memori burukku kembali berputar hingga aku mundur secara perlahan-lahan. Saat hari itu tiba aku hanya memulai percakapan biasa saja, tidak ada yang menarik dalam percakapan itu. Kegagalan total adalah kata yang pas pada percakapan itu hingga akhirnya saat ia pulang ke rumahnya, aku tidak mengucapkannya.

Malam hari setelah itu adalah malam yang sangat kubenci. Aku menulis sesuatu di kertas dengan menggunakan pensil, tapi di dalam benakku penuh dengan perasaan marah, benci, dan takut. Tidak tahan dengan semua itu aku melempar kertas dan juga pensil ke lantai dengan sangat keras hingga mengeluarkan suara yang sangat nyaring di kamar. Aku berteriak sejadi-jadinya, memori itu terputar lagi sembari dengan ada bisikan "Kamu gagal. Kamu Gagal. Kamu Gagal," Ucap seseorang di dalam benakku secara berulang-ulang.

Sejak saat itu Hana melihat ada yang salah kepadaku. Aku selalu menghindarinya saat ia ingin berbicara kepadaku. "Tsuchi. Hey, Tsuchi. Dengarkanlah aku," Ucap Hana saat aku berada di Perpustakaan tapi aku memalingkan pandanganku. "Tsuchi, lihatlah aku. Tsuchi bagaimana dengan bajuku ini," Seru Hana memamerkan gaunnya tapi aku hanya diam dan hanya memandangnya. Hana, ia selalu mencoba memancingku untuk berbicara tapi aku hanya diam seperti patung. Aku adalah manusia yang menyedihkan tapi agak aneh bila seorang Gadis menjadi seorang yang aktif kepada seorang anak laki-laki dan aku hanya diam.

Sikap itu aku pertahankan sampai aku duduk di kelas 3. Aku bersikap sama saja seperti saat di kelas 2. Aku takut gagal dan gagal lagi, mereka semua menghantuiku. Tapi, semakin sering aku mengacuhkan Hana, ia malah semakin memancingku untuk berbicara padanya. Puncaknya adalah saat satu hari sebelum hari kelulusan tiba lebih tepatnya pada saat malam hari, aku bermimpi melihat diriku bersama Hana. Di sebuah Taman yang penuh dengan bunga yang berwarna-warni, tanah yang sangat busur dan ditanami oleh barbagai tanaman, dan mata air yang mengalir dengan bersih di Taman itu. Semuanya nampak sempurna dimana cahaya langit dari mentari menyinari kami berdua, Hana memegang jari jemariku sembari tersenyum kepadaku. Tapi, setelah Hana tersenyum kepadaku, secara tiba-tiba tubuhnya berubah menjadi Bunga Nanohana yang berwarna kuning. Aku kebingungan mencari Hana lalu berteriak memanggil Hana.

"Hana! Hana! Hana! Dimana kamu?!" Teriakku sembari berlari-lari kesana kemari tanpa tujuan yang jelas. Perasaan takut kembali menghantuiku, aku lalu menangis. Menangis karena kehilangan harapan tapi 'tak berselang lama aku lalu melihat sebuah entitas muncul di hadapanku. Sebuah entitas yang berjubah putih dan bercahaya, ia bersayap dan di lengan kirinya memegang sebuah pedang. Apakah itu seorang Malaikat?

Pada mimpi itu, ia menyodorkan tangan kanan seolah-olah ingin memberikan sebuah pesan kepadaku. Wajahnya memang tidak terlihat, aku tidak melihat mata ataupun hidungnya. Tetapi, aku bisa merasakan apa yang ia sampaikan, yakni "Beranilah, Tsuchi." Aku lalu memegang tangan dari Malaikat itu dan tidak lama setelah itu bunga-bunga bertebangan. Mengitariku dan entitas yang tidak kuketahui di depanku. Aku lalu terbangun dari mimpi ini, sebuah mimpi yang sangat indah. Tapi, aku merasa yakin bahwa ini adalah saatnya dan dengan keberanianku yang tersisa aku akan mengatakannya.

Aku lalu pergi ke sekolah, berjalan kaki menuju Stasiun kereta dan di saat aku berdiri untuk menunggu kereta sampai. Aku melihat Hana dengan seragam kelulusannya berdiri di depanku dan tersenyum manis kepadaku, aku membalasnya dengan senyuman canggung dan melambaikan tangan kananku. Setelah itu Kereta sampai di Stasiun dibarengi dengan suara pengumuman di Stasiun, aku masuk ke Kereta itu dan berdiri di samping Hana.

 

"Selamat pagi, Tsuchi," Salam Hana kepadaku dengan agak meloncat ke arahku.

"Pagi juga, Hana."

 

Kereta lalu berjalan dengan kecepatan penuh, memberangkatkan kami menuju Sekolah yang telah membina kami selama 3 tahun. Berat memang meninggalkan itu semua tetapi itu adalah bagian dari hidup kami yang berharga. Kala itu juga, langit terlihat mendung dan sepertinya akan turun hujan walaupun begitu aku harap itu tidak akan terjadi. Tidak lama setelah itu Kereta berhenti dan pengunguman terdengar di seluruh gerbong. Aku dan Hana segera keluar dari gerbong dan berjalan menuju Sekolah.

 

Saat di perjalanan aku membelakangi Hana. Perasaan malu, sedih, dan marah membumbui diriku dan seolah-olah jiwaku diaduk-aduk. Aku tidak tahu kapan aku harus mengatakannya, aku lalu menunduk. Kalimat itu terus bertebangan di kepalaku.

"Hana, aku menyukaiku."

"Hana, aku mencintaimu."

"Hana. Hana. Hana serta Hana," Pikirku dengan agak menunduk.

Aku lalu berhenti berjalan tepat di sebuah Taman untuk menuju ke Sekolah. Aku menunduk, aku malu, dan aku dipenuhi dengan masalah batiniah. Tapi, sejenak aku membayangkan bila hidup bersama dengan Hana. Membayangkan kehidupan yang indah bersama dengan dia, lalu aku mengumpulkan keberanianku yang tersisa. Keberanian yang mungkin hanya ada beberapa tetes saja bila diubah menjadi air.

 

“Hana.”

“Ya ada apa, Tsuchi?” Ucapnya. Hana berhenti berjalan, ia lalu membalikan badannya. Lalu kulihat penampakan Hana dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Hana terlihat sangat lucu memakai seragam itu tapi aku justru semakin malu akan tetapi ini adalah saatnya.

“Hana. Aku. Aku menyukaimu!” Teriakku sambil aku menunduk dengan mata tertutup seolah-olah aku memohon untuk menerimanya.

“Kau tahu, Tsuchi,” Ucap Hana. Aku lalu membuka mata lalu berdiri dengan tegap.

“Malaikatku sepertinya telah menyampaikan kabar yang benar. Aku sudah menunggu ini sejak lama. Terimakasih, aku menerima dirimu.”

 

Langit menjadi cerah setelah itu, dibarengi dengan awan yang membuka sinar mentari. Angin lalu berhembus di Taman dan menerbangkan bunga-bunga yang sedang mekar di musim semi, bunga-bunga itu pula bertebangan mengelilingi kami. Hana tersenyum dengan sangat manis kepadaku, ia lalu menyodorkan lengan kanannya kepadaku. Aku lalu dengan perlahan-lahan lalu memegang tangannya setelah itu ia menarik lenganku untuk pergi menuju ke Sekolah. Aku hampir saja terjatuh saat Hana menarik lenganku tapi senyumannya sangat menghangatkan hatiku. Sejak itu aku pikiranku tidak lagi memutar memori buruk itu lagi, aku telah terbebas.

 

Hingga pada akhirnya, kami berdua sampai di Sekolah. Upacara kelulusan akan segera dimulai, kami lalu diarahkan untuk menuju Aula yang dimana Kepala Sekolah membacakan pidatonya di hadapan seluruh siswa kelas 3. Kami menyanyikan lagu perpisahan dan kebetulan aku berada di samping Hana, aku menggenggam tangannya dengan erat seolah-olah ini adalah hari terakhir kali kami bisa bertemu. Setelah kegiatan kami di Aula selesai, aku lalu pergi ke kelas. Aku mengucapkan salam perpisahan kepada teman-temanku serta para guru dan berswafoto bersama dengan rekan-rekan lainnya. Langit menyinari Sekolah kami, udara sejuk pagi hari kami hirup bersama-sama. Aku berhasil di SMA tetapi yang kurasakan itu hampa bila tanpa kehadiran Nanohana. Nanohana yang paling kukasihi akhirnya bisa lulus bersamaku, masa-masa SMA kami lalu berakhir. Tanah tempat kami berpijak dan bunga yang bertebangan telah menjadi saksi atas bertemunya aku dengan Hana.

 

Sekarang sudah 10 tahun setelah aku lulus dari SMA. Kehidupanku bertambah baik, aku bekerja sebagai pegawai tetap di salah satu perusahaan di Kyoto dan hidup bersama Hana. Aku juga diberkati oleh seorang anak yang kami berdua beri nama sebagai Mizu yang berarti air. Pengalaman itu adalah sebuah pengalaman yang sangat berharga bagiku.

“Sayang, makan malamnya sudah siap!”

“Papa, kita makan dulu.”

Aku hanya bisa tersenyum menikmati kehidupan seperti ini.

Ikuti tulisan menarik Orang Kubus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler