Kasus Cerpen “Langit Makin Mendung”, Penistaan Agama atau Pembunuhan Kebebasan Mencipta?
Sabtu, 9 April 2022 05:39 WIB
Artikel ini membahas tentang kasus Cerpen "Langit Makin Mendung" yang di anggap menghina agama islam yang mengambarkan ketuhanan melapaui batas imajinasi
Kasus Cerpen “Langit Makin Mendung”, Penistaan Agama atau Pembunuhan Kebebasan Mencipta?
Pada 8 Agustus 1968, dunia sastra dibuat geger karena terbitnya sebuah cerpen karangan Kipanjikusmin pada majalah Sastra No. 8 Th. VI, Agustus 1968, hlm 3—8. Cerpen itu berjudul Langit Makin Mendung. Pada masanya, cerpen tersebut menuai kontroversi, sebab isi dari cerpen tersebut dianggap menghina agama islam. (Ensiklopedia.kemdikbud.go.id)
Ya, cerpen ini dituduh menghina agama Islam karena penulis menggambarkan ide ketuhanan melampaui batas imajinasi tentang gambarannya terhadap Tuhan dan nabi. Oleh karenanya pada tanggal 12 Oktober 1968, kehebohan muncul di Medan lantas disusul di Jakarta. Mereka berbondong-bondong untuk memboikot karya tersebut yang diterbitkan oleh majalah sastra yang dikomandoi oleh H.B Jassin. Lantas cerpen inilah yang membawa dirinya ke meja hijau untuk diadili.
Berdasarkan kasus yang saya baca-baca mengenai tulisan ini, hal yang paling mencolok adalah penggambaran Tuhan sebagai orang tua, yang dapat diartikan bahwa Tuhan tidak sempurna. Karena bisa muda dan bisa tua, bahkan bisa mati. Dalam penggambaran menyeluruh disini berarti tuhan tidak sempurna dan bertentangan dengan hakikatnya bahwa tuhan maha sempurna.
Jika benar apa yang dikatakan orang, yaitu bahwa terlarang mempersonifikasikan Tuhan, maka tiap ayat dalam Quran yang mengenai Tuhan, tidak lain dari mempersonifikasikan Tuhan, dalam arti bahwa Tuhan itu digambarkan dengan sifat-sifat manusia. Dengan mudah kita menemukan personifikasi Tuhan dalam Alquran, boleh dibilang pada tiap halaman, karena Quran adalah firman Tuhan yang dituangkan dalam bahasa yang dimengerti oleh manusia. Beberapa contoh personifikasi Tuhan misalnya kita temukan dalam surat-surat berikut:
Surat Thaha (20), ayat 5, yang berbunyi demikian:
Tuhan Allah yang pengasih bersemayam di atas ‘arasy-Nya (Kursi Kerajaannya) (Mahmoed Joenoes).
Surah Hud (11), ayat 7:
Dia yang menjadikan langit dan bumi di dalam enam hari, adalah singgahsananya di atas air (Mahmoed Joenoes)
Surah Mu’min (40), ayat 7:
Malaikat yang memikul ‘arasy dan orang-orang yang di kelilinginya, semuanya tasbih, memuji Tuhan mereka (Mahmoed Joenes).
Surah Ath-Thur (52), ayat 48:
Sabarlah engkau (ya Muhammad) menerima hukum Tuhan, maka sesungguhnya engkau dalam penjagaan mata kami (Mahmoed Joenoes).
Satu ayat yang menimbulkan penafsiran, ialah ayat 115 surah Al-Baqarah, yang berbunyi:
Kepunyaan Allah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap, di situlah wajah Tuhan (Al Quraan dan Terjemahnya, Jilid 1)
Lalu, apakah kita harus tafsirkan bahwa segala sesuatu yang kita lihat adalah wajah Tuhan?
Sifat 20 menyebutkan bahwa Tuhan melihat. – Apakah ia punya mata? Tuhan mendengar. – Apakah ia punya kuping? Tuhan berkata. – Apakah ia punya mulut? Punya lidah? – Kalau Tuhan bisa murka sebagaimana dikatakan dalam Alquran, mengapa ia tidak bisa Tersenyum atau Tertawa? Tidak. Tidak semua itu. Apa pun pertanyaan kita dan apa pun jawaban kita, senantiasa Ia lebih dari mempunyai sifat dan keadaan yang bisa kita gambarkan. Ia adalah Mukhlafat lil hawadits, beda dari segala yang baharu. Tuhan terlalu besar untuk dimengerti. Kita hanya dapat menggambarkan-Nya dengan kemampuan kita masing-masing dan kita tahu bahwa gambar itu bukan Tuhan. Maka apabila seorang pengarang atau seorang pelukis menggambarkan Tuhan dengan kata-kata, dengan lukisan, ataupun dengan patung, dia tahu bahwa itu bukanlah Tuhan, tapi Ide Ketuhanan. Demikian pula orang lain, umat yang melihat, mereka tahu bahwa itu bukanlah Tuhan, tapi Ide Ketuhanan.
Lantas berdasarkan kasus ini, bukankah secara tidak langsung telah mematahkan makna dari kebebasan mencipta? Dan akan menyusutkan karya-karya yang bergelombang (dalam artian air yang tidak tenang-tenang: karya-karya yang pemikirannya biasa saja tidak menunjukan perbedaan. Seperti novel Atheis, Robohnya Surau Kami, Langit Makin Mendung).
H.B. Jassin berpendapat bahwa pengarang harus diberikan kebebasan mencipta yang mutlak. Tentu saja dengan kepercayaan bahwa ia tidak akan menyalahgunakan kebebasannya itu. Dan saya percaya, bahwa pengarang adalah orang yang baik dan mempunyai maksud-maksud yang baik. Pengarang dan seniman merupakan hati nurani masyarakat dan bangsanya. Pedomannya ialah hati nuraninya, kejujuran, kebenaran, dan keadilan. Seniman berkarya menurut imajinasinya yang bebas, sekalipun kadang-kadang tidak cocok dengan akidah itikad baiknya.
Begitu juga ketika penjelasannya kepada saudara Hakim Ketua ketika di meja pengadilan:
Yang saudara adili disini bukanlah H.B Jasiin, bukan Kipanjikusmin, bukan Langit Makin Mendung. Yang saudara adili disini adalah imajinasi. Maka yang berkepentingan bukanlah Jassin atau Ki Panjikusmin saja, tapi seniman Indonesia yang mempunyai Imajinasi itu. Dan pemilik hasil Imajinasi itu adalah bangsa Indonesia. Saudara sedang mengadili imajinasi kreatif yang sedang menuntut kebebasannya, hendak melepaskan segala belenggunya, demi kemajuan seni dan pemikiran di Indonesia. Saya tidak mengelus-elus diri akan mendapat hukuman yang ringan ataupun dibebaskan sama sekali. Saya bersedia dan telah merelakan diri masuk penjara lima tahun, kalau saya dapat diyakinkan bahwa saya bersalah. Bagi saya hanya ada dua alternatif. Atau memang bersalah dan mendapat hukuman yang paling berat karena telah menghina Tuhan, atau tidak bersalah dan bebas. Jalan tengah tidak ada.
Larangan untuk “mempersonifikasikan” Tuhan, sekalipun hanya dalam imajinasi, sama dengan larangan untuk memikirkan Tuhan, sama dengan meniadakan Tuhan dalam hati sanubari kita.
Lalu pada akhirnya bagaimana tanggapan kita menyikapi ini? Apa kamu menganggap sebagai penistaan agama? Atau bahkan pembunuhan kebebasan mencipta? Jawabannya kembali ke diri masing-masing dengan pemahaman masing-masing.
Sumber Refrensi
Ensiklopedia.kemdikbud.go.id
H.B Jassin, 1983. Sastra Indonesia Sebagai Warga Sastra Dunia, Jakarta: Gramedia.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Kasus Cerpen “Langit Makin Mendung”, Penistaan Agama atau Pembunuhan Kebebasan Mencipta?
Sabtu, 9 April 2022 05:39 WIB
Chairil Anwar dalam Derai-derai Cemara
Jumat, 8 April 2022 20:11 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler