Puisi terakhir yang dikarang Chairil Anwar, sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir.
Siapa yang tak mengenal Chairil Anwar? Sosok fenomenal yang lahir di Medan, Sumatra Utara pada tanggal 26 Juli 1922. Namanya ramai digunjingkan, khususnya dalam dunia sastra. Chairil lahir dari rahim seorang Ibu yang bernama Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Dan dibesarkan bersama sang Ayah yang bernama Toeloes, ayahnya pernah menjabat sebagai bupati Kabupaten Indragiri Riau, Dia berasal dari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Konon katanya Chairil ini masih terikat pertalian keluarga atau ada ikatan keluarga dengan Sutan Sjahrir, seorang perdana menteri pertama Indonesia.
Nama Chairil Anwar terhembus ketika puisi pertamanya yang dipublikasikan, puisi tersebut berjudul Nisan yang terbit pada tahun 1942. Semenjak keberhasilan tersebut, Chairil semakin menajamkan penanya sehingga menghasilkan karya-karya ternama lainnya, seperti Karawang Bekasi, Deru Campur Debu, dan yang paling fenomenal adalah Aku. Namun sayang, ketenaran karya-karya dari Chairil tersebut tidak sejalan dengan realita kehidupannya. Chairil menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 27 tahun dan meninggalkan anaknya yang berusia tujuh bulan, bahkan sebelumnya ia mengalami perceraian dengan wanita Karawang yang menjadi pilihan untuk teman hidupnya, Dia adalah Hapsah. Pernikahan mereka kandas, karena faktor kesulitan ekonomi dan gaya hidup Chairil Anwar yang tak kunjung berubah. Chairil meninggal di rumah sakit CBZ (RS. Dr. Cipto Mangunkusumo) dengan diagnosis TBC kronis pada tanggal 28 April 1949.
Pada masa-masa terbaring di ranjang, Chairil meluapkan jeritan hatinya dalam sebuah puisi yang Ia beri judul Derai-derai Cemara. Puisi ini menghantarkan kepergian Chairil untuk selama-lamanya,
Derai-derai Cemara
Cemara menderai sampai jauh
Terasa hari akan jadi malam
Ada beberapa dahan di tingkap merapuh
Dipukul angin yang terpendam
Aku sekarang orangnya bisa tahan
Sudah berapa waktu bukan kanak lagi
Tapi dulu memang ada satu bahan
Yang bukan dasar perhitungan kini
Hidup hanya menunda kekalahan
Tambah terasing dari cinta sekolah rendah
Dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
Sebelum pada akhirnya kita menyerah
1949
Ungkapan-ungkapan yang diciptakan oleh penyair benar-benar ungkapan baru. Cita-cita masa kecil disebutnya sebagai /cinta sekolah rendah/. Kata “angin” dapat diartikan sebagai penyakit dalam diri penyair, /Angin yang terpendam/ dapat diartikan sebagai penyakit yang tidak diperkirakan akan menyebabkan kematiannya.
Selain itu puisi ini memiliki ritme yang teratur dengan akhiran a-b-a-b dari bait pertama sampai bait ketiga. Ini menjadi budaya yang dipertahankan oleh Chairil, dia mempertahankan persajakan di setiap baris di akhir larik, namun tidak peduli pada bagian tengahnya. Seperti kata Zen Hae (Penulis dan ahli bela diri betawi) yang dilansir dari halaman www.bbc.com dengan judul Merawat tegangan yang mengasyikan antara puisi dan pantun ala Chairil Anwar dia mengatakan, “Puisi bebas itu tidak punya bentuk yang pasti dalam tradisi Bahasa Indonesia. Misalnya dalam kasus Chairil Anwar, dia masih mementingkan persajakan di setiap baris di akhir larik itu masih bisa dihitung a-a-b-b, (atau) a-b-a-b tapi di tengahnya rusak, struktur sintaksisnya rusak”.
Kalau menurut saya, puisi bebas itu sangatlah bagus, biarpun tidak jelas strukturnya namun lebih menarik dan dapat dipahami. Makna kebebasan itulah yang menjadikan imajinasi kita untuk terus tumbuh tanpa harus takut suatu batasan. Dengan seperti ini banyak ungkapan-ungkapan baru dari si pengarang tersebut, seperti dalam puisi ini, /dipukul angin yang terpendam/ secara harfiah orang akan bertanya, apa mungkin angin yang terpendam dapat memukul? Namun dalam arti lain yang dimaksudkan Chairil adalah penyakit, penyakit ini terus memukulinya sampai akhirnya Dia harus menghembuskan nafas terakhirnya.
Jadi pada akhirnya, puisi ini menceritakan penderitaan dari Chairil yang diramu dalam bahasanya yang khas, yaitu kebebasan. Lantas menghadirkan istilah-istilah baru yang menambah khasanah perkataan khususnya dalam dunia sastra.
DAFTAR PUSTAKA
- Waluyo, Herman. 1986. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta : Erlangga.
Ikuti tulisan menarik AJIE DZULVIAN AKBAR 2021 lainnya di sini.