x

Iklan

AJIE DZULVIAN AKBAR 2021

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 8 April 2022

Jumat, 8 April 2022 20:11 WIB

Chairil Anwar dalam Derai-derai Cemara

Artikel ini menjleaskan tentang Chairil Anwar sosok yang fenomenal khususnya di bidang sastra, sosok yang dikenal sebagai penyair dengan puisi terkenalnya yang berjudul "Aku". Namun, di dalam artikel ini akan menjleaskan tentang puisinya yang berjudul "Derai-derai Cemara". dimana puisi ini adalah puisi terakhir yang dikarang oleh Chairil Anwar sebelum menghembuskan nafas terakhirnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Puisi terakhir yang dikarang Chairil Anwar, sebelum akhirnya menghembuskan nafas terakhir.

 

Siapa yang tak mengenal Chairil Anwar? Sosok fenomenal yang lahir di Medan, Sumatra Utara pada tanggal 26 Juli 1922. Namanya ramai digunjingkan, khususnya dalam dunia sastra. Chairil lahir dari rahim seorang Ibu yang bernama Saleha, berasal dari Situjuh, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Dan dibesarkan bersama sang Ayah yang bernama Toeloes, ayahnya pernah menjabat sebagai bupati Kabupaten Indragiri Riau, Dia berasal dari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Konon katanya Chairil ini masih terikat pertalian keluarga atau ada ikatan keluarga dengan Sutan Sjahrir, seorang perdana menteri pertama Indonesia.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Nama Chairil Anwar terhembus ketika puisi pertamanya yang dipublikasikan, puisi tersebut berjudul Nisan yang terbit pada tahun 1942. Semenjak keberhasilan tersebut, Chairil semakin menajamkan penanya sehingga menghasilkan karya-karya ternama lainnya, seperti Karawang Bekasi, Deru Campur Debu, dan yang paling fenomenal adalah Aku. Namun sayang, ketenaran karya-karya dari Chairil tersebut tidak sejalan dengan realita kehidupannya. Chairil menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 27 tahun dan meninggalkan anaknya yang berusia tujuh bulan, bahkan sebelumnya ia mengalami perceraian dengan wanita Karawang yang menjadi pilihan untuk teman hidupnya, Dia adalah Hapsah. Pernikahan mereka kandas, karena faktor kesulitan ekonomi dan gaya hidup Chairil Anwar yang tak kunjung berubah. Chairil meninggal di rumah sakit CBZ (RS. Dr. Cipto Mangunkusumo) dengan diagnosis TBC kronis pada tanggal 28 April 1949.

 

Pada masa-masa terbaring di ranjang, Chairil meluapkan jeritan hatinya dalam sebuah puisi yang Ia beri judul Derai-derai Cemara. Puisi ini menghantarkan kepergian Chairil untuk selama-lamanya,

 

Derai-derai Cemara

 

Cemara menderai sampai jauh

Terasa hari akan jadi malam

Ada beberapa dahan di tingkap merapuh

Dipukul angin yang terpendam

 

Aku sekarang orangnya bisa tahan

Sudah berapa waktu bukan kanak lagi

Tapi dulu memang ada satu bahan

Yang bukan dasar perhitungan kini

 

Hidup hanya menunda kekalahan

Tambah terasing dari cinta sekolah rendah

Dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan

Sebelum pada akhirnya kita menyerah

 

1949

 

            Ungkapan-ungkapan yang diciptakan oleh penyair benar-benar ungkapan baru. Cita-cita masa kecil disebutnya sebagai /cinta sekolah rendah/. Kata “angin” dapat diartikan sebagai penyakit dalam diri penyair, /Angin yang terpendam/ dapat diartikan sebagai penyakit yang tidak diperkirakan akan menyebabkan kematiannya.

           

Selain itu puisi ini memiliki ritme yang teratur dengan akhiran a-b-a-b dari bait pertama sampai bait ketiga. Ini menjadi budaya yang dipertahankan oleh Chairil, dia mempertahankan persajakan di setiap baris di akhir larik, namun tidak peduli pada bagian tengahnya. Seperti kata Zen Hae (Penulis dan ahli bela diri betawi) yang dilansir dari halaman www.bbc.com dengan judul Merawat tegangan yang mengasyikan antara puisi dan pantun ala Chairil Anwar dia mengatakan, “Puisi bebas itu tidak punya bentuk yang pasti dalam tradisi Bahasa Indonesia. Misalnya dalam kasus Chairil Anwar, dia masih mementingkan persajakan di setiap baris di akhir larik itu masih bisa dihitung a-a-b-b, (atau) a-b-a-b tapi di tengahnya rusak, struktur sintaksisnya rusak”.

 

            Kalau menurut saya, puisi bebas itu sangatlah bagus, biarpun tidak jelas strukturnya namun lebih menarik dan dapat dipahami. Makna kebebasan itulah yang menjadikan imajinasi kita untuk terus tumbuh tanpa harus takut suatu batasan. Dengan seperti ini banyak ungkapan-ungkapan baru dari si pengarang tersebut, seperti dalam puisi ini, /dipukul angin yang terpendam/ secara harfiah orang akan bertanya, apa mungkin angin yang terpendam dapat memukul? Namun dalam arti lain yang dimaksudkan Chairil adalah penyakit, penyakit ini terus memukulinya sampai akhirnya Dia harus menghembuskan nafas terakhirnya.

 

            Jadi pada akhirnya, puisi ini menceritakan penderitaan dari Chairil yang diramu dalam bahasanya yang khas, yaitu kebebasan. Lantas menghadirkan istilah-istilah baru yang menambah khasanah perkataan khususnya dalam dunia sastra.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

  1. Waluyo, Herman. 1986. Teori dan Apresiasi Puisi. Jakarta : Erlangga.

Ikuti tulisan menarik AJIE DZULVIAN AKBAR 2021 lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 jam lalu

Terpopuler