x

yang terlihat selalu menipu

Iklan

Zieyo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 November 2021

Rabu, 13 April 2022 06:06 WIB

Di Balik Lelakimu

karena kenyataan tidak selalu sama dengan apa yang terlihat

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh: Zie*

            Terlihat awan hitam menggumpal di langit seakan bersiap untuk memuntahkan panah-panah hujan menyerang bumi. Sesekali kulihat kilatan petir di antara gelapnya. Kini, rerintiknya mulai turun perlahan. Kupandangi tetesan air yang mengalir di balik jendela besar kafe tempat aku duduk. Kulihat wajahku sendiri dalam beningnya.

            “Cantik,” gumamku. Sekecil apapun ciptaan Tuhan, ternyata begitu indah jika diamati seksama. Meski itu hanyalah setetes embun. Mungkin inilah alasan kenapa Ibu memberiku nama Ketrin Nada, setetes embun, karena embun memiliki keindahan tersendiri meski tak banyak yang mengamati.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

            “Hai, maaf, baru datang,” suara itu tiba-tiba muncul membuyarkan lamunanku.

            “Tidak apa-apa. Aku juga baru datang,” ujarku sedikit tersenyum.

            Angga Bagaswara. Itulah namanya. Nama yang indah untuk seorang lelaki tampan. Meski ini kali pertama aku berjumpa dengannya, tetapi ia berhasil membuat hatiku berdenyar-denyar dengan pesonanya. Tubuh tinggi tegap, kulit putih bersih, mata sipit, dan rambut model reaven bak rambut artis Korea.

Ah! Inikah yang disebut-disebut laki-laki cantik oleh kebanyakan orang? Tanyaku dalam diam.

“Pasti kamu sudah tahu kenapa aku mengajak bertemu?” tanyanya, menyeret lamunanku kembali ke alam nyata.

“Oh, i-iya. Pasti soal perjodohan itu,”  jawabku gelagapan sambil menyunggingkan seutas senyum yang terasa hambar. Aku tersadar bahwa dia sepertinya kurang berminat mengenalku lebih jauh.

Ya. Kami hanya dijodohkan. Keluargaku dan keluarga Angga berteman baik sejak lama. Saking dekatnya, mereka berinisiatif untuk menjodohkan kami. Aku yang sejak kecil didoktrin untuk selalu mematuhi kedua orang tua, manut saja. Apalagi ketika mereka, orang tuaku dan orang tua Angga, menyuruh kami untuk belajar saling mengenal satu sama lain.

Namun, berbeda dengan Angga. Tampaknya dia kurang setuju dengan perjodohan ini meski ia tidak terang-terangan membantah kedua orangtuanya. Mungkin dia berpikir ini bukanlah zamannya Siti Nurbaya. Dia harus merdeka menentukan pilihannya. Terlebih dirinya sebagai seorang laki- laki.

“Aku tidak suka dengan perjodohan ini,” ucapnya to the point. Akhirnya kalimat yang sejak tadi aku terka meluncur juga dari mulutnya.

“Aku tahu. Hari gini mana ada yang mau dijodoh-jodohkan,” jawabku menghela napas pelan dan memandang keluar jendela.

“Ya, mungkin itu salah satunya. Tapi itu bukanlah alasan utama. Ada alasan lain kenapa aku menolak perjodohan ini,” ucapnya. Kali ini aku memandang lurus ke arahnya. Tetap diam. Menunggu Angga melanjutkan kata-katanya.

“Aku tidak ingin kau terluka jika mengetahuinya di kemudian hari,” ia menghembuskan napas berat.

Hening. Lama kami tak bersuara. Sibuk dengan pikiran masing-masing, hingga seorang pelayan datang menyodorkan minuman yang telah aku pesan sebelumnya.

“Pasti kau sudah punya seseorang untuk dikenalkan pada orang tuamu,” tanyaku memecah kesunyian. Sebenarnya aku agak ragu untuk menanyakannya tapi aku terlanjur pensaran. Kutangkap ekspresi kaget dari wajahnya.

Ah! Sepertinya tebakanku benar. Aku menunduk sambil mengaduk-aduk minumanku. Aku tidak ingin terlihat menyedihkan di matanya.

Sedetik kemudian, tanpa kusangka-sangka, tiba-tiba tawanya meledak seperti baru saja mendengar sebuah lelucon. Aku masih diam, tak mengerti dengan apa yang terjadi. Apakah aku terlihat sangat menyedihkan hingga dia menertawakanku?! Aku mulai merasa jengkel dengan sikapnya.

Beberapa menit kemudian tawanya sudah mulai mereda, meski wajahnya masih merah karena menahan tawa. Ia seruput minumannya hingga separuh dan mulai menata duduknya kembali.

Angga menatapku lekat sambil sesekali berdehem kecil kemudian berucap lirih. Membuatku jantungku merasakan kejutan kecil seperti sengatan listrik dalam skala kecil.

“Kau benar. Aku memiliki kekasih.”

# # #

Aku membuka pintu kamar dengan tatapan kosong. Berjalan tanpa ekspresi seperti raga tanpa nyawa. Kuhempaskan tubuhku di kasur. Pandanganku menatap nanar langit-langit kamar. Teringat pertemuanku dengan Angga beberapa jam yang lalu.

Apakah aku baru saja bermimpi? Aku masih belum dapat percaya seutuhnya dengan kalimat yang baru saja Angga lontarkan di kafe tempat kami bertemu.

“Kau benar. Aku memiliki kekasih.”

Aku tertegun, sedikit kaget dengan dugaanku yang ternyata benar. Angga sudah memiliki pilihan untuk masa depannya. Tiba-tiba rasa sesal menghinggapi perasaanku. Kenapa juga aku mau dijodoh-jodohkan!

Hatiku berubah menjadi tidak karuan, namun tiba-tiba Angga kembali berujar, “Seandainya ada orang yang mengatakan suka padamu, apakah kau akan senang dan berdebar-debar?” tanyanya dengan wajah sarkastik.

“Tentu saja. Aku wanita normal. Aku juga memiliki ketertarikan pada lawan jenis,” ucapku mulai jengah dengan pembicaraannya yang berputar-putar.

“Ya, kau benar. Seharusnya memang begitu. Andai aku bisa senormal itu,” ucapnya datar sambil memandang jauh keluar jendela. Ia menarik napas dalam seakan ingin meringankan sedikit bebannya. Apakah perjodohan ini benar-benar mengganggu pikirannya? Padahal jika dia mau, dia bisa menolaknya.

“Kalau kamu berat dengan perjodohan ini, tidak apa-apa. Tidak perlu memaksakan diri. Aku yakin orang tua kita akan sama-sama mengerti,” kataku mencoba menenangkan.

“Aku tidak ingin mengecewakan kedua orangtuaku,” ucapnya dengan nada putus asa.

Aku diam. Bingung harus menanggapinya bagaimana. Sebenarnya aku juga tidak ingin mengecewakan Ayah dan Ibu. Tapi, sepertinya Angga sudah menemukan kebahagiaannya sendiri.

Kulihat jam tanganku beberapa kali sebagai isyarat bahwa aku harus segera pergi. Angga masih tetap pada posisinya menatap keluar jendela. Kuberanikan diri untuk berpamitan.

“Ga, sepertinya aku harus pulang,” ucapku lirih. Tanpa menunggu jawabannya, aku bangkit dari tempat dudukku bersiap untuk pulang.

Tak dinyana, baru satu langkah aku berjalan, tiba-tiba tangan Angga menghentikan langkahku. Sontak aku menoleh kaget.

“Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu,” ucapnya membuatku tertegun. Angga tidak sadar bahwa genggamannya membuat jantungku melompat-lompat tak karuan.

Ia menoleh ke arah lain seperti memberi isyarat. Beberapa detik kemudian, seorang lelaki datang menghampiri kami. Angga merangkulnya akrab. Aku tetap diam tak mampu menerka apa maksud Angga mendatangkan laki-laki itu. Apa dia mau menjodohkanku dengan temannya?

Namun, kalimat yang ia lontarkan setelah itu menjawab segala kebingungan yang sejak tadi berputar-putar dalam otakku. Kalimat yang membuat persendianku luruh seketika dan membuatku nyaris mati berdiri mendengarnya.

“Kenalkan, namanya Ray. Dia... kekasihku!” Ucapnya tanpa beban.

Ya. Angga Bagaswara. Lelaki tampan yang memikatku dengan berbagai pesonanya telah membuka rahasianya tepat di depanku, dikencan pertama kami.

*nama pena dari Ilfatur Roziqoh, mr.

Salah satu anggota FLP Ranting Latee II.

 

Ikuti tulisan menarik Zieyo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler