x

Ilustrasi Geger Pecinan. Wikipedia

Iklan

Bayu W |kuatbaca

Penulis Manis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 Maret 2022

Minggu, 1 Mei 2022 08:04 WIB

Orang-orang Cina Menyerang Kompeni dan Retaknya Kosmologi Mataram

Perubahan sikap Paku Buwono II kemudian memancing ketidakpuasan dari berbagai kalangan. Para pejuang anti Kompeni, baik orang Jawa maupun Cina, merasa telah dikhianati oleh raja dan justru membangkitkan perlawanan yang lebih hebat baik kepada VOC maupun Paku Buwono II. Kali ini isu perlawanan telah berubah dari anti VOC menjadi sekalian anti Paku Buwono II.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pasar gula mengalami kemerosotan, karena selain adanya persaingan dari Brazil yang menjual gula lebih murah, pasar di Eropa juga telah mencapai titik jenuh. Sementara itu, di Batavia, puluhan pedagang gula mengalami kebangkrutan dan harus memberhentikan kuli-kuli mereka yang kebanyakan berasal dari etnis Cina.

Pengangguran besar-besaran ini lalu memunculkan kelompok-kelompok yang menjurus pada komplotan kriminal. Mereka tidak segan-segan untuk melakukan tindak kekerasan. Akibatnya, muncul keresahan di kalangan orang-orang Belanda dan Eropa lainnya di Batavia. Sebab, pada waktu itu orang-orang Cina merupakan unsur penduduk yang berjumlah paling besar. Di tahun 1740, terdapat 2.500 rumah orang Cina di dalam tembok Batavia. Sedangkan jumlah orang Cina baik di kota maupun di daerah sekitarnya diperkirakan 15.000 jiwa, yang berarti 17% dari total penduduk Batavia, dan jumlah ini melebihi jumlah serdadu VOC.

Pada tanggal 4 Februari 1740, segerombolan orang Cina melakukan penyerbuan ke pos penjagaan dengan tujuan membebaskan rekan sebangsanya yang ditahan. Kemudian, pada Juni 1740, Kompeni Belanda mengeluarkan lagi sebuah peraturan mengenai izin tinggal, yakni semua orang Cina yang tidak memiliki izin akan ditangkap dan diangkut ke Ceylon. Dalam prakteknya peraturan tersebut dilaksanakan dengan sewenang-wenang sehingga membuat orang Cina resah, lebih-lebih ketika semakin sering terjadi penangkapan, penyiksaan, dan perampasan hak milik orang Cina.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Di Batavia, dalam waktu yang tidak lama, lebih dari 1.000 orang Cina telah dipenjarakan. Para penguasa VOC kemudian mulai mengambil langkah-langkah preventif dengan mendeportasi kuli-kuli dari Tiongkok yang telah ditangkap ke Ceylon dan Afrika Selatan —yang pada waktu itu juga merupakan koloni VOC. Deportasi dengan kapal laut dimulai pada bulan Juli 1740. Tetapi, tak lama setelah dimulainya deportasi kuli-kuli Cina ke Ceylon, muncul desas-desus bahwa dalam perjalanan kuli-kuli itu dibunuh dan dilemparkan ke laut. Karena terpancing dengan isu tersebut, akhirnya banyak kuli Cina yang kemudian mempersenjatai diri dan mulai mengadakan perlawanan, bahkan juga berencana untuk menyerang Batavia.

Pada September 1740, tersiar berita bahwa segerombolan orang Cina di daerah pedesaan di sekitar Batavia telah bergerak mendekati pintu gerbang. Hal ini membuat Mr. Cornelis di Tangerang dan De Qual di Bekasi kemudian memerintahkan untuk memperkuat pos-pos penjagaan. Kemudian, pada 7 Oktober 1740, Pasukan bantuan yang dikirim ke Tangerang oleh pemerintah Kompeni diserang oleh gerombolan orang Cina. Sebagian besar dari pasukan tersebut tewas.

Berdasarkan bukti-bukti yang didapat, VOC menarik kesimpulan bahwa orang-orang Cina memang merencanakan pemberontakan. Dan, pada 8 Oktober 1740, pemerintah Kompeni mengeluarkan maklumat yang antara lain berisi perintah untuk menyerahkan senjata dan memberlakukan jam malam. Hal ini membuat suasana di Batavia semakin mencekam. Selain itu, muncul kabar bahwa orang-orang Cina di dalam kota akan bergabung dengan warga Cina dari sekitar Batavia.

Pada 9 Oktober 1740, Gubernur Jenderal Valckenier mengeluarkan perintah penggeledahan terhadap sekitar 5.000 keluarga Cina yang tinggal di lingkungan benteng Batavia maupun sekitarnya. Dan, bersamaan dengan pelaksanaan perintah itu, selama tiga hari ke depan berlangsung pula pembunuhan besar-besaran terhadap orang Cina di Batavia yang dilakukan terutama oleh orang-orang Belanda dan para budak. Setiap orang Cina yang ditemui langsung dibunuh. Bahkan, yang berada di rumah sakit juga dibantai (lihat: Vermeulen, J.Th., De Chineezen Turbulenten te Batavia, 1938).

Pada 10 Oktober 1740, sekitar 3.000 orang pemberontak Cina melakukan penyerangan ke kubu pertahanan Kompeni di Tangerang. Sementara itu, selama beberapa hari juga terjadi aksi pembakaran terhadap perkampungan orang Cina. Dan, selama bulan Oktober 1740, diperkirakan sekitar 24.000 orang etnis Cina tewas dibantai oleh orang-orang Belanda dan Eropa lainnya. Kekerasan dapat reda setelah orang-orang Cina mulai memberikan uang premi kepada serdadu-serdadu VOC yang sedang menjalankan tugasnya. Namun, banyak pula orang Cina yang memutuskan untuk melarikan diri ke Jawa Tengah dan bergabung dengan kelompok pemberontak di bawah pimpinan Mas Garendi atau Sunan Kuning, selain ada pula yang melarikan diri ke Kalimantan Barat.

Georg Bernhard Schwarz, seorang Jerman yang berasal dari Remstal, dekat Stuttgart, Jerman, pada 1751 dalam tulisan yang diterbitkan di Heilbronn, Jerman, dengan judul “Merkwürdigkeiten” menuturkan pengalamannya ketika ia ikut dalam pembantaian etnis Cina di Batavia. Ia menuliskan bahwa ia membunuh orang Cina beserta seluruh keluarganya di Batavia, yang adalah tetangganya sendiri, walaupun mereka sebenarnya adalah kenalan baik dan tidak mempunyai masalah pribadi satu dengan lainnya. (lihat: Seemann, Heinrich, Spuren einer Freundschaft. Deutsch — Indonesische Beziehungen vom 16. bis 19. Jahrhundert. Cipta Loka Caraka, Jakarta, 2000). Ketika berita tentang pembantaian etnis (genocide) Cina di Batavia sampai ke Eropa, hal ini sangat memalukan bangsa Belanda yang bertepuk dada sebagai penganut taat dari ajaran Kristen. Sedangkan masalah pembantaian etnis Cina yang sangat mencoreng wajah Belanda itu berhasil ditutup-tutupi dan kemudian hilang begitu saja. Tak ada satu orang pun dari pelaku pembantaian yang dimajukan ke pengadilan.

Orang-orang Cina kemudian diisolir dengan wijkenstelsel dan passenstelsel. Artinya, orang Cina harus tinggal di tempat tertentu (Pecinan) dan apabila ingin bepergian harus meminta surat ijin dari penguasa setempat. Orang Cina pun dilarang memakai pakain orang Jawa atau penduduk pribumi lainnya agar tidak dapat membaur dengan mereka dan menimbulkan kekacauan, dan orang Cina juga tidak diperkenankan memakai pakaian Eropa. Mereka hanya boleh memakai baju thungsha dan celana komprang, serta rambutnya memakai taucang alias kuncir. Bagi yang melanggar akan kena denda atau hukuman yang berat.

Sementara itu, di Mataram, Susuhunan Paku Buwono II turut memberi respon terhadap pembantaian orang-orang Cina. Akan tetapi, di kalangan istana, telah berkembang dua pendapat yang berbeda terhadap rencana Paku Buwono II untuk turut bersama komunitas Cina dan menyerang Kompeni. Patih Natakusuma memilih untuk melawan Kompeni sebagai sebuah langkah strategis, yakni melalui jalan bergabung dengan komunitas Cina. Sedangkan kelompok lain yang dipimpin oleh penguasa daerah pesisir, berpendapat bahwa dalam peperangan antara Kompeni dengan Cina pada akhirnya hanya akan dimenangkan oleh Kompeni. Maka, mereka menganjurkan agar tidak tergesa-gesa, sebaiknya menunggu sampai VOC terdesak dan meminta bantuan Mataram. Dua pertimbangan ini menyebabkan Paku Buwono II sempat ragu-ragu ketika memutuskan untuk segera melakukan penyerangan terhadap kubu-kubu Kompeni.

Orang-orang Cina yang berhasil lolos dari pembantaian di Batavia (Oktober 1740) melarikan diri ke arah timur dengan cara menyusur di sepanjang daerah pesisir. Di bulan Mei 1741, mereka sempat berupaya merebut pos di Juwana, dimana sebuah markas besar VOC dikepung dan pos-pos lainnya terancam. Kemudian, dalam bulan Juli 1741, ada pos VOC di Rembang yang berhasil dihancurkan oleh orang-orang Cina dan seluruh personel VOC tewas.

Pada November 1741, Paku Buwono II mengirim pasukan dan artileri ke Semarang sebanyak 20.000 orang dan 30 pucuk meriam. Mereka bergabung dengan 3.500 orang Cina untuk mengepung markas besar VOC di Semarang. Selain itu, Paku Buwono II juga menyerang pos VOC di Kartasura dan berhasil membunuh Kapten Johansen van Nelsen serta menghancurkan markas itu (Ricklefs, 2005: 211).

Pada waktu itu, orang Jawa dan Cina telah bersatu melawan Kompeni Belanda. Ketika berada dalam posisi yang semakin sulit, VOC pun memberangkatkan bala tentaranya dari Batavia dan menyetujui keinginan Cakraningrat IV guna mendapatkan bantuannya.

Cakraningrat IV menghendaki Madura lepas dari Kartasura yang dianggapnya bobrok. Maka, gabungan pasukan VOC dengan orang-orang Madura dibawah pimpinan Cakraningrat IV berhasil membuat orang Cina dan Mataram yang mengepung markas VOC di Semarang bisa dipukul mundur. Sementara itu, Cakraningrat IV juga dapat mengalahkan para pejuang-pejuang Cina di wilayah Jawa Timur.

Setelah kekalahannya itu, Paku Buwono II menyadari bahwa langkahnya mendukung komunitas Cina melawan VOC adalah pilihan yang keliru. Untuk itu, Paku Buwono II segera memohon pengampunan pada VOC. Dan, VOC pun mengirimkan utusannya ke Kartasura dibawah pimpinan Kapiten Baron Van Hohendorff guna melakukan perundingan. Paku Buwono II sendiri mengirimkan 29 juru runding yang dipimpin oleh Patih Natakusuma ke markas VOC di Semarang.

Perubahan sikap Paku Buwono II kemudian memancing ketidakpuasan dari berbagai kalangan. Para pejuang anti Kompeni, baik orang Jawa maupun Cina, merasa telah dikhianati oleh raja dan justru membangkitkan perlawanan yang lebih hebat baik kepada VOC maupun Paku Buwono II. Bahkan, beberapa pangeran istana yang tidak puas dengan langkah Paku Buwono II memutuskan untuk bergabung dengan pemberontak, diantaranya ialah Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said.

Kali ini isu perlawanan telah berubah dari anti VOC menjadi anti Paku Buwono II. Selain itu, Pangeran Puger yang juga meninggalkan kraton, membangun pertahanannya sendiri untuk melawan Belanda di daerah Sukowati, Sragen. Sedangkan Raden Mas Said, yang ketika itu berusia 19 tahun, membangun pertahanan di Randulawang, sebelah utara Surakarta. Ia bergabung dengan laskar Sunan Kuning untuk melawan Kompeni dan menjadi panglima perang dengan gelar Pangeran Prang Wedana Pamot Besur.

Raden Mas Said adalah putra dari Pangeran Adipati Arya Mangkunegara, putra sulung Amangkurat IV yang dulu merupakan calon raja namun kedudukannya digeser dan ia dibuang ke Sailan (Ceylon) oleh Paku Buwono II di tahun 1728. Adapun Pangeran Mangkubumi, ia justru pergi ke Semarang untuk menemui penguasa Belanda dan meminta agar dirinya dirajakan. Namun, setelah Kompeni menolak permintaan tersebut, Pangeran Mangkubumi lalu memutuskan untuk bergabung dengan Pangeran Puger di Sukowati.

Pada bulan Juli 1742, Sunan Kuning melakukan serangan besar-besaran dan berhasil merebut Kraton Kertasura. Paku Buwono II pun pergi melarikan diri ke Ponorogo bersama Kapiten van Hohendorff. Naiknya Mas Garendi sebagai raja pemberontak yang diangkat oleh komunitas pemberontak Cina dan keberhasilannya merebut Kraton Kartasura, di sisi lain turut mengguncangkan sendi-sendi pokok kekuasaan Mataram baik dari sudut pandang politik maupun budaya. Pemberontakan yang dikenal sebagai Geger Pecinan itu pada akhirnya juga mengakibatkan hancurnya kosmologi kekuasaan Kraton Kertasura.

Ikuti tulisan menarik Bayu W |kuatbaca lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler