x

Gambar oleh HeonCheol LEE dari Pixabay

Iklan

Orang Kubus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 15 November 2021

Jumat, 20 Mei 2022 07:27 WIB

Bunglon dan Dunia

Sesungguhnya kutukan akan selalu bersama dengan jiwa-jiwa terpilih.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pada suatu ketika, di sebuah semesta yang lain. Hiduplah seekor Bunglon di sebuah Kota. Kota itu berbeda dengan Kota yang dihuni oleh manusia akan tetapi mirip dengan Kota yang dihuni manusia. Kota itu dipenuhi dengan hewan! Mereka berbicara, menulis, mendengar, dan hidup layaknya manusia pada umumnya. Ini adalah dunia yang mirip sekali dengan manusia, dunia di mana para hewan membentuk negara, pemerintahan, bahkan hukum. Hewan-hewan itu dikelompokan ke dalam ras-rasnya dan mereka hidup dengan uang yang mereka hasilkan dari pekerjaan yang mereka lakukan setiap hari.

Akan tetapi problematika masih tetap hadir oleh mereka, hewan-hewan yang hidup di atas tanah. Sebuah permasalahan klasik bagi mereka yang mempunyai akal, hewan-hewan itu siapa sangka mempunyai hati yang dipenuhi oleh kebencian. Para Singa misalnya. Oh Tuhan mereka sangatlah brengsek, mereka tinggal di perumahan kelas atas tapi pekerjaan mereka sangatlah tidak suci! Para Singa menjadi politisi yang korup, para pembual, dan hidup dengan penuh kepalsuan, mereka pantas dimasukan ke dalam Neraka. Selanjutnya, ada para Serigala. Sikap mereka juga tidak kalah brengseknya dengan para singa, mereka menjadi para aparat keamanan yang setiap hari memukul para sipil, menembak para ‘burung pembawa pesan’, dan juga memeras orang-orang miskin. Sebenarnya masih banyak jiwa-jiwa brengsek lainnya yang tidak kalah busuk dari para Singa atau Serigala tapi biarlah.

Dunia seakan-akan menjadi Neraka bagi hewan-hewan yang bersikap layaknya manusia itu akan tetapi bagi seekor Bunglon yang hidup di Kota, itu bukanlah masalah. Bunglon itu berpikir mungkin memang seperti inilah hidup dan sebagai hewan yang lahir dari orang biasa, orang tua biasa, Apartemen biasa, dan dari kalangan biasa-biasa saja, itu adalah hal yang sangat wajar. Setiap kali ia melangkah sang Bunglon melihat banyak sekali orang yang bertengkar dan berdebat, biasanya para Kambing yang menuduh seekor Rubah telah mencuri kantongnya dan para Serigala akan datang sembari meminta uang kepada si Kambing. Sebuah cerita yang sekali lagi klasik tapi seiring bertambahnya usia bukan hanya permasalahan fitnah dan korupsi yang ia lihat melainkan ada yang lebih besar dan hebat dari itu. Misalnya di sebuah tempat yang jauh dari tempat tinggal si Bunglon tepatnya adalah tempat dimana orang-orang ‘terhebat’ berada.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tempat yang dimana orang-orang ‘terhebat’ berdebat bagaimana membuat sistem yang lebih baik, Kubu Rusa misalnya mereka mengusulkan demokrasi sebagai sistem karena merasa lebih adil dan semua orang mendapatkan hak sesuai yang diberikan oleh pemerintahan. Tapi, Kubu Gajah menolak, mereka beranggapan bahwa demokrasi itu terlalu lunak. Kubu Gajah mengusulkan bahwa sistem otoriter adalah sistem yang sempurna karena membuat negara menjadi kuat untuk mempertahankan diri dari kekuatan asing. Mereka berdebat tanpa henti, siang dan malam, ketika bulan berganti bulan yang baru, bahkan dari tahun ke tahun. Semuanya tampak lebih buruk dari waktu ke waktu dan para hewan juga terpecah menjadi Kubu Rusa atau Kubu Gajah. Sang Bunglon memanglah resah dengan segala perdebatan yang ia dengar, memang ia berpikir tapi dia seolah tidak peduli. Bukan karena ia merasa lebih baik mengurus diri sendiri padahal ini sangat berpengaruh terhadap semua komunitas melainkan karena ia masih belum mempunyai kekuatan.

Terlebih ia juga masih dalam masa pendidikan, masih belum waktunya ia memikirkan hal itu setidaknya untuk saat ini. Hewan-hewan masih meragukan posisinya sebagai seorang hewan yang mengerti akan dunia, mungkin di mata orang dewasa saat sang Bunglon berbicara itu hanyalah cerita omong kosong yang diutarakan oleh anak kecil. Bunglon lalu berjalan-jalan menuju ke Sekolah tempat dimana ia dibina dan mencari ilmu tetapi di matanya itu adalah tempat para Iblis dikumpulkan.  Itu karena si Bunglon walaupun ia terlahir dari orang biasa, orang tua biasa, Apartemen biasa, dan dari kalangan biasa-biasa ternyata ia tidak bisa mengendalikan tubuhnya. Pada suatu waktu tubuh Bunglonnya ada di warna abu-abu lalu pada semenit kemudian tubuhnya berubah menjadi warna pink atau merah jambu. Lantas orang-orang di sekitarnya menertawakannya, mereka memanggilnya “Bunglon Pink” ataupun ejekan-ejekan lain yang diterima dari rekan atau teman-temannya. Diantara teman-teman yang suka mengejeknya yang paling sering adalah dari Para Singa, dan Para Serigala. Kemudian mulai muncul setitik kebencian di hatinya terhadap Para Singa dan Para Serigala. “Mereka pantas dikirim ke Neraka karena sering melakukan kejahatan.” Hati kecilnya sekarang tidak lagi bersih nan suci.

Hati yang suci dan bersih yang dimiliki oleh seluruh makhluk hidup adalah anugerah yang diberkati oleh Tuhan, akan tetapi ada saja orang yang ingin mengotori hati itu dan sesungguhnya merekalah yang bertanggung jawab atas kerusakan di Dunia ini. Sungguh malang sekali Bunglon itu, anugerah yang diberikan oleh Tuhan kepadanya sekarang telah tiada dan digantikan oleh kebencian yang terpendam di hati yang paling dalam. Bunglon itu menjadi hewan yang memikul dosa kebencian hingga datanglah suatu hari setelah pelajaran berakhir, hewan-hewan kembali pulang ke rumahnya masing-masing untuk bertemu dengan keluarga serta menyantap makan malam di meja. Tetapi, ada seekor hewan yang telah lama melihat gerak-gerik dari si Bunglon, dia adalah Burung Hantu. Burung Hantu adalah guru dari si Bunglon dan ia telah lama melihat sesuatu di hatinya. Menurut kepercayaan dari suku Burung Hantu yang ia masih percayai ada sebuah ramalan tentang peristiwa yang luar biasa di Dunia ini yang dimana kelak akan membawa semua suku-suku di Dunia itu berada dalam kemakmuran abadi.

Sebuah ramalan Utopia yang sudah lama ditinggalkan oleh suku Burung Hantu tapi si Guru sangat yakin bahwa ada sesuatu yang luar biasa dan sudah menjadi tugasnya untuk membimbing si Bunglon.

“Aku akan mengajarkanmu sesuatu,” kata Burung Hantu, ia lalu terbang setinggi-tingginya. Tapi, mana ada seekor aves akan mengajari reptil untuk terbang. Ini bukanlah pelajarannya tapi menurut hatinya si Bunglon harus mengikuti si Guru maka ia lalu berjalan mengikuti gurunya yang tengah terbang setinggi-tingginya. Lalu sampailah mereka di sebuah Rumah milik si Guru. Rumah itu agak jauh dari Sekolah dan berada di atas pohon-pohon yang tumbuh dengan rindang, ini adalah kawasan burung-burung tinggal dan tidak boleh ada yang mengganggu kehidupan di sini tanpa terkecuali.

Kemudian mereka lalu masuk ke dalam Rumah itu, si Guru masuk terlebih dulu lalu diakhiri oleh si Bunglon. Penampakan dalam Rumah si Guru diterangi oleh lilin-lilin yang menerangi seluruh ruangan, tidak ada perangkat elektronik di dalam rumahnya kecuali telepon rumah yang diletakan di samping ruang tamu tapi yang menjadi perhatian yang lebih besar dari si Bunglon adalah Rumah si Guru dipenuhi dengan buku-buku dengan berbagai macam judul dan tebalnya. Tidak heran bila sang Guru disebut-sebut sebagai seorang Guru yang sangat jenius dan berkompeten, beliau tidak hanya pintar dalam ilmu-ilmu alam saja tapi beliau juga mampu dan pintar dalam ilmu sosial.

“Dahulu saat aku masih sepertimu, saat aku masih belum mengetahui Kota ini dan segalanya tentang semua hal. Ayah dan Ibuku sering bercerita tentang mitos, legenda, hingga cerita keberanian tentang generasi sebelum Ayah dan Ibu kepadaku beserta saudara-saudaraku. Mereka bercerita mengenai kehebatan suku Gajah yang bertahan dari 1001 pasukan harimau, bercerita tentang kesetiaan dan persahabatan suku Singa dan suku Serigala, hingga cerita mengenai betapa adilnya suku Rusa terhadap orang-orang yang bersalah. Saudara-saudaraku menganggap bahwa itu hanyalah cerita sebelum tidur tapi aku berbeda, menurutku itu adalah cerita yang nyata hingga pemikiranku menuntunku kepada pencarian sebuah fakta dan dari sanalah aku bisa menulis buku ini. Ini adalah buku sejarah yang aku tulis 7 Tahun yang lalu. Tapi, apakah kau tahu, wahai Muridku? Bahwa ada satu cerita yang masih menjadi misteri di dalam pikiranku. Kisah kutukan, bukan. Bukan kutukan dan bukan juga ramalan tapi kisah bahwa akan ada hari dimana kemakmuran akan menjadi hal yang abadi. Aku lupa mengenai detailnya tapi maukah kau membaca buku ini, wahai Muridku?” Burung Hantu itu lalu menyodorkan sebuah buku kepada sang Bunglon. Lalu diterimalah buku itu, buku yang bersampulkan warna coklat dengan batu zamrud yang berwarna hijau di tengahnya.

Si Bunglon lalu membaca buku itu, paragraf demi paragraf demi dan lembar demi lembar. Bola matanya telah membaca isi buku itu kemudian hatinya merasa tergerak dengan apa yang ada di buku itu. Mungkinkah itu adalah tujuan hidupnya sebagai hewan yang terlahir ke Dunia? Entahlah tapi yang pasti akan ada sesuatu yang luar biasa hari esok atau mungkin beberapa tahun setelah ia membaca buku itu. Lagipula sang Guru telah yakin bahwa ialah yang terpilih, hewan yang terpilih untuk memberikan kemakmur abadi dan membagikannya kepada Dunia. Akan tetapi ada satu hal yang mungkin saja si Guru lupakan tentang buku itu, yakni kutukan. Kutukan yang membuat sang Juru Selamat bisa menjadi seorang antagonis dan justru melawan balik dunia. Membuat seluruh kehidupan mengalami krisis yang luar biasa, dia bisa saja membumihanguskan daratan dan mendidihkan lautan. Itu yang menjadi kutukan ketika realitas itu dibuka.

Kutukan itu terlupakan dan fakta ketidaktahuan itu bisa membawa dunia kepada kehancuran. Burung Hantu juga sekarang tidak tahu apa tujuan dari si Bunglon di masa depan, sebuah masa yang tidak diketahui oleh siapapun kecuali Tuhan Yang Maha Kuasa. Lalu pada akhirnya sang Bunglon bertumbuh semakin dewasa, ia dibimbing oleh sang Guru yang kemudian membuat si Bunglon menjadi hewan yang cerdas lagi tangguh. Bunglon itu lalu masuk kepada kelompok-kelompok, ia mulai berserikat dan beropini dengan bebasnya layaknya sang Guru yang terbang dengan leluasa di langit yang berwarna biru. Hebatnya banyak sekali teman-teman serta sahabat-sahabatnya yang setuju dengan ide-idenya. Bunglon mengutarakan persaudaraan abadi antar ras hewan, persatuan yang tidak dapat dihancurkan, dan mitos kebangkitan bahwasanya mereka berhak untuk menjadi makhluk hidup yang mengelana ke alam semesta dengan merawat keimanan kepada Tuhan. Hewan-hewan mulai percaya terhadap semua perkataan-perkataan dari si Bunglon lalu memujanya dengan segala pujian serta nyanyian layaknya bagi para Kepala Suku, bahkan para Raja.

Suatu hari, si Bunglon dan kawan-kawannya lalu mengundang hewan-hewan ‘terhormat’ dari Ibukota. Mereka menjamu orang-orang itu dengan makanan serta minuman terlezat yang pernah ada. Hewan-hewan itu berpesta pora, mereka mabuk dan sekarang lupa bahwa mereka menghadiri perjamuan itu untuk mendengarkan seekor hewan yang dipuja layaknya seorang Raja. Ketika mereka mulai lemah karena mabuk dan kekenyangan, hewan-hewan ‘terhormat’ itu lalu mati. Bukan karena racun akan tetapi karena penyergapan secara tiba-tiba. Kawan-kawan dari si Bunglon itu melemparkan tombak-tombak, menembakan peluru-peluru, bahkan mengacungkan pedang kepada hewan-hewan itu. Seluruh ruangan penuh dengan noda berwarna merah dengan bagian-bagian tubuh yang tercerai-berai. Pada hari yang sama pula si Bunglon bersama dengan kawan-kawannya pergi ke Ibukota, memasuki gedung pemerintahan dan mengganti kepala pemerintahan dengan dirinya. Pasukan Keamanan tidak bisa mencegahnya karena sesuatu hal yang tidak bisa dijelaskan. Itu adalah sebuah aksi Kudeta.

Aksi yang dilakukan oleh si Bunglon lalu terdengar oleh sang Guru, si Burung Hantu yang tengah membaca buku. Sang Guru mendengarkan aksi Kudeta dari orang-orang sekitarnya yang tengah menyalakan radio, sang Guru lalu terkejut mendengarkan hal itu dan seketika berpikir bahwa murid yang telah ia bombing bukanlah seorang Juru Selamat. Akan tetapi nasi telah menjadi bubur, ia telah terlanjur memberikan semua yang ia tahu kepada murid yang ia sayangi lagi ia cintai. Setelah mendengar hal itu, ia membawa perbekalan seadanya lalu terbang menuju muridnya. Hati sang Guru dipenuhi dengan kegelisahan, ia yakin bahwa apa yang dilakukan oleh murid yang telah ia dibimbing selama bertahun-tahun adalah hal yang salah dan sudah sepatutnya ia sebagai guru harus meluruskannya kembali. Burung Hantu itu mengepakan sayapnya dengan cepat hingga pada akhirnya sampailah ia di Ibukota. Sang Guru lalu melihat muridnya yang tengah berjalan bersama dengan kawan-kawannya yang membawa pedang, tombak, serta senjata berlaras panjang.

“Wahai Muridku, kembalilah kepada jalan yang benar! Tolonglah, bahwa bukan inilah yang juru selamat lakukan untuk menciptakan sebuah kemakmuran yang abadi, karena itulah demi kebaikan semua hewan-hewan yang ada di Dunia ini, aku sebagai Guru yang telah membimbingmu selama bertahun-tahun. Aku memintamu untuk segera meletakan apa yang telah engkau capai dan kembali ke jalan yang benar.” Burung Hantu itu berbicara di hadapan muridnya tapi si Murid hanya berdiri dan menatap sang Guru dengan dingin.

“Aku bersumpah. Ketika dunia ini sedang terjadi kekacauan maka aku akan menjadi Juru Selamat dari kekacauan ini dan dengan caraku sendiri aku akan membawa Dunia ini selamat dari kehancuran dan membawa Dunia ini kepada kemakmuran abadi.”

“Tapi, sang Juru Selamat tidak menggunakan cara ini, Muridku!”

“Sayangnya, aku telah melakukannya.” Tiba-tiba aliran listrik berwarna Biru muncul di jari-jemari si Bunglon. Aliran listrik berwarna biru itu terlihat seperti dikendalikan oleh seseorang lalu dengan cepat si Bunglon mengangkat tangannya lalu terlihat melempar sesuatu ke arah sang Burung Hantu. Sekonyong-konyong sang Burung Hantu itu lalu terlempar lalu terjatuh ke lantai, tubuhnya menggigil dan kilatan-kilatan listrik berwarna biru itu terlihat di tubuh si Burung Hantu yang malang itu.

Si Bunglon tidak menyesali perbuatan yang ia lakukan, ia justru tersenyum dengan sinis melihat tubuh sang Guru terbaring ‘tak berdaya. Bunglon yang hatinya telah mengeras lalu pergi, meninggalkan tubuh sang Guru sembari tertawa dan berkata sesuatu kepada rekan-rekannya. Setelah si Bunglon pergi, rekan-rekannya yang membawa pedang, tombak, serta  berlaras panjang segera mengacungkannya ke langit-langit lalu bersorak seolah kemenangan telah mereka raih. Kemenangan melawan sebuah penyangkalan, menurut mereka siapa saja yang melawan maka mereka adalah musuh bagi para seluruh hewan. Tidak lama setelah itu, dikala tubuh si Guru masih terbaring di lantai marmer berwarna putih. Seekor Musang berjalan mendekati hewan itu, ia membawa sebuah pisau di tangannya. Seakan-akan tidak merasa berdosa, si Musang lalu memberikan sebuah hadiah yang berdarah. Musang itu menusuk si Burung Hantu, seperti Julius Caesar yang ditusuk oleh para Senator.

Tusukan pertama menusuk jantungnya lalu tusukan kedua menusuk sayapnya. Tidak lama setelah itu para hewan-hewan lainnya juga menusuk si Burung Hantu dengan bayonet, pedang, serta tombak yang mereka sedang pegang. Merobek-robek daging si burung hantu hingga isi perutnya terburai ke lantai, noda darah berwarna merah juga membasahi lantai dan mengotori semua yang ada di ruangan itu.

Sang Guru meninggal pada hari juga, akan tetapi ajaran-ajaran serta semua pengetahuan itu masih hidup dan terus berkembang di dalam si Bunglon. Setelah aksi Kudeta itu si Bunglon bersama kawan-kawan memerintah, mereka membuat dan membenarkan adanya sebuah Kemakmuran abadi. Tapi, secara bersamaan kekuatan asing muncul dan menyerang apa yang tekah mereka bangun, sebuah Mega Imperium. Bersama dengan dibangunnya dominasi oleh si Bunglon, mereka ternyata harus berperang dengan orang-orang mereka sendiri, yakni para Pengkhianat, para Penyangkal, beserta hewan-hewan yang tidak patuh terhadap perintah.

Si Bunglon memerintah tapi ia harus membayar apa yang telah lakukan, yakni dengan perang yang sedang membakar dunia miliknya.

Ikuti tulisan menarik Orang Kubus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler