Ciri-ciri khusus Periode Sastra Indonesia pada Periode (1850-1933), (1933-1942) dan (1942- 1945).

Jumat, 27 Mei 2022 14:48 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setiap periode memiliki karakteristik yang berbeda dari sebelum maupun sesudahnya, maka dari itu berikut adalah ciri-ciri khusus dari periode sastra Indonesia.

1. Periode 1850 – 1933

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pada periode ini karya sastra banyak ditulis menggunakan roman yang beralur lurus, gaya bahasanya menggunakan perumpamaan klise dan pribahasa dan tetap menggunakan bahasa sehari-hari, banyaknya digresi, bercorak romantis. Dalam periode ini ada juga persoalan adat seperti masalah kawin paksa, permaduan, pertentangan anatara kaum tua dan muda yang mempermasalahakan adat.

Sastrawan dan karyanya pada periode ini antara lain adalah  Marah Rusli “Siti Nurbaya”, Abas St Pamuncak “Pertemuan” , Nur Sutan Iskandar “Katak Hendak Jadi Lembu, Karena Mentua, Salah Pilih, Hulubalang Raja”, Abdul Muis “Salah Asuhan”, Hamka “Tenggelamnya Kapal van der wijck”, Panji Tisna “Sukreni Gadis Bal”, Selasih “Kehilangan Mestika”.

 

2. Periode 1933 – 1942

Pada periode ini ditulis adalah puisi, cerpen, drama, roman yang beraliran romantic, puisi baru dan sonata. Puisi-puisi ini menggunakan kata-kata yang indah, Puisi-puisi tersebut menggunakan kata-kata nan indah, bahasa perbandingan, gaya sajaknya diafan dan polos, rima merupakan sarana kepuitisan. Prosa yang ditulis menggunakan watak bulat, teknik perwatakan tidak analisis langsung, alurnya erat karena tidak ada digresi, mempermasalahkan kehidupan masyarakat kota seperti emansipasi, memilih pekerjaan, diwarnai idealisme, dan cita-cita kengasaan, serta bersifat didaktis.

Sastrawan dan karyanya pada periode ini adalah Amir Hamzah “Nyanyian Sunyi, Buah Rindu”, Sutan Takdir Alisyahbana “Layar Terkembang dan Tebaran Mega”, J.E. Tatenteng “Rindu Dendam”, Armyn Pane “Belenggu”, Sanusi Pane “Sandiyakalaning Majapahit dan Madah Kelana”, Mohammad Yamin “Indonesia Tumpah Darahku”.

 

3. Periode 1942 – 1945

Periode ini diketahui banyaknya karya propaganda dan dimuatkan dengan politik jepang. Serupa membujuk rakyat Indonesia uuntuk membantu jepang dalam perang Asia Raya, dan pemerintah melalui balai pustaka (Keimen Bunka Shidosho) menerbitkan karya seperti novel, cerpen dan puisi untuk kebaikan dan keunggulan jepang. Bersamaan juga jepang bersandiwara dengan menggunakan media propaganda.

Untuk menyempurnakan karya propaganda jepang membuat sayembara penulisan cerita bagus cerpen atau drama. Dan pemenangnya cerpen adalah Rosihan Anwar “Radio Masyarakat” dan yang memenagkan sayembara adalah F.A.Tamboenan “Poesaka Sedjati dari Seorang Ajah”, J.Hoetagalung “Koeli dan Roomusya”, dan A.M.Soekma Rahayoe “Banteng Bererong”.

Sastrawan yang menerbitkan novel proganda pada periode ini adalah Nur Sutan Iskandar berjudul “Cinta Tanah Air (1944)” dan cerpen “Putri Pahlawan Indonesia”. Karim Halim menerbitkan novel “Palawija”, ia juga pernah mewarnai drama karangan Henrik Ibsen berjudul “de Kleine Eylof menjadi Djeritan Hidoep Baroe”. Pada masa Jepang ia juga menulis cerpen propaganda yang berjudul “Aroes Mengalir”.

 

Tinjauan Pustaka

Erowati, Bahtiar. (2011). Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Lembaga penelitian UIN Syarif Hidayatullah.

Bagikan Artikel Ini

Baca Juga











Artikel Terpopuler