x

Vintage

Iklan

Adhellia Febriani

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 14 Juni 2022

Rabu, 15 Juni 2022 07:14 WIB

Perkara Pemilik Warung Pojok

Nikmati waktu dengan sebaik mungkin.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Dari deretan ruang huni perantau, satu darinya ada yang masih menyalakan sorot di ruang itu. Insomnia semakin rancau, memoar ingatannya ikut menyala. Bersedu-sedu dalam keheningan. Harus berapa kali raga terus terjaga.

Hening atau mungkin beberapa menit lagi arah gerbong barat, kereta segera lewat secara nyalang. Getaran serta bunyi benda besi itu akan terdengar. Layaknya musik pengantar tidur, terkecuali untuk manusia tertentu.
 
Sumbu pendek panah jam telah menunjuk awal pagi. kemarin berganti hari ini.
 
Hafal sudah kebiasaan tengah malam sampai jenuh memberontak. Dua bola mata kemungkinan ikut demo, ini persoalan tebal lensa kacamata. Acap kali melihat layar gawai sampai area atas mata berdenyut. Serba salah memang.
 
Sedikit merenggangkan badan. Oh ya ampun, terus terang cukup membingungkan harus melakukan apa. Terlintas rasa-rasanya sudah lama tidak mendongeng dengan kertas, tanpa ba-bi-bu.
 
Suara kecil, 1 Februari 2021
 
Saat kegaduhan kota begitu bising, tersudut samar-samar tangis tua membatin. Tatapan begitu kosong, kerap kali tertuju pada jalanan ramai. Entah apa yang dipikirkan. Menit kemudian, menyeka peluh sembari berpangku tangan. Hawa panas memang menyergap di siang bolong. Perkara pemilik Warung Pojok.
 
Pukul 05:45
Sehabis menyerbu sebungkus bubur ayam, seperti hari biasa melewati sosoknya. Tanaman depan rumah masih basah oleh embun. Sedang kau, telah bersiap membuka ruang lawas nan sederhana itu. Kali ini aku bermain basa-basi singkat. Dan seperti biasa senyum tulus kerut menghiasi wajahnya.
 
Pukul 13:03
Sial, persediaan habis dan minimarket tutup pada waktu yang salah. Padahal butuh pendinginan disaat matahari telah diatas kepala. Menggerutu diri sendiri, sampai pada kipas tangan rotan menjadi teman baik si Pemilik Warung Pojok muncul dari seberang jalan. Sang waktu benar-benar menyuruhku menghampiri untuk segera membeli disana sembari mengenalkan diri. Percaya diri sekedar basa-basi biasa. Berhadapan dengannya dan respon hatiku membatin, memang jelas tua suntuk. Namun, sikap amat ramah dan seutas belenggu harapan dari gerak tubuhnya masih ada terlihat jelas. Harapan apa?
 
Tidak ada badai lebat disiang bolong. Entah kepercayaan dari mana sehingga topik pembicaraan terbentuk. Masih ingat jelas, "Sekitaran bangunan tua ini dulunya ramai" ujarnya dan nostalgia kupikir. Terlihat berantusias beliau melanjutkan obrolan dengan membawa sekatong plastik.
 
Ujarnya lagi, "Lingkup kehangatan masih terjaga sendirinya dulu. Ya, bersama kawan-kawan tempat ini menjadi titik kumpul. Bercengkrama senda gurau selepas mereka pulang bekerja."
 
"Waktu begitu cepat." kalimat terakhirnya.
 
Responku hanya menyimak diam dan meraih barang yang telah terulur kearahku. Senyum tua hangat masih terpancar olehnya, hingga sebagai penutup awal dengan menepuk pundakku, begitu santai kemudian masuk kembali kedalam. Berbeda denganku yang masih sedikit drama syok.
 
Pukul 20:05
Ramah-tamah siang tadi agak-agak masih mengganjal. Walaupun tak lepas dari persoalan butuh persediaan semata. Meninggalkan sebentar, lalu kembali.
 
Sudah didepan warung pojok membawa serta bungkusan pada genggaman dan rupanya belum nampak warung akan ditutup. Menggiring tepat sebungkus nasi goreng telur ceplok, tetapi belum sempat berucap dinding ketegaran runtuh didalam raganya. Luapan emosi serta-merta linangan air mata tua. Menyedihkan. Mungkinkah ini akan terasa membaik?
 
Disaat kawan-kawannya bekerja kubik perkantoran, berbeda dengan dirinya. Ia mengambil arah berbeda dan tetap konsisten, melewati jatuh bangun awal mula warung pojok berdiri. Kini kawannya satu per satu telah berpulang, seiring waktu berjalan semua telah berubah. Kini tersisa sang pemilik warung pojok dan kawan satunya yang sedang berbaring di ruangan putih. Sungguh klimaks yang sederhana, tetapi sangat terpatri.
 
Begitulah sedikit kelanjutan dari topik tadi siang.
 
Pukul 21:58
Bertukar pikiran menjadi topik kedua malam itu. Sudut pandang yang dimiliki beda generasi inilah menjadikan suasana hidup. Memang benar adanya, sulit menemukan lawan bicara nyata di era muslihat. Karena, mereka telah tenggelam didalam kecanggihan gawai.
 
Tak berasa sampai dipenghujung topik, terlihat sang pemilik toko menengadahkan. Nampak bangunan menjulang menggeliling mereka, pikirku. Perkataannya menjadi penutup sebenarnya.
 
"Zaman mengikuti takdir, ruangan kian menyempit pula. Secanggih apapun zaman. Tangan-tangan kecil tak terjamah, masih tetap ada. Pinggir trotoran gelandangan merayau." Begitulah kalimat petuah darinya.
 
Berlalu.
Entah sejak kapan yang pasti sekarang aku menjadi pegawai lepas disela-sela waktu pendidikan. Disamping pertemuan pertama dulu, menjadikan kita lawan bicara sengit walaupun aku sering kalah dan berakhir harus membuatkannya kopi hitam tubruk satu sendok gula atau mungkin setengah. Begitulah lelucon waktu kehidupan.
 
Tertanda,suratan manusia.
 
Tersentak, syukurlah masih ditempat sama di ruang huni perantau. Kembali ke alam sadar, cukup terhayut dengan dongeng kali ini.
 

Ikuti tulisan menarik Adhellia Febriani lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler