x

Iklan

Ali Mufid

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 6 Maret 2022

Kamis, 16 Juni 2022 07:56 WIB

Tata Ruang Kebangsaan

Embel-embel pangkat dan jabatan diletakkan. Selebihnya kita bicara bagaimana organisasi ini terus berkembang sesuai nafas perjuangan tadi, politik kebangsaan.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jaraknya sekitar dua kilometer dari stasiun Pasar Senen, nantinya aku memilih transportasi ojek online untuk sampai di kantor Gerakan Pemuda Ansor di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Tepat adzan maghrib, masih menunggu di depan stasiun bersama deretan pedagang kaki lima. Menghabiskan bekal makanan adalah cara efektif agar stamina pulih setelah menempuh perjalanan kurang lebih delapan jam. Semacam sugesti bahwa setiap perjalanan menyantap makanan olahan orang tua lebih awet kenyangnya.

Sesaat sebelum beranjak, terlebih dulu mencari tempat sampah, membuang bungkus makanan. Padahal bisa dibuang dimana saja, buktinya sejauh mata menatap banyak sampah berserakan. Oiya aku lupa, ini Ibukota. Tinggal pilih, disiplin diri buang sampah pada tempatnya atau buang di sembarang tempat. Ini soal menjaga nilai diri. Bukan kampanye biasakan buang sampah pada tempatnya.

Daya baterai handphone tersisa 18 persen, masih ada kekuatan untuk memesan ojek online. Si abang berjaket hijau lalu datang sambil bertanya "Gedung GP Ansor ya mas". Barulah kita jalan ke tujuan. Hanya berhenti di pinggir jalan alamat yang dituju. Niat hati ingin maju sedikit sampai ketemu toko waralaba untuk mencari peralatan mandi. Tapi nampaknya kurang fair mengingat pesanan hanya sampai gedung itu.

Mari sebentar kilas balik tiga tahun lalu, persis di bulan yang sama. Kita letakkan bulan Juni pada cerita ini, kemudian setelah itu aku akan mengajak ada proses apa tiga tahun silam. Ya, 2019 disebut tahun sibuk mondar-mandir dari Jogja kembali ke Jakarta pun sebaliknya. Mengurus dokumen keberangkatan studi ke Italia. Gedung Ansor menjadi rumah singgah. Disitu banyak manusia hebat yang berjuang di jalur politik kebangsaan.

Selain itu, gedung yang melahirkan tokoh nasional seperti Nusron Wahid dan Yaqut Cholil Qoumas, merupakan muara perjuangan seluruh kader di pelosok negeri dalam konteks organsasi kepemudaan Islam. Saat kalian berkunjung ke tempat itu, tidak ada sekat tak ada jarak. Tak ada celah untuk menampilkan kebolehan diri. Embel-embel pangkat dan jabatan diletakkan. Selebihnya kita bicara bagaimana organisasi ini terus berkembang sesuai nafas perjuangan tadi, politik kebangsaan.

Sebelum masuk ke gedung utama, kita akan disapa oleh masjid Abdurrahman Wahid, presiden keempat yang sekaligus salah satu tokoh penting Nahdlatul Ulama (NU). Kemudian berjalan ke gedung utama lantai dua, persis di tangga akan dijumpai beberapa bukti otentik catatan menarik dari otoritas politik, cendekiawan, tokoh pemuda, hingga guru bangsa. Seolah mereka ini meninggalkan pesan perjuangan agar selalu diimplementasikan dalam setiap langkah seluruh kader organisasi di seluruh nusantara.

Baik, aku ajak kembali tentang situasi saat ini. Tak ada yang berubah, masih sama tiga tahun lalu. Secara fisik tak bergeser, secara perjuangan, terasa perubahan yang signifikan. Di lantai paling atas gedung itu kita akan menjumpai ruangan studio. Ruangan dimana para kader belajar mengasah kemampuan komunikasi dan entertainment. Podcast adalah salah satu produk karya kader organisasi itu. Beberapa tokoh pemuda hingga menteri pernah menyambangi studio itu.

Pada akhirnya ini tentang makna dinamis. Tumbuh dan berkembang bersama ragamnya problematika kebangsaan. Gedung hanyalah tampak fisik, namun didalamnya tersimpan sumber daya militan yang mampu menjadi jawaban persoalan-persoalan didalam ruang demokrasi. Para kader terus belajar meningkatkan kualitas diri sebagai upaya mempertahankan eksistensi organisasi yang sudah berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka.

Ikuti tulisan menarik Ali Mufid lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler