x

Sumber: Pixabay

Iklan

Anwar Ilma

Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Bergabung Sejak: 20 Mei 2022

Senin, 20 Juni 2022 19:10 WIB

Melihat Sastra Era 50-an

Pada angkatan 50-an didominasi oleh karya sastra balada, bentuk cerita yang berkembang yang berisi tentang sebuah kisah atau peristiwa.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Perkembangan sastra di Indonesia melalui aneka macam proses yang panjang. Pada mulanya, karya sastra yg terdapat di Indonesia merupakan karya sastra yg berupa pantun, syair, gurindam, dan  sejenisnya yang tergabung pada karya sastra lama. Sedangkan berdasarkan jenis lain, karya sastra pula terdapat yang identik menggunakan cerita, yang dikenal dengan dongeng. Menurut Poerwadarminta (1987: 875), sastra disamakan dengan kesusastraan, yaitu karya kesenian yang diwujudkan dengan bahasa, seperti gubahan-gubahan prosa dan puisi yang indah-indah.

Situasi di Indonesia  pada angkatan 50-an berubah drastis dari transisi berdarah menuju kemerdekaan yang gemilang. Suasana ini membuat penulis memahami karakteristik sastra tahun 1950-an dan permasalahan budaya yang dihadapi Indonesia saat ini untuk membedakannya dengan generasi sastra sebelumnya. Penulis mulai mencari petunjuk tentang pengaruh budaya Indonesia  murni dan  pengaruh dari budaya asing.

Pada sastra angkatan 50-an, partai memiliki pengaruhnya sendiri. Indonesia kemudian memperkenalkan sistem parlementer, sistem pemerintahan yang bertindak sebagai cabang eksekutif parlemen dan juga bertanggung jawab kepada parlemen. Dalam pemerintahan parlementer ini, dia memiliki kekuasaan dan otoritas yang sangat besar. Akibat sistem ini, partai-partai politik muncul kembali dan bisa bergerak bebas setelah kemerdekaan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Setelah itu, masing-masing pihak memiliki lembaga kebudayaannya, salah satunya PKI dengan konsep sastra realisme-sosialis. Hal ini menyebabkan berlanjutnya kontroversi dalam dunia sastra Indonesia pada awal tahun 1960-an, yang memasuki politik nyata dan berakhir  dengan pecahnya G30S/PKI di Indonesia pada tahun 1965, sehingga menghambat perkembangan sastra pada saat itu.

Proklamasi kemerdekaan membangun suasana jiwa penciptaan bebas merdeka yang sebelumnya terkekang. Berkat kebebasan tersebut, banyak sekali pemikiran dan penciptaan karya sastra kembali marak. Pada karya sastra puisi memakai puisi bebas, menggunakan gaya ekspresionisme, simbolik, realis, gaya sajaknya presmatis. Kemudian, menggunakan istilah-istilah yang ambigu dan simbolik. Karya puisi ini juga menggunakan bahasa kiasan misalnya metafora, ironisme, dan sinisme. Generasi ini mengembangkan karya sastra yang didominasi  puisi dan balada. Puisi juga mengembangkan gaya naratif pengarang, seperti puisi naratif dan pengembangan gaya balada  yang lebih sederhana.

Selain Puisi, pada angkatan 50-an didominasi oleh karya sastra balada, bentuk cerita yang berkembang yang berisi tentang sebuah kisah atau peristiwa. Karya ini mendominasi karena Pada periode pasca kemerdekaan Indonesia ditinggalkan oleh tokoh sastra yaitu Chairil Anwar, akibatnya para sastrawan lain menurunnya vitalitas terhadap sastra. Kemudian Balai Pustaka kedudukannya tidak menetu. Penerbit ini berkali-kali mengalami perubahan status. Ditambah lagi, penempatan pimpinan yang bukan ahli serta anggaran yang tidak mencukupi, menyebabkan kemacetan produksi. Oleh karena itu karangan hanya didominasi oleh puisi dan balada.

Pada angkatan 50-an berlangsung juga peristiwa krisis sastra. Krisis Sastra peristiwa yang dialami karena sedikitnya jumlah buku yang terbit. Hal ini disebabkan karena kesulitan yang dialami oleh beberapa media penerbit. Tidak hanya penerbitan yang sudah lama seperti Balai Pustaka, tetapi juga penerbitan-penerbitan lain diantaranya Pustaka Rakyat, Pembangunan, Tintamas dan lain-lainnya. Selain kekurangan keuangan, Perubahan status berkali- kali, dengan mengganti pimpinan yang tidak sesuai bidangnya, adalah permasalahan yang dihadapi Balai Pustaka pada saat itu.

Pada periode pasca kemerdekaan, muncul beberapa tokoh sastra, diantaranya:

  1. Sapardi Djoko Damono (1940-2020)
  2. W.S Rendra (1935-2009)
  3. Subagio Sastrowadojo (1924-1995)
  4. Ramadhan KH (1927-2006)
  5. Mansur Samin (1930-2003)
  6. Trisnojuwono (1926-1996)
  7. Alexandre Leo (1905-1985)
  8. Toto Sudarto Bachtiar (1929—2007)

Ikuti tulisan menarik Anwar Ilma lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler