x

Christiano Ronaldo. Wikipedia

Iklan

Michael H. B. Raditya

Antropolog; peneliti musik, seni pertunjukan, dan budaya. Tinggal di Naarm, sesekali mudik ke Jakarta ketika natal.
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 10 Agustus 2022 16:50 WIB

Ronaldo, Penjual KW, dan Cuan


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Setelah Manchester United menetapkan jadwal pra-musim 2022, saya segera membeli tiket pertandingan mereka. Terdapat dua pertandingan yang diselenggarakan di tempat saya tinggal sementara, Melbourne, Australia. Pertandingan Setan Merah dengan tim lokal Australia, Melbourne Victory FC; dan pertandingan Manchester United melawan tim papan tengah English Premier League, Crystal Palace. Saya menyaksikan pertandingan Man Utd besutan pelatih anyar, Ten Hag melawan Crystal Palace besutan Patrick Vieira, gelandang beken yang sempat bersinar di tim gudang peluru, Arsenal. Saya menyaksikannya demi mendapatkan atmosfer dua klub liga Inggris ini saling beradu serang. 

Tidak dapat dipungkiri, jika Manchester United pada musim 2021-2022 bermain kurang memuaskan, sehingga mereka mendapat peringkat yang tidak menguntungkan, tetapi selama GOAT Cristiano Ronaldo berada di klub, saya tiada soal. Hal itu lah yang membuat saya membeli tiket pertandingan Manchester United dan Crystal Palace tiga bulan lalu. Hanya untuk menyaksikan legenda hidup Cristiano Ronaldo beradu akting ketangkasan kaki sembari meneriakkan “Siuuuuuu” setelah mencetak gol. Hanya itu! Namun naas, semuanya berantakan, satu minggu sebelum pertandingan terdengar isu jika Ronaldo tidak ikut bermain pada pertandingan pra-musim. Beredar kabar Ia tengah berlibur bersama keluarga, sembari isu transfer ke klub yang bermain di UCL semakin memanas. Alhasil, mau tak mau saya harus menyaksikan Manchester United tanpanya. Apalagi tiket yang sudah di tangan tidak dapat ditukar. 

Lantas, apa yang saya dapat nikmati dari pertandingan itu? Tentu Manchester United keluar sebagai pemenang dengan unggul dua gol. Tiga gol diciptakan oleh Martial, Rashford, dan sayap andalan, Sancho. Sementara Crystal Palace berhasil melesatkan satu gol ke gawang salah satu pemain terbaik setan merah, De Gea. Namun, lucunya, saya justru lebih terkesan dengan saling-sengkarut yang terjadi di luar stadion. Di mana penggemar yang berebut membeli pernak-pernik demi menyaksikan tim kesayangan dan orang yang menjualnya. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan


Membeli Baju KW
Setelah memutuskan memboyong pulang Ronaldo pada musim 2021-2022, apalagi dengan adanya isu kepergiannya ke klub rival se-kota, Manchester City. Klub Setan Merah mendapatkan dua hal, kualitas dari salah satu pemain terbaik dunia—Anda tidak perlu mendebat saya tentang mana yang lebih baik antara Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo, mereka berdua terbaik—; dan efek popularitas dari seorang pencetak gol sepanjang sejarah FIFA—jika FIFA tidak disematkan, sang legenda, Pele akan marah karena merasa mencetak gol lebih banyak. Tentang kualitas permainannya, tidak perlu diragukan karena ia menjadi yang terbaik di Manchester United pada musim 2021-2022. Namun yang tidak kalah menarik adalah bagaimana dampak popularitasnya. Mengerikan!

Manchester United mendapat pembelian jersey atas nama Ronaldo dengan beberapa rekor, seperti pembelian tercepat di sejarah Premier League dan menghasilkan $45 juta hanya dengan waktu 12 jam. Ia membuat perekonomian Manchester United semakin baik. Hal ini membuat saya percaya jika, tidak hanya nama klub, tetapi nama perseorangan juga bisa menjadi kekuatan besar. Singkat kata, efek Ronaldo di musim lalu menjadi angin segar seluruh lini Manchester United; permainan, merchandise, ataupun perhatian publik. 

Semenjak Australia masuk ke dalam rencana tur pra-musim Manchester United, orang-orang yang menjadwalkan untuk menyaksikannya segera membeli merchandise Manchester United. Tentu hal ini juga beresonansi ke diri saya. Pada 17 Juli 2022, saya memutuskan untuk membeli pernak pernik Manchester United. Saya perlu membelinya untuk pertandingan yang akan saya saksikan pada 19 Juli 2022 di Melbourne Cricket Ground (MCG) pada pukul 20.10 waktu Victoria, Australia. Tidak afdal rasanya tidak mengenakan sesuatu dengan logo setan merah. Seperti pramuka tanpa seragam, terasing.

Saya langsung membuka website resmi Manchester United dan melihat daftar barang yang diperjualbelikan. Jersey official dibanderol AUD 140 atau setara dengan Rp. 1.451.261 sekian. Alih-alih membelinya, saya justru lebih memilih jalan tengah untuk memilikinya, yakni pergi ke pasar. Mau di mana pun berada, pasar akan menyediakan sesuatu yang dibutuhkan dengan harga miring. Alhasil Saya menaiki tram untuk pergi ke Queen Victoria Market. 

Sebagaimana pasar, di sana dijual pelbagai hal, mulai dari groceries alias bahan makanan, hingga jersey sepak bola. Jangan tanyakan apakah barang itu asli atau tidak, itu sama saja dengan Anda menanyakan sepatu Air Jordan di Jalan Mataram, Yogyakarta, atau ingin membeli boba merek Xing Fu Tang di Pasar Tebet Barat, Jaksel. Tentu barang yang diperjual-belikan di Queen Victoria Market adalah barang-barang yang bersaing dengan produk asli, alias barang KW. Soal value, maaf saya lebih bersandar pada fungsinya.

Setibanya saya di depan Queen Victoria Market, saya segera mencari penjual pernak-pernik sepak bola. Hanya terdapat dua penjual di pasar yang memiliki luas 17 acre atau setara dengan 6,87966 hektar. Berbadan tegap, lelaki berambut pirang menawari saya barang dagangannya. Memang pernak-pernik Setan Merah mendominasi tokonya. Dari harga, sudah barang tentu berbeda. Untuk satu jersey Manchester United dibanderol AUD 35 atau setara dengan Rp. 362.729 sekian. Harganya 4 kali di bawah harga toko resmi klub setan merah. Namun hal yang lebih menarik adalah jersey dengan nama dan nomor punggung. 

Alih-alih tersedia secara lengkap, hanya ada satu nama yang terpajang dan diperjual-belikan, Ronaldo dengan nomor punggung tujuh. Harganya pun lebih tinggi 10 dolar dari harga jersey, AUD 45. Tentu jersey Ronaldo lebih menarik hati untuk dimiliki, hal itu terbukti dengan banyaknya orang yang membelinya. Secara harga pun, tentu AUD 45 bukan menjadi soal ketimbang jersey official bernomor punggung tujuh yang dibanderol AUD 222. Lima kali di bawah harga asli.

Hal yang membuat saya tertarik adalah soal keuntungan dari penjualan yang tidak bermuara ke Manchester United ataupun Cristiano Ronaldo, tetapi ke lelaki penjual baju di Queen Victoria Market dan lingkar bisnisnya. Tentu ihwal hak cipta menjadi cara pandang yang siap memereteli hal ini. Namun saya jadi teringat hal yang lain, karena hal ini persis dengan bagaimana persebaran dangdut koplo dengan produk bajakan yang dikutuk produsen dan industri musik Jakarta. Padahal barang bajakan yang diperjual-belikan justru lebih berdampak langsung pada popularitas Orkes Melayu di sekitar Pantura.

Penjual KW ataupun distributor VCD dan DVD bajakan dangdut koplo tentu dapat dituduh sebagai “pencuri” dari mekanisme terpusat kapitalisme, entah dari industri textile atau industri musik. Namun ia juga dapat dianggap sebagai peretas dominasi tunggal dari alur kapitalisme yang bermuara pada produsen. Karena kehadiran penjual KW bisa diartikan kepada dua hal, pertama, ia sebagai hilir. Di mana ia adalah agen distributor dari produsen yang jauh lebih kecil dari Nike, Adidas, ataupun merek sejenis. Kedua, ia adalah hulu. Di mana ia adalah aktor utama dari terciptanya produksi tersebut. Namun, bisa saya pastikan penjual KW yang saya temui adalah agen distributor. 

Entah menjadi hulu dan hilir, saya tetap menganggap mereka adalah peretas dominasi tunggal dari perusahaan besar. Hal ini perlu dilakukan, karena keuntungan perusahaan besar akan berkutat pada orang-orang kelas atas dan selingkarnya saja, mereka yang menjadi buruh tetap diupah sesuai UMR, atau bahkan kurang. Sementara usaha “tandingan” yang jelas lebih kecil, memiliki kemungkinan untuk membuat keuntungannya terbagi dan berputar di sekitarnya. 

Hal ini saya saksikan di Pasar Legi, Jombang, di mana agen yang terlibat dari penjual VCD-DVD bajakan dilakukan orang di sekitar pasar. Keuntungan yang mereka dapatkan pun langsung ke tangan mereka, tidak perlu membagi hasil kepada industri yang lebih besar di Jakarta atau Surabaya. Kerjanya pun dengan kemampuan dan cara kelola mereka. Hal itu membuat perekonomian lokal mendapat imbas langsung dari perputarannya, baik secara finansial ataupun relasi sosial di sekeliling. Alhasil mereka saling tergenapi tidak hanya ihwal materi tetapi soal jaringan. 

Tentang apakah toko resmi dirugikan? Jawabannya tentu iya jika semua diukur secara materi, tetapi jika melihat bagaimana modal lain seperti sosial dan kultural, saya rasa Manchester United dan Ronaldo justru yang berhutang kepada penjual KW dan pembeli produk tersebut. Tidak hanya itu, kita bisa sama-sama memecah dominasi kapitalisme terpusat menjadi bercabang. Tidak perlu dipikirkan soal apakah membeli barang KW itu keliru atau sebaliknya, karena yang niscaya di dunia adalah hierarki kelas. Ronaldo dan Manchester United adalah produk budaya populer yang membuat kita terus melanggengkan sistem kelas. Perih memang, tapi ya mau apa dikata.

Sebentar. Wah, kok terlalu serius! Mari kita kembali ke pertandingan. Dari yang saya saksikan, Ten Hag jelas memberikan perbedaan. Cara bermainnya rapi dan mengutamakan penguasaan bola. Cercaan atas blunder pemain yang kerap terjadi belakangan tidak sedikitpun terucap. Bahkan sang kapten, Maguire bermain tanpa cela. Pun dengan gelandang pengangkut air, Fred yang bermain baik. Lantas, bagaimana nasib Manchester United ke depan? Tentu akan sangat menyenangkan jika Ronaldo menetap hingga musim depan, sambil kita semua berharap agar “Siuuuuu” tidak berubah menjadi “Suuuuwiii” (bahasa Jawa yang artinya lama) dalam mendapatkan posisi teratas dan meraih gelar. Semoga!
 

Ikuti tulisan menarik Michael H. B. Raditya lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler