x

Iklan

Orang Kubus

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 15 November 2021

Kamis, 25 Agustus 2022 07:23 WIB

Merah dan Hitam: Pidato Penentangan

Dikala Penentangan Hadir Dalam Perang

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebelum ke dalam inti cerita, pertama-tama saya ucapkan terima kasih banyak kepada Muhammad Abdurrachman Zhafir Athalariq yang sudah membantu saya dalam menerjemahkan beberapa paragraf dalam buku The Spanish Civil War oleh Hugh Thomas. Selamat Membaca ^-^

 

***

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Seorang lelaki tua terlihat sedang duduk di sebuah ruangan, beliau tengah membaca dua buah surat dari dua orang yang berbeda. Baik itu berbeda jenis kelamin, berbeda dalam strata sosial, bahkan berbeda dalam pandangan politik. Rasanya sudah tidak kuat lagi membaca dua surat itu, selain umur dari lelaki itu sudah dimakan waktu, isi dari surat itu sangatlah berat. Tidak tahan dengan semua ini, beliau lalu meletakan kedua surat dan kacamata miliknya di meja kemudian merenung mengenai masa depan bangsanya, yakni Spanyol.

Umur memanglah bukan sebuah batasan untuk berpikir terhadap masa depan. Meski seluruh rambut dari beliau sudah beruban, dikala seluruh tenaga yang beliau miliki sudah sangat berkurang, atau saat dirinya tidak bisa berdiri tegap. Beliau tetaplah seorang manusia yang bertanggung jawab dalam artian menjalankan kewajiban sebagai seorang akademisi. Merenung adalah sumber untuk mendapatkan sebuah ide tapi yang beliau pikirkan adalah hal yang berbeda. Sangat berbeda saat waktu-waktu biasa, hari ini adalah waktu-waktu genting bagi beliau bahkan bagi seluruh Spanyol.

Lalu ada apa sebenarnya di Spanyol? Apakah baik-baik saja? Sayangnya, jawaban dari pertanyaan itu ialah tidak.  Spanyol tengah mengalami krisis setelah pembubaran Kerajaan Spanyol yang telah direstorasi, orang-orang menyebut pemerintahan kali ini disebut sebagai Republik Spanyol Kedua. Mereka semua menyebut berakhirnya Kerajaan Spanyol akan mengakhiri periode gelap dari negara yang terletak di semenanjung Eropa ini. Tapi, sayangnya Tuhan berkata tidak. Negara ini tetaplah menjadi negara yang tertinggal daripada negara Eropa lain dengan ketidakstabilan politik yang semakin menjadi-jadi. Perbedaan pandangan membuat hubungan manusia semakin retak, penyerangan kepada bangunan keagamaan oleh yang kelompok tidak bertanggung jawab semakin marak begitupula dengan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh politik.

Situasi semakin menggila ketika pada tahun 1936, Spanyol mengadakan pemilu yang kemudian dimenangkan oleh kubu pro-reformasi. Setelah itu bulan demi bulan adalah waktu yang sulit bagi Spanyol hingga pada bulan juli pada tahun yang sama pula, kudeta militer terjadi di wilayah Maroko dan seluruh daratan Spanyol tapi berhasil dikalahkan di kota Madrid, Barcelona dan kota-kota lain. Spanyol seketika terbakar oleh api peperangan dan terbelah menjadi dua kubu, yakni kubu nasionalis melawan kubu republik. Api peperangan kemudian menyebar dan mencapai sebuah kota bernama Salamanca, tempat lelaki tua itu tinggal dan bekerja.

Beliau memang bukanlah orang sembarangan melainkan manusia penting di Salamanca bahkan Spanyol, beliau adalah seorang novelis, esayis, filsuf, professor dan rektor dari Universitas Salamanca. Nama beliau ialah Miguel de Unamuno y Jugo, sebut saja dengan Unamuno. Sudah jelas bahwa beliau bukanlah manusia sembarangan dan surat yang telah beliau baca hari ini adalah surat dari kubu republik dan kubu nasionalis. Sungguh sulit berada di saat-saat perang, ini bukanlah perang melawan bangsa asing melainkan perang melawan bangsa sendiri, Spanyol dengan Spanyol bukan Spanyol melawan Perancis seperti saat Napoleon Bonaparte berkuasa di Eropa dulu. Bila di luar sana ada manusia yang berperang dengan mesin perang maka ia sekarang tengah berperang melawan dirinya sendiri.

Selesai merenung tentang bangsanya sendiri, ia lalu memasang kacamatanya dan melihat surat dengan lambang panah-panah berwarna merah terang kemudian dibacalah isi surat itu. Hatinya berbicara isi dari surat itu, paragraf demi paragraph, beliau dalami maknanya dengan seksama hingga sampailah di ujung kata. Unamono kemudian menyimpan kacamata lalu mengusap kedua mata sembari berkata “Ada apa dengan bangsaku.” Kaum Nasionalis mengajak kepada Unamono untuk merayakan hari Kolumbus dan tentu ia akan hadir. Perayaan itu bertempatkan di Aula Universitas Salamanca dan ia bisa membayangkan seruan dari kaum-kaum Nasionalis. Tapi, ia kemudian melihat surat yang ada di mejanya kembali. Secara perlahan ia memegang surat dengan kertas yang sudah lusuh itu berbeda dengan surat dari Kaum Nasionalis yang tampak elok.

Beliau lalu melihat amplop suratnya yang tertulis “Kepada Unamuno y Jugo, rektor Universitas Salamanca. Dari Ana Carrasco, istri dari walikota Salamanca; Casto Prieto Carrasco”. Tidak lama kemudian, beliau kembali mengenakan kacamata miliknya. Mulai membaca surat dari istri walikota dengan mendetail hingga sampai berakhirnya isi dari surat itu. Hatinya seketika remuk setelah melihat coretan huruf dalam kertas yang diberikan oleh Ana Carrasco. Tidak tahan dengan semua ini, ia kemudian beranjak dari meja lalu pindah ke ranjang untuk bersiap-siap beristirahat.

Sesampainya di ranjang, rektor yang sudah renta itu kemudian mencoba untuk beristirahat tapi tidak bisa. Pikirannya penuh dengan kegelisahan dengan esok dan hari-hari seterusnya. Mati sudah jiwanya dengan tanggung jawab yang beliau emban sebagai seorang akademisi Spanyol. Sekarang waktu istirahat beliau harus dipakai untuk mencari jawaban tentang dimana ia harus berpihak.

Mentari digantikan oleh rembulan tapi tidak lama posisinya juga digantikan oleh mentari. Posisi mereka silih berganti setiap harinya dan pergantian posisi itu pertanda bahwa akan ada hari baru untuk di isi. Tapi, Unamuno masihlah gelisah memikirkan jawaban yang ia pikirkan semenjak malam hari. Tidak ada titik terang dalam perang ini dan mungkinkah Tuhan sudah menutup diri dengan Spanyol.

Beliau lalu bersiap-siap untuk pergi ke Salamanca. Dipakainya sebuah setelan dalam acara-acara besar, beliau dijemput oleh sebuah mobil untuk mengantarkannya ke Universitas. Saat di perjalanan menuju Universitas, beliau melihat para prajurit dan para negarawan berjalan menuju Aula. Mereka memakai baju biru, coklat, ataupun setelan jas hitam seperti yang dikenakan oleh Unamuno. Sesampai di Universitas Unamono berjalan kemudian dihantarkan oleh seseorang menuju ke belakang podium. Saat di belakang ia melihat banyak sekali tokoh-tokoh penting yang hadir, antara lain Dr Plá y Deniel, Uskup dari Salamanca; Jenderal Millan Astray, pendiri dari Legiun Asing; dan beberapa tokoh akademisi lain yang hadir.

Kehadiran dari Unamuno adalah pelengkap bagi kaum Nasionalis. Karena lengkap sudah dukungan untuk perang, mereka juga menyakini bahwa konflik dengan kaum Republik akan dimenangkan oleh kaum Nasionalis. Acara itu kemudian dimulai dan para hadirin mulai duduk di tempatnya masing-masing. Perayaan lalu dibuka dengan ucapan formal dan Unamuno duduk di podium sebagai salah satu tokoh sentris dalam peristiwa ini yang dimana akan mengubah hidupnya. Bagaimana tidak beliau disejajarkan dengan tokoh-tokoh Nasionalis, Jenderal Millan Astray.

Perwira militer itu bukanlah perwira sembarangan, salah satu mata miliknya memanglah sudah buta dan kehilangan lengan kiri. Tapi, dia adalah sahabat dekat dari Franco dan menjadikannya sebagai salah satu figur utama dalam konflik di Spanyol. Aura yang Jenderal itu terasa tidak bersahabat bagi Unamuno walaupun Jenderal itu sekali-kali melemparkan senyum dan bertepuk tangan setelah dibukanya acara itu.

Tidak lama kemudian pembawa acara menyebut nama Professor Francisco Maldonado untuk berpidato. Professor Maldonado kemudian berorasi dengan amarah yang kuat, suaranya menggelegar hingga ke belakang Aula sehingga membuat moral kaum Nasionalis naik secara hebat.

 “… Yang dimana mereka orang-orang Catalan dan Basque adalah kanker dari negara Spanyol dan karena itulah saudara-saudara sekalian bahwa kita haruslah memotong kanker-kanker itu dengan pisau patriotisme. Arriba España!”

Arriba!” Semua penonton bertepuk tangan dengan meriah, seluruh Aula merasakan jiwa ultranasionalis yang luar biasa.

Tiba-tiba Jenderal Millan Astray berdiri sembari berteriak. “España!”

Para pemuda dan negarawan kemudian mengikuti apa yang dilakukan Jenderal Millan Astray sembari bersorak. “Satu!”

“España!” Teriak Millan Astray sekali lagi dihadapan massa.

“Hebat!”

“España!”

“Kebebasan!”

Beberapa pemuda dan negarawan lalu duduk pada tempatnya akan tetapi masih ada yang berdiri sembari berteriak. “¡Viva la Millan Astray! ¡Viva la Muerte!” Sontak para pemuda itu berdiri kembali sembari bersuara, menyebut motto dari legion asing bentukan Jenderal Millan Astray, yakni ‘¡Viva la Muerte!’ (Panjang Umur Kematian). Mereka semua meneriakan kata itu sembari memberikan hormat fasis kepada Millan Astray yang dimana tepat diatasnya terdapat gambar dari Jenderal Fransisco Franco. Gambar itu tampak berada di tengah-tengah podium dan seperti menggambarkan bahwa Jenderal Millan Astray adalah seorang wali dari Jenderal Fransisco Franco untuk pertemuan pada hari ini. Setelah itu para hadirin kembali duduk di tempatnya.

Tidak lama setelah itu, Unamuno kemudian beranjak dari tempat duduknya. Beliau berjalan secara perlahan menuju mimbar yang telah ada di Podium. Semua pasang mata yang hadir dalam podium itu melihat sang rektor yang akan berpidato.

“Kalian semua, dengarkan aku baik-baik. Kalian semua mengenalku, dan paham betul aku tidak dapat diam membisu. Diam membisu artinya berdusta, diam membisu dapat dikatakan sebagai pengiyaan. Di sini, aku ingin mengomentari pidato yang telah disampaikan oleh Profesor Maldonado. Mari kita singkirkan segala penghinaan yang bersifat pribadi yang tersirat dalam ledakan hujatan tiba-tiba terhadap orang Basque dan Catalan. Aku sendiri, tentunya, terlahir di Bilbao.” Unamuno kemudian melihat uskup yang tengah gemetaran, ia takut setengah mati kala itu. Unamuno lalu menunjuk sang uskup kemudian berkata. “Sang Uskup, baik suka atau tidak, juga merupakan seorang Catalan dari Barcelona.”

Seluruh Aula hening. Tidak ada yang bersuara sedikitpun kecuali sang rektor bahkan Jenderal Millan Astray terdiam, bibit-bibit amarah juga muncul di dalam hati para hadirin. Amarah yang paling kuat ada di dalam hati Millan Astray. Akan tetapi Unamuno tidaklah gentar ia masih ingin berbicara kepada hadirin sebagai bentuk protes bagi Spanyol untuk Spanyol, beliau memberi jeda setelah kalimat yang ditunjukan kepada sang Uskup. Tidak lama ia kembali melihat ke depan, yakni kepada hadirin yang berada di dalam Aula.

“Baru saja, aku mendengar sebuah teriakan nekrofilis dan tidak masuk akal; ¡Viva la Muerte! (Panjang Umur Kematian!). Bagiku, seorang yang telah menghabiskan hidupnya membentuk paradoks-paradoks yang telah memicu kemarahan dari orang-orang yang tidak dapat memahaminya, aku, sebagai ahli, harus mengatakan kepada kalian, paradoks aneh itu menjijikan bagiku. Jenderal Millán Astray adalah seorang yang cacat, dia tidak pantas ada dalam perang. Begitu pula dengan Cervantes. Namun, sayangnya ada banyak sekali orang cacat di Spanyol sekarang ini, dan tidak lama lagi mereka akan semakin banyak, jika Tuhan tidak menolong kita.  Sungguh menyakitkan bagiku untuk berpikir bahwa Jenderal kalian, Millán Astray, yang harus memimpin sekumpulan besar massa. Seorang cacat yang tidak memiliki nilai spiritual karakter yang luhur, sama seperti Cervantes, akan selalu mencari kelegaan tak menyenangkan dengan menyebabkan pembantaian terjadi di sekelilingnya.”

Mendengar hal itu Jenderal Millan Astray kemudian memukul meja di depannya dengan amarah yang sangat besar. Perwira itu berdiri kemudian berteriak. “¡Mueran los intelectuales! (Matilah Intelektual!) Panjang umur kematian!”

Para hadirin yang mendengar perkataan dari perwira kemudian bersorak terutama kaum Falangis yang sekarang hatinya menolak untuk menerima kerendahan hati dari sang rektor. Ada juga seseorang yang berteriak. ”Hancurkan intelektual palsu! Pengkhianat!” Sayangnya harus digaris bawahi bahwa Unamuno sudah siap dengan hal yang seperti ini, beliau kemudian menatap Millan Astray kemudian menunjuk perwira militer dari kaum Nasionalis itu, seraya berkata:

“Millan Astray!” Teriak Unamuno. “Ini adalah kuil kebijaksanaan, dan aku lah imam besarnya. Kalian telah menodai tempat suci ini. Kalian akan menang, tapi karena kalian memiliki tangan kasar yang lebih dari cukup, kalian tidak akan pernah bisa meyakinkan orang lain. Untuk meyakinkan, kalian harus membujuk, dan untuk membujuk, kalian membutuhkan dua hal yang tidak kalian miliki; alasan dan hak dalam perjuangan ini. Aku rasa sia-sia saja membujuk kalian agar kalian mau memikirkan Spanyol. Aku selesai.”

Unamuno lalu mengundurkan diri dari mimbar, ia berjalan keluar dari Aula. Istri dari Franco, Doña Carmen, mendekati Unamuno dan Millán Astray. Perempuan itu bersikeras agar sang rektor memberikan tangannya padanya. Unamuno menggenggam tangan Carmen, lalu keduanya pergi meninggalkan aula. Saat detik-detik mereka keluar dari Aula. Para legiuner mulai mengarahkan senjata pada Unamuno, mereka yang awalnya melihat Unamuno sebagai sekutu dekat sekarang menatapnya seperti hewan buruan.

“Merah!”

“Pengkhianat!”

“Intelektual Palsu!”

“Dasar Jalang!”

Itu adalah kata-kata umpatan yang diterima Unamuno, pidatonya pada hari itu adalah pidato terakhir dari sang rektor. Nasib yang beliau terima setelah itu sungguh malang, jabatan sebagai rektor dari Universitas Salamanca kemudian dicabut, beliau bahkan jarang keluar dari rumah. Intelektual Spanyol itu kemudian terluka hatinya dan meninggal pada hari terakhir di tahun 1936. Tiga tahun sebelum perang di Eropa meletus untuk kedua kalinya di tanggal 01 September 1939.

Ikuti tulisan menarik Orang Kubus lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler