x

orang sedang menulis

Iklan

Ricko Blues

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 Maret 2022

Senin, 29 Agustus 2022 05:59 WIB

Surat-surat dari Lere

Andreas tahu dan kita semua juga tahu apa yang harus ia lakukan di kemudian hari.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lere, 1960

Di lereng gunung Egon sebelah selatan, Mo’at[1]Agus susah payah menerobos hutan sambil berjuang menaiki tanjakan dari jalanan yang berbatu dan berlubang. Dengan satu ekor kuda beban yang ditunggangnya bersama muatan beberapa karung hasil kebun yang siap dijual di pasar Geliting, ia tak kenal lelah membelah sunyi.

Hari masih terlalu pagi. Suara binatang-binatang malam masih juga terdengar lebih dini. Dan yang lebih menusuk adalah dinginnya udara kampung Lere yang berada persis di bawah kaki gunung. Akan tetapi semangat Mo’at Agus tetap tak surut meski dingin yang membawa kabut mengikuti. Ia terus menunggangi kudanya di kegelapan sebab ia tahu beberapa kilometer lagi jalanan menanjak itu berakhir, dan ia siap melewati jalanan menurun hingga nanti tiba di Waigete, kampung yang berada di lereng gunung Egon sebelah utara. Dari kampung itu, ia akan menyusuri jalanan di sepanjang pesisir pantai utara menuju pasar Geliting.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Biasanya tiba di Waigete, matahari sudah agak tinggi. Dia hanya butuh waktu beberapa menit saja untuk istirahat siang sejenak di pesisir dan kemudian melanjutkan perjalanan. Ia lakukan itu demi menopang hidupnya sendiri, seorang istri dan enam orang anaknya.

Di sepanjang perjalanan, ia akan berjumpa dengan orang-orang kampung yang tinggal di pesisir pantai. Mereka bertemu, saling menyapa, basa-basi, dan kemudian melanjutkan perjalanan. Sesekali ia juga harus melewati hutan belantara, semak-semak berduri, jalan berbatu, berlubang yang kadang membuat kudanya tergelincir.

Setelah semua rintangan itu ia lalui, Mo’at Agus akan tiba di Geliting dan mulai menukar hasil kebunnya dengan para pedagang yang ada di pasar sesuai dengan kebutuhan. Ada hasil kebun yang berhasil dibarter dan ada juga yang tidak. Mo’at Agus tidak putus asa. Masih ada kesempatan lainnya.

Ia menginap semalam di salah seorang kerabat yang menyambut kedatangannya dengan riang, menjamunya dengan pisang atau ubi rebus, kuah asam dan sayur nangka dengan santan. Juga disajikan moke—sebagai minuman penutup yang diminum dengan tempurung—yang disimpan di dalam buluh yang memang khusus disediakan bagi para tamu yang bertandang ke rumah.

Ada bayang-bayang wajah istri dan anak-anaknya sebelum kantuk benar-benar mengantarnya menuju pembaringan. Ia hanya berharap mereka baik-baik saja.

Kupang, 1980

Di pengujung tahun, hidup masih serba terbatas. Dalam kesederhanaan kota yang baru bertumbuh, Andreas menikmati masa-masa belajarnya di perguruan tinggi di pinggiran kota. Sepanjang hari ia bergelut dengan buku-buku perkuliahan, dan di akhir pekan bila ada tambahan uang, ia bersama beberapa orang teman menikmati indahnya malam kota dengan berjalan dari tempat kos menuju Kupang Theater, sebuah bioskop yang ramai saat itu; sekaligus tempat dimana mereka menimba inspirasi sekaligus mengenyam hiburan.Orang-orang dengan keramahannya yang khas menebar senyum kepada siapa saja sambil sesekali berkenalan dan bercakap-cakap.

Mendekati pukul dua belas malam, pengunjung Kupang Theater yang kebanyakan mahasiswa berhamburan di luar gedung; ada yang hendak pulang ada juga yang hendak menikmati film-film tengah malam. Bagi mereka, tidak ada tempat yang paling romantis di akhirhari selain bioskop. Saat hendak pulang, Andreas berjumpa dengan salah seorang teman sekampung yang memberinya sepucuk surat. Tiba di kamar kos, ia langsung membuka dan membaca surat itu.

…..Bapak sakit keras, nong[2]. Tapi tidak apa-apa. Jangan takut. Lanjutkan sekolah nong di sana. Gunakan dulu uang yang tersisa. Akhir bulan baru dikirim lagi bila hasil panen vanili mencukupi. Dua orang adik nong yang di SMP sudah kembali ke kampung. Mereka tidak bisa melanjutkan sekolah karena memang harus begitu. Beberapa ekor kuda sudah bapak jual untuk membiayai kuliah nong di Kupang. Kami sekeluarga mendoakan nong.

Semoga berhasil….

Amapu benjer[3]…..

Andreas menahan sesak di dadanya. Di bawah remang-remang bolam lampu kamar, ia sudah tak sanggup menitihkan air mata. Ia hendak pulang ke kampung dan meninggalkan cita-cita besar menjadi seorang guru dan mengabdi di kampung halamannya. Harapannya mulai pupus dan situasi menjadi serba salah, serba sulit saat ia sadar uang simpanannya juga sudah tidak cukup untuk membeli tiket kapal laut.

Terbayang di benaknya bagaimana dulu bapaknya mencari nafkah untuk anak-anaknya dan berjuang keras agar semua anaknya bisa mengenyam pendidikan tinggi. Namun sekarang ia sakit keras, tak berdaya lagi. Sudah tak ada lagi kebahagiaan lagi di sini. Semuanya berubah seketika. Gairah hidupnya sirna dalam semalam.

Kurang lebih seminggu menjalani masa perkuliahan sejak kedatangan surat dari kampung, Anderas terus luntang-lantung tak karuan. Untuk mengisi perutnya, ia mengharapkan kebaikan teman-temannya di kos yang masih berkecukupan. Kadang-kadang ia mendapat tambahan uang dari usahanya membantu teman-teman sekampus yang kesulitan mengerjakan tugas-tugas perkuliahan. Ia menjalani semuanya sekedar berusaha melanjutkan hidup dan studi, hingga pada suatu saat beberapa pucuk surat dari kampung tiba,

“Terpaksa harus kami kabarkan, nong, meski ini sangat menyiksa, sangat melukai. Hidup ini, nong, tak untuk menderita tetapi untuk dijalani saja. Kami tidak tahu lagi harus berkata apa dan bagaimana. Apa yang kami rasakan jauh di dalam lubuk hati, sangat, sangat menyiksa sama seperti yang nong rasakan sekarang. Harus bagaimana lagi, nong. Kami pun tidak bisa berbuat apa-apa lagi bahkan hanya untuk sekedar mengucapkan maaf dan maaf untuk terakhir kalinya. Nong, maaf bapakmu yang tangguh itu sudah tidak ada lagi….”     

Matanya kosong memandang, entah apa yang terlintas di benak, entah apa yang akan terjadi lagi; ia pasrah seakan mau berujar, bawalah saya juga Tuhan, bawalah saya bersama dengan bapak. Hanya itu permintaan terakhir saya. Cabut saja nyawa ini. Tangan dan kakinya bergetar hebat, mukanya memerah, air matanya deras mengucur. Kesedihan ini akan terasa panjang dan tak seorang pun bisa mencegahnya.

Kesedihan itu tetap ada. Namun, Andreas tetap tangguh, berjuang sendiri menghabiskan kuliahnya yang tersisa tiga semester. Ia tidak akan mengubur mimpi bapaknya. Ia ingin sukses, ia ingin semua kerja keras bapaknya terbayar meskipun ia sadar kalau semuanya itu tidak seberapa.

Waktu mengalir, ia terus berpacu hingga akhirnya tali toga pun dipindahkan. Tidak ada keluarga, tidak ada resepsi, tidak ada perayaan. Hanya ucapan selamat dari teman-teman dan kenalan. Baginya, tidak ada kesuksesan yang harus dirayakan, ini baru awal dari perjuangannya yang sesungguhnya. Dari kota karang itu ia mengirim surat,

“….sampai saat ini saya belum melihat pusara bapak. Maafkan saya, bapak. Ini baru awal dari perjuangan hidup saya. Saya telah selesai menyelesaikan kuliah saya. Bapak adalah orang yang sangat berjasa untuk semua ini. Sekarang saya akan memulai karier hidup saya mulai dari sini, dari tempat ini. Tidak mudah memang, tetapi inilah suara hati saya. Kampung halaman adalah tempat yang selalu ada dalam hati dan selalu menjadi inspirasi. Doa saya selalu mengiringi kalian sekeluarga. Jangan terlalu lama bersedih. Bapak sudah bahagia di surga. Dia selalu mendoakan kita.”

Andreas tahu dan kita semua juga tahu apa yang harus ia lakukan di kemudian hari.

 

 

 

 

 

 

[1]Panggilan untuk laki-laki dewasa yang sudah menikah (Sikka)

[2]Panggilan untuk anak laki-laki (Sikka)

[3]Tuhan memberkati (Sikka)

Ikuti tulisan menarik Ricko Blues lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

11 jam lalu

Terpopuler