x

Putu Wijaya 1

Iklan

atmojo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Rabu, 5 Oktober 2022 07:20 WIB

Drama Konvensional Putu Wijaya: Bila Malam Bertambah Malam

Drama percintaan yang terhalang oleh kesombongan dan kasta. Terjadi di lingkungan puri dan penuh rahasia. Inilah sandiwara konvensional Putu Wijaya sebelum ia dikenal sebagai dramawan yang kerap menyajikan cerita-cerita absurd.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebelum Putu Wijaya akhirnya dikenal sebagai dramawan yang kerap menyuguhkan cerita-cerita yang absurd, kali ini kita tengok drama konvensional yang ditulisnya pada 1964 di Yogyakarta. Judulnya, Bila Malam Bertambah Malam.

Isinya menceritakan tentang Gusti Biang, seorang janda yang sangat membanggakan darah kebangsawanannya. Dia hidup di rumah peninggalan suaminya, I Gusti Ngurah Ketut Mantri, seorang bangsawan yang dulunya sangat dihormati karena dianggap sebagai pahlawan kemerdekaan. Gusti Biang kini tinggal bersama dengan Wayan, seorang lelaki tua kawan seperjuangan I Gusti Ngurah Ketut Mantri. Selain Wayan, ada Nyoman Niti, seorang gadis desa yang lebih dari delapan belas tahun tinggal di purinya. Sementara putra semata wayangnya, Ratu Ngurah, telah lima tahun meninggalkan puri karena sedang menuntut ilmu di pulau Jawa. 

Sikap Gusti Biang yang masih ingin mempertahankan tatanan lama, termasuk masalah kasta, membuatnya sombong dan memandang rendah orang lain. Dia juga sangat cerewet. Nyoman Niti, pembantu yang  setia melayaninya selama ini, harus rela menerima sikap Gusti Biang yang sering menginjak-injak harga dirinya. Nyoman Niti sebenarnya marah dan ingin meninggalkan puri itu karena dia sudah tidak sanggup lagi menghadapi sikap Gusti Biang. Namun, niatnya selalu urung manakala Wayan menghibur dan membujuknya untuk bersabar dan tetap setia menjaga Gusti Biang demi cintanya pada Ratu Ngurah. Nyoman Niti dan Ratu Ngurah memang saling menyintai.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi Nyoman Niti akhirnya tak kuasa lagi menahan emosi yang sudah lama dipendamnya. Maka, manakala Gusti Biang benar-benar menindasnya dan menuduhnya hendak meracuninya, akhirnya Nyoman Niti bergegas  meninggalkan puri. Wayan berusaha menahan kepergiannya. Tapi, alangkah terkejutnya Nyoman ketika Gusti Biang membacakan hutang alias biaya yang sudah dikeluarkannya selama delapan belas tahun  membiayai Nyoman Niti. Jumlahnya konon lebih dari seratus miliar. Nyoman tidak menyangka Gusti Biang mencatat semua pengeluarannya dan setega itu padanya. Nyoman pun membalas:

NYOMAN:

Lebih dari sepuluh tahun tiyang menghamba di sini. Bekerja keras dengan tidak menerima gaji. Kalau tidak ada Bape Wayan, sudah lama tiyang pergi dari sini. Selama ini tiyang telah membiarkan diri diinjak-injak, disakiti, dijadikan bulan-bulanan seperti keranjang sampah. Tidak perlu rentenya, pokoknya saja. Utang Gusti Biang kepada tiyang, sepuluh juta kali sepuluh tahun. Belum lagi sakit hati tiyang karena fitnahan dan hinaan Gusti. Pokoknya melebihi harta benda yang masih Gusti miliki sekarang. Tapi ambilah semua itu, sebagai tanda bakti tiyang yang terakhir.

GUSTI BIANG:

Pergiiiiii!! Pergiiii!

(Nyoman menghapus airmata dan berlari keluar pintu sambil membawa buntelan)

GUSTI BIANG:

He! Jangan kau bawa itu!

(Nyoman menaruh kembali buntelannya lalu pergi. Gusti Biang mengikuti sebentar kepergian Nyoman, lalu duduk kembali. Wayan yang duduk membelakangi Gusti Biang tidak tahu kalau Nyoman telah pergi)

WAYAN:

(bergumam). Satu miliar kali sepuluh tahun? Aneh-aneh saja pembukuan zaman sekarang!

GUSTI BIANG:

(mendekati Wayan). Jangan cerewet, Wayan, awasi dia supaya jangan kembali kemari, kau dengar?

WAYAN:

Sabar Gusti, kenapa Gusti gelap mata? Gusti telah menghantam semua orang dengan utang. Satu miliar dan ...... (menoleh ke belakang dan heran). Piiiiihh, di mana Nyoman, Gusti?

GUSTI BIANG:

Dia sudah pergi, buta. Dia tidak akan mengganggu kita lagi.....

WAYAN:

Maksud Gusti,  dia sudah pergi dan titiyang tidak melihatnya? Nyoman....

(Wayan pergi mernyususl Nyoman, Beberapa saat dia masuk kembali).

GUSTI BIANG:

Ya, kita sudah terlepas dari bahaya...

WAYAN:

Terlepas? Justru bahaya itu sekaranglah baru mulai, Gusti.

Wayan kemudian memberi tahu Gusti Biang bahwa ia tidak memikirkan dirinya sendiri, tapi memikirkan putra Gusti Biang, Ngurah. Wayan akhirnya berkata kepada Gusti Biang:

WAYAN:

Gusti, Nyoman adalah tunangan Ngurah, calon menantu Gusti Biang sendiri, berani sumpah, Nyoman adalah tunangan Ngurah. Ratu Ngurah sendiri yang mengatakannya. “Aku akan mengawini Nyoman, Bape,” katanya. “Biar hanya orang desa, pendidikannya rendah, tapi hatinya baik, daripada...” Biar dimakan leak. Demi apa saja!

GUSTI BIANG:

Tidak, semua itu hasutan. Anakku tidak akan kuperkenankan kawin dengan bekas pelayannya. Dan, kami keturunan ksatria kenceng. Keturunan raja-raja Bali  yang tak boleh dicemarkan oleh darah sudra.

WAYAN:

Tapi kalau Ratu Ngurah menghendaki, bagaimana?

GUSTI BIANG:

Bisa saja dipelihara sebagai selir. Suamiku dulu memelihara lima belas orang selir. Kalau tidak, jangan mendekati anakku.

WAYAN:

Tapi mereka saling menyintai!

GUSTI BIANG:

Cinta? Apa itu cinta, itu hanya ada dalam kidung-kidung Smarandanamu.

WAYAN:

Kalau begitu alamat akan perang.

GUSTI BIANG:

Perang, apa maksudmu? Perang sudah selesai, tidak ada perang lagi!

WAYAN:

Wayan tidak mau kehilangan tongkat dua kali.

GUSTI BIANG:

Ngurah tidak akan sudi menjamah perempuan dekil itu.

WAYAN:

Ratu Ngurah benar-benar menyintai Nyoman, Gusti Biang.

GUSTI BIANG:

Bohong!

Karena Gusti Biang masih tidak percaya, maka Wayan memintanya untuk membaca surat yang sudah diterima lima hari lalu. Gusti Biang membaca di dekat lampu teplok dan Wayan mendengarkan dengan tenang.

GUSTI BIANG:

Swastiastu, Ibunda tercinta.... Kalau aku bilang tadi, kamu bilang sudah lima hari, apa saja yang aku katakan kamu lawan! Dewa Ratu, dengarkanlah Wayan. Betapa pintarnya ia menghormati (membaca lagi)..... dengan singkat ananda kabarkan bahwa ananda segera pulang. Ananda telah merencanakan berunding dengan Ibu. Sudah masanya sekarang ananda menjelaskan. Meskipun ananda belum menyelesaikan pelajaran, bahkan mungkin ananda akan berhenti sekolah saja, sebab tak ada lagi gunanya. Ananda hendak menjelaskan kepada Ibu bahwa ananda tidak bisa lagi berpisah lebih lama. Rahasia ini ananda simpan sejak lama. Supaya Ibu tidak kaget nanti, akan saya terangkan bahwa ananda bermaksud, ananda bermaksud... ananda bermaksud....

(Mengulang sambil mendekatkan lampu teplok)

WAYAN:

Bermaksud apa?

GUSTI BIANG:

Bermaksud, bermaksud...

WAYAN:

Ya bermaksud apa? Baca terusnya, Gusti Biang.

GUSTI BIANG:

(tiba-tiba surat itu jatuh dari pegangannya). Jadi dia benar-benar mau kawin dengan perempuan itu?

WAYAN:

Ya!

GUSTI BIANG:

Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Aku melarang keras. Ngurah harus kawin dengan orang patut-patut. Sudah kujodohkan sejak kecil dia dengan Sagung Rai. Sudah kurundingkan pula dengan keluarganya di sana, kapan hari baik untuk mengawinkannya. Dia tidak boleh mendurhakai orangtua seperti itu. Apa pun yang terjadi dia harus terus menghargai martabat yang diturunkan oleh leluhur-leluhur di puri ini. Tidak sembarang orang dapat dilahirkan sebagai bangsawan. Kita harus benar-benar menjaga martabat ini. Oh, aku akan malu sekali, kalau dia mengotori nama baikku. Lebih baik aku mati menggantung diri daripada menahan malu seperti ini. Apa nanti kata Sagung Rai? Apa nanti kata keluarganya kepadaku? Tidak, tidak! (wanita itu menjerit dan mendekati Wayan dengan beringas). Kau, kau biang keladi semua ini. Kau yang menghasut supaya mereka bertunangan. Kau sakit gede!

WAYAN:

Tidak, titiyang tidak ikut campur, Gusti Biang.

GUSTI BIANG:

Ya, kaulah hantu yang memburu hidupku. Aku masih ingat kejadian zaman dulu. Waktu aku masih muda dan kau memburuku dengan mata buayamu itu, kau memang licik! Dasar manusia sudra! Kau menghasut anakku supaya kawin dengan Nyoman karena kau sendiri gagal!

WAYAN:

Siapa bilang tiyang gagal!

GUSTI BIANG:

Suamiku yang telah menggagalkan kau.

WAYAN:

Suami Gusti Biang seorang pembohong!

GUSTI BIANG:

Bedebah! Berani kau menghina pahlawan di puri ini?

WAYAN:

(tertawa pahit. Wajahnya menjadi keras). Pahlawan? Pahlawan apa? Siapa yang mengatakan dia pahlawan?

GUSTI BIANG:

Semua mengatakan dia pahlawan. Dia telah berjuang untuk kemerdekaan dan mati ditembak Nica!

WAYAN:

Itu bohong! Orang-orang seperti dia yang menggabungkan diri dalam pasukan Gajah Merah memang pantas disebut pahlawan. Pahlawan penjajah! Orang-orang seperti dia telah menikam perjuangan dari belakang.

GUSTI BIANG:

Pergi! Pergi bangsat! Angkat barang-barangmu. Tinggalkan rumah suamiku ini. Aku tak sudi memandang mukamu!

(Melempari wajah Wayan dengan botol).

WAYAN:

Baik, aku akan pergi sekarang. Aku akan menyusul Nyoman. Aku juga sudah bosan di sini meladeni tingkah lakumu. Tapi sebelum aku pergi, akan aku jelaskan tentang pahlawan gadungan itu. Gusti harus tahu.

GUSTI BIANG:

(memotong). Tidak! Aku tidak mau mendengar. Kau telah menghina suamiku. Ini tidak bisa dimaafkan lagi. Pergi! Pergi! Sebelum aku mengtukmu, pergi! Rumah ini kepunyaanku, tinggalkan gudangku itu, pergi bedebah!

WAYAN:

Benar?

GUSTI BIANG:

Pergi leak! Jangan kau menggangguku lagi. Pergi! (menumpahkan air di tempolong ke wajah Wayan).

WAYAN:

Baik, tiyang akan pergi, Gusti Biang.

(Wayan meninggalkan ruangan, Gusti Biang melontarkan kutukan).

GUSTI BIANG:

Tinggalkan gudang itu sekarang juga. Enyah dari rumah suamiku. (pedih sekali). Dia sudah menjadi setan, suamiku dihinanya, anakku dihasutnya. Terkutuk, terkutuk bedebah itu. Apa yang harus aku  katakan kepada Sagung Rai kalau Ngurah kawin dengan perempuan sudra itu? Bedebah, terkutuk! Dewa Ratu, malangnya nasib orang tua ini, semua mendustaiku, semua orang menjadi binatang.

(Memandang sekeliling, lalu duduk di kursi. Untuk beberapa saat dia tertidur di kursi itu, tempat tidur Gusti Biang).

                                                                           ***

Cerita selanjutnya, Ngurah, anak Gusti Biang, datang membawa kopor. Lalu Gusti Biang meminta agar Ngurah segera menemui Sagung Rai, wanita yang sudah dijodohkan untuknya. Gusti Biang kemudian menanyakan kebenaran isi surat yang dikirim Ngurah sebelumnya. Ngurah membenarkan semuanya. Maka terjadilah pertengkaran di antara mereka. Gusti Biang tidak setuju Ngurah menikah dengan Nyoman.

GUSI BIANG:

Dia tidak pantas menjadi istrimu!  Dia tidak pantas menjadi menantuku!

NGURAH:

Kenapa tidak, Ibu? Kenapa? Siapa yang menjadikan Sagung Rai lebih pantas dari Nyoman untuk menjadi istri? Karena derajatnya? Tiyang tidak pernah merasa derajat tiyang lebih tinggi dari orang lain. Kalau toh tiyang dilahirkan di purian, itu justru menyebabkan tiyang harus berhati-hati. Harus pintar berkelakuan baik agar bisa jadi teladan orang. Itu paradigma baru tentang kebangsawanan, tidak ada diskriminasi! Yang lain omong kosong semua! (Gusti Biang terbelalak dan mendekat). Tiyang sebenarnya pulang meminta restu dari Ibu. Tapi karena Ibu menolaknya karena soal kasta, alasan yang tidak sesuai lagi, tiyang akan menerima akibatnya (Gusti Biang menangis, Ngurah bergulat dengan batinnya). Tiyang akan kawin dengan Nyoman. Sekarang ini soal kebangsawanan jangan dibesar-besarkan lagi. Ibu harus menyesuaikan diri. Kalau tidak, Ibu akan ditertawakan orang. Ibu....

GUSTI BIANG:

Tinggalkan aku anak durhaka! Pergilah memeluk kaki perempuan itu! Kau bukan anakku lagi! Leluhurmu akan mengutukmu, kau akan ketulahan.

Nyoman kemudian meminta Gusti Biang memanggil Wayan dan Nyoman untuk ikut hadir dan bicara. Tapi alangkah kagetnya ia ketika tahu bahwa ibunya sudah mengusir Nyoman dari rumah. Ngurah diam terbengong. Gusti Biang masuk ke dalam rumah meninggalkan Ngurah.

Adegan selanjutnya, Wayan muncul membawa koper seng dan senjata. Wayan melihat Ngurah dan mengabarkan bahwa Nyoman sudah pergi. Dia juga akan pergi menyusul Nyoman. Ngurah menanyakan alasan Nyoman pergi meninggalkan puri. Wayan menerangkan alasannya bahwa Gusti Biang tidak cocok dengan Nyoman. Gusti Binag kemudian muncul lagi. Dia kembali mengusir Wayan. Tapi Ngurah menahannya.

GUSTI BIANG:

Dia hantu! Tinggalkan rumah ini cepat!

WAYAN:

Ya, tiyang hantu. Seperempat abad tiyang mengabdi di rumah ini karena cinta. Sekarang keadaan tambah buruk. Bape pergi, Tu Ngurah....

Wayan mengangkat koper hendak pergi. Tapi Gusti Biang mencegahnya ketika melihat Wayan juga membawa bedil. Menurut Gusi Biang, itu bedil miliknya. Sementara Wayan merasa bedil itu miliknya. Ngurah sendiri menaruh curiga. Ngurah lalu menanyakan kepada ibunya tentang peluru yang menewaskan ayahnya. Gusti Biang yang selalu membawa peluru itu sebagai jimat menyerahkannya kepada Ngurah.

Kini Ngurah yakin, dari bedil itulah peluru yang membunuh ayahnya berasal. Menurut Gusti Biang, itu bedil Nica. Tapi Wayan meyakinkan bahwa hanya gerilya yang punya bedil semacam itu.

WAYAN:

(tertawa). Semua pahlawan mati tertembak Nica, tetapi dia tidak. I Gusti Ngurah Ketut Mantru bukan seorang pahlawan, dia ditembak mati gerilya sebagai pengkhianat.

NGURAH:

Bape bilang Ayah saya pengkhianat? Kenapa Bape membeo kata orang yang iri hati? Bape sudah bertahun-tahun di sini, mengapa mau merusak nama baik keluarga kami?

Wayan kemudian menerangkan panjang lebar sejarah peperangan melawan Nica. Misalnya tentang bocornya gerakan Ciung Wanara yang dipimpin Pak Rai, sehinga Nica mengepung Desa Marga dan mengancurkannya. Hanya karena ayahnya dilahirkan sebagai putra bangsawan yang berpengaruh serta dihormati karena jasa-jasa leluhurnya, dosa ayahnya kepada pak Rai serta korban puputan itu, seperti dilupakan. Tetapi Wayan tidak pernah melupakan.

Mula-mula Ngurah tidak percaya. Ia meminta Wayan membuktikannya. Akhirnya Wayan berterus terang bahwa dialah yang menembak lelaki yang selama ini dikira ayahnya itu. Bahkan Wayan kemudian bercerita siapa sesungguhnya ayah Ngurah:

WAYAN:

..... Ngurah mungkin mengira ayah Ngurah yang sejati, sebab dia suami sah Ibu Ngurah. Tapi dia bukanlah seorang pejuang. Dia seorang penjilat, musuh gerilya. Dia bukan lelaki jantan, dia seorang wandu. Dia memiliki lima belas orang istri, tapi itu hanya untuk menutupi kewanduannya. Kalau dia harus melakukan tugas sebagai seorang suami, tiyanglah yang sebagian besar melakukannya. Tapi itu semua menjadi rahasia.... sampai.... kau lahir, Ngurah, dan menganggap dia sebagai ayahmu yang sebenarnya. Coba tanyakan kepada Ibu Ngurah, siapa sebenarnya ayah Ngurah yang sejati.

Ngurah tak percaya dan menghampiri ibunya yang mulai menangis. Wayan kemudian meneruskan ceritanya:

WAYAN:

Dia pura-pura saja tidak tahu siapa laki-laki yang selalu tidur dengan dia. Sebab sesungguhnya kami saling menyintai sejak kecil, sampai tua bangka ini. Hanya kesombongannya terhadap martabat kebangsawanannya menyebabkan dia menolakku, lalu dia kawin dengan bangsawan, pengkhianat itu, semata-mata hanya soal kasta. Meninggalkan tiyang yang tetap mengharapkannya. Tiyang bisa ditinggalkannya, sedangkan cinta itu semakin mendalam.

Tiyang menghamba di sini karena cinta tiyang kepadanya, seperti cinta Ngurah kepada Nyoman. Tiyang tidak pernah kawin seumur hidup dan orang-orang selalu menganggap tiyang gila, pikun, tuli. Cuma tiyang sendiri yang tahu, semua itu tiyang lakukan dengan sengaja untuk melupakan kesedihan, kehilangan masa muda yang tidak bisa dibeli lagi (memandang Ngurah dengan lembut, tapi tiba-tiba ia teringat sesuatu dan kemudian berkata). Tidak. Ngurah tidak boleh kehilangan masa muda seperti Bape hanya karena perbedaan kasta. Kejarlah perempuan itu, jangan-jangan dia mendapatkan halangan di jalan. Dia pasti tidak berani pulang malam-malam begini. Mungkin dia bermalam di Dauh Pala, di rumah temannya. Bape akan mengurus ibumu. Pergilah cepat, kejar dia sebelum terlambat.

                                                                         ***

Karena ini drama normal atau konvensional, maka ada baiknya juga dijelaskan secara konvensional dulu. Sebagaimana dipentaskan dalam Festival Salihara 21 dan 22 Juni 2013, seluruh adegan berlangsung di beranda depan rumah Gusti Biang. Di dinding ada pigura  dengan potret almarhum suami Gusti Biang. Hari menjelang malam. Artinya, latar cerita drama ini jelas, yakni  di sebuah puri di Tabanan, Bali. Drama ini tidak sulit untuk dipahami semua orang karena alurnya yang runut alias dari depan ke belakang. Bahasanya juga jelas. Temanya tentang kisah percintaan yang terhalang oleh kesombongan dan status sosial di antara para pelakunya. Karakter tokoh-tokohnya juga jelas.

Meski drama ini sekilas terasa sebagai “drama lokal”, namun tetap bisa dinikmati oleh siapa saja. Kisah tentang kemunafikan dan kesombongan “bangsawan” atau yang merasa dirinya lebih dari orang lain bisa terjadi di mana saja dan kapan saja. Selalu saja ada orang yang memandang orang lain tidak utuh sebagai persona, tetapi melihat orang lain karena embel-embel yang melekat padanya, misalnya kaya, cakep, pejabat, keturunan ningrat, dan seterusnya. Tentang cinta dan hubungan antar-sesama,  antar-persona, ini juga  menjadi renungan filosof Gabrial Marcel dan sudah pernah saya sampaikan ketika menulis karya Putu Wijaya yang lain.

Lalu, mungkin hanya kebetulan atau justru menjadi inspirasi Putu Wijaya, drama satu babak Bila Malam Bertambah Malam ini, secara “bentuk” mengingatkan saya pada drama Huis Clos (Pintu Tertutup) karya Jean-Paul Sartre. Drama psikologis karya Sartre itu juga cuma satu babak, dan hanya diperankan oleh empat orang. Dalam drama yang banyak menimbulkan ketegangan itu Sartre berbicara soal “orang lain” dan kebebasan. Di situ Sartre ingin mengambarkan, antara lain, bagaimana relasi antar-sesama yang saling mengobjekkan. Ia ingin menunjukkan bahwa jika seseorang menempatkan dirinya dalam ketergantungan total pada orang lain, maka orang itu sungguh-sungguh seperti berada dalam “neraka”. Dalam situasi itu, kebebasan orang tersebut tidak ada lagi atau  ditolak. Sartre berpandangan bahwa manusia memiliki kesadaran dan kebebasan mutlak yang mampu memberikan makna dan mendasari tanggung jawab atas eksistensinya.

Nah, untuk sedikit memperjelas pemikiran Sartre, saya akan menambahkan sedikit saja soal bagaimana ia memahami relasi antar-sesama, antar-manusia, dan  “orang lain” dalam kehidupan nyata. Tetapi kita mesti sedikit berhati-hati. Sebab pandangan filosof kelahiran Prancis ini termasuk salah satu yang sering disalahpahami. Maka, untuk mengetahui pandangan Sartre -- khususnya tentang relasi antar-sesama--  sebaiknya membaca ketiga bukunya sekaligus: L’etre et le neant; Critique de la raison dialectique; dan Cahier pour une moral. Sebab dalam ketiga buku itu pemikiran Sartre tentang relasi antar-manusia mengalami perkembangan.

Dalam buku pertama, relasi antar-sesama ditandai oleh konflik. Katanya, inti setiap relasi antar-manusia adalah konflik. Ucapan Sartre yang banyak dikutip orang pada periode ini adalah “Neraka adalah orang lain” (dari drama Pintu Tertutup tadi) dan “Dosa asal saya adalah orang lain” (dari buku Ada dan Ketiadaan). Hal ini ada kaitannya dengan pandangan Sartre tentang kesadaran manusia. Menurut Sartre, ciri khas kesadaran manusia ketika berhadapan dengan orang lain adalah “menidak”. Maksudnya, dalam perjumpaan dengan orang lain, setiap kesadaran mempertahankan subjektivitas dan dunianya sendiri-sendiri. Maka setiap pertemuan dengan kesadaran lain (orang lain) merupakan dialektika antara subjek dan objek. Orang lain menjadi objek bagi saya, demikian pula saya menjadi objek bagi orang lain. Sarana utama dalam konflik itu adalah tatapan atau sorot mata (le regard), yang harus dipahami secara luas.

.Le regard ini bukan hanya ketika mata bertemu mata, tetapi juga sebuah langkah yang mendekat lalu berhenti, bunyi-bunyian yang terdengar dari semak belukar, gorden yang tiba-tiba terbuka sedikit, dan sebagainya. Pendeknya, setiap “tatapan” itu merupakan kehadiran orang lain yang menonton dan mengobjekkan saya dengan sifat-sifat tertentu. Dia menjadi subjek, dan aku menjadi objek. Namun, bisa terjadi sebaliknya: Aku menjadi subjek, dan dia menjadi objek bagiku.

Dalam relasi konkret dengan orang lain itu, aku dapat melakukan dua hal. Pertama, aku takluk dan tunduk kepadanya. Hal ini kulakukan dengan membuat diriku menjadi objek dan dia menjadi subjek. Secara konkret hal itu terwujud dalam “cinta” dan masokhisme. Kedua, aku tidak tunduk kepadanya. Hal itu  terwujud dalam sikap cuek, acuh-tak acuh, keinginan seksual, sikap benci, atau sadisme. Jadi struktur dasar hubungan antar-sesama terdiri atas negasi batiniah timbal-balik. Demikianlah pandangan Sartre yang sudah menjadi pengetahuan umum bagi peminat filsafat.

Pandangan Sartre ini mengalami perkembangan dalam buku kedua dan ketiga. Kita persingkat saja agar tidak terlalu rumit dan terlalu panjang. Seperti dikatakan oleh Alex Lanur, dilihat dari urutan kronologisnya, pandangan Sartre tentang relasi antar-manusia itu bergerak dari ciri utamanya sebagai konflik, menuju relasi timbal-balik, dan akhirnya cinta yang otentik. Jadi pandangan Sartre tentang relasi antar-manusia berkembang ke arah relasi antar-manusia yang lebih positif dan optimistis. Ada yang menduga bahwa perkembangan itu terjadi karena Sartre mulai terpengaruh oleh Emmanuel Levinas, yang memang sejak awal melihat orang lain, manusia lain, secara “lebih positif”. Lebih jauh tentang pandangan Levinas terhadap adanya sesama manusia ini akan kita pelajari di lain kesempatan.

***

Menjelang akhir, ada adegan dan dialog yang juga penting: Wayan dan Ngurah saling memandang.  Gusti Biang terpaku dan merasa malu sekali. Wayan kasihan dan mendekati Gusti Biang. Beberapa saat kemudian Wayan memandang Ngurah lagi dan berkata:

WAYAN:

Ngurah sudah tahu semuanya. Ngurah sudah pantas mendengar itu. Tapi jangan terlalu memikirkannya. Lupakan itu semua. Itu memang sudah terjadi, tetapi sekarang setelah Ngurah tahu, hati kami merasa lega. Sekarang lupakan semua itu. Lupakan, jangan bersakit-sakit memikirkannya.

(Ngurah memalingkan muka ketika Wayan menatapnya)

WAYAN:

Semua itu bohong, titiyang bukan ayah Ngurah. Tiyang adalah Wayan yang pikun dan akan segera mati, dan beliau itu (menunjuk potret) bukan pengkhianat. Dia seorang pahlawan dan pantas Ngurah sebut ayah. Ya... banyak terdapat keburukan di atas dunia ini, tapi tidak semua keburukan yang kita ketahui itu perlu diketahui orang lain kalau bisa membuat keadaan lebih buruk lagi. Pergilah Tu Ngurah dan tiyang yang akan meladeni Gusti Biang.

(Tanpa menoleh, Ngurah meninggalkan tempat).:

Lalu, pada adagen berikutnya (adegan XI),  Putu Wijaya menggambarkan sebuah akhir yang menarik: Gusti Biang berhenti menangis. Dia malu menatap Wayan, tapi lak-laki itu mendekatinya.

WAYAN:

Bagaimana, Gusti Biang?

GUSTI BIANG:

(Kemalu-maluan). Kenapa kau ceritakan semua itu padanya.

WAYAN:

Waktu telah tiba, dia sudah cukup dewasa untuk mengetahuinya.

GUSTI BIANG:

Kau menyebabkan aku sangat malu (Gusti Biang tertundak dan Wayan menghapus air matanya).

WAYAN:

Kenapa Ngurah dicegah kawin? Kita sudah menderita karena perbedaan kasta ini. Sekarang sudah waktunya pemuda-pemuda bertindak. Dunia sekarang sudah berubah. Orang harus menghargai satu sama lain tanpa membeda-bedakan lagi. Bagaimana, Gusti Biang?

GUSTI BIANG:

(sambil menghapus air matanya).

Aku tidak akan mencegahnya lagi. Kita akan mengawinkannya, tapi jangan ceritakan lagi tentang yang dulu-dulu. Aku sangat malu.

WAYAN:

(tersenyum). Kalau begitu Wayan tidak jadi pergi. Wayan akan menjagamu selama-lamanya ... Sagung Mirah....

GUSTI BIANG:

Apa, Wayan?

WAYAN:

Kau tetap cantik seperti Sagung Mirah.

GUSTI BIANG:

Huuuuuusssss!

(Wayan lalu berjalan ke gudang. Gusti Biang mengangkat lampu teplok untuk Wayan. Terdengar bunyi suling dan Wayan menembang. Gusti Biang meniup padam teplok).

 

                       * Atmojo adalah penulis yang meminati bidang filsafat, hukum, dan seni

###

Ikuti tulisan menarik atmojo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB