x

Iklan

Okty Budiati

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Juli 2022

Rabu, 5 Oktober 2022 12:49 WIB

Hilangnya Anima

Mengawali pagi hari memasak sebelum sang surya mengintip, teh hangat dalam kumis kucing, serta Sad But True komposisi elektro untuk minimal art techno dari Boris Brejcha, adalah, seorang Moeldoko melintasi ingatan teknik tubuh performing arts on screen acting pada WOKO Channel Youtube episode 63 berjudul AIR SUSU KAU BALAS AIR TEH. --Bagaimanapun, chaos dan noise akan menjadi hening untuk waktu yang bersifat maya/artificial dalam mencipta; ini hanyalah tentang latihan melatih tubuh sebagai seni yang hidup. Sad But True.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oktober dan tontonan. Pagi hari di awal bulan Oktober, tepatnya lima Oktober, yang sejuk, yang kembali membawa saya pada kenangan tentang hujan, untuk yang melankolis, suatu dinamika keseharian paling mendasari kesederhanaan; menjalani hari.

Mengawali pagi hari memasak sebelum sang surya mengintip, teh hangat dalam kumis kucing, serta Sad But True komposisi elektro untuk minimal art techno dari Boris Brejcha, adalah, seorang Moeldoko melintasi ingatan teknik tubuh performing arts on screen acting pada WOKO Channel Youtube episode 63 berjudul AIR SUSU KAU BALAS AIR TEH.

Untuk soft approach on counterculture strategy memang menjadi satu hal yang layak terapresiasi khususnya dalam kondisi sosial di masa pandemi. Namun, sebagai bahasa tubuh keaktoran untuk suatu panggung di balik layar masih sangat jauh dari standar tubuh pemeran (acting/action) sebagai aktor yang membawakan karakter budaya paling mendasar; budaya agraria.

Namun, hal yang cukup dilewatkan, unsur air, yang mengalir bagai gerakan yang hilir pada sungai, serupa fleksibilitas gerak hidup. Maka, penyebutan kata AIR dalam judul menjadi patah sebagai ruh bahasa simbol itu sendiri saat dikembalikan pada bahasa tubuh.

Pada momen “menjadi” dan “mewujud” dalam teknik tubuh, tentu rekonstruksi bahasa tubuh sangat detail dilakukan hingga ujung jari kaki dan ujung rambut. Selama kinetika serta somatik tubuh hilang, maka pemaknaan dalam “de anima/the soul/the self/the ego/der einzige” tidak akan dapat menyampaikan apapun selain eforia, yang tentu saja, ini dapat disebut sebagai “hiburan”.

Pertanyaan saya di sini, apakah hiburan kembali menjadi tontonan untuk proses gerak peradaban; “SUSU“, yang bersifat instan, bahkan untuk seni media dalam sinema? Saya rasa, seni memiliki makna lebih dalam daripada sekadar proses yang instan. Tentunya, menempatkan kata “BALAS” pun menjadi pertanyaan lain yang cukup menganggu saya di mana remote/screen/mirroring sebagai satu-satunya media yang digunakan.

Hanya saja, “TEH” menjadi hal lain tentang barikade para martir yang dilupakan, tentang perang gajah di masa Gupta dan tentunya, itu mampu menjadi pembelajaran lain tentang migrasi, ekspansi, evolusi lisan hingga pelafalan kosa kata, saat intensitas tubuh memasuki suatu proses kompleksitas yang mewujud; manunggal untuk nihil/nul/emptiness/pustota/suwung/sunyata.

Lima Oktober, batang tubuh akan merepresentasikan peradabannya atas agraria dalam dunia apung untuk garis-garis darah, layaknya aliran sungai menuju samudra yang belumlah hilang dan terputus, memang membutuhkan proses kembali pada yang hening serasa hangat teh dalam kumis kucing. Dan, pada waktunya:

 

Ada Bara Membakar Buas

Bahwa kita memilih mundur

Kekalahan sebagai kemuliaan

Sementara musim kembali gugur

Bahkan perang belumlah pancang

Kembalikanlah panah serta setiaku

Sebelum air mata menyusul jeritan

Sebelum prahara mengepung luka

Ada bara membakar buas kematian

 

Bagaimanapun, chaos dan noise akan menjadi hening untuk waktu yang bersifat maya/artificial dalam mencipta; ini hanyalah tentang latihan melatih tubuh sebagai seni yang hidup. Sad But True.

 

 

- Jakarta, 5 Oktober 2022 -

 

Ikuti tulisan menarik Okty Budiati lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler