x

Iklan

masdiyanto

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 12 Mei 2022

Kamis, 13 Oktober 2022 17:02 WIB

Jakar Sawang (Empu Putih)

Kisah di Tanah Dati

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Seorang pendekar datang ke rumah Ki Loda, menghunuskan pedang lalu menebas batang pohon asam penanda batas tanahnya. Pohon asam yang buahnya berbeda rasa antara sisi kiri dengan kanan itu tak tersayat sedikitpun.

Keris Kuncir Ki Loda meluncur keluar.

Keris Ki Loda memutari batang pohon asam yang buahnya sebelah manis dan sebelahnya asam itu. Memutar tiga kali lalu menancap. Ki Loda keluar dari guanya, kulitnya hitam, rambut putih dan pajang. Telanjang dada sambil memegang sarung keris.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

“Apa gerangan tujuan tuan datang kemari”

“Saya mau meminta keadilan”

“Lantas apa yang membuatmu meminta keadilan kepadaku”

“Jakar Sawang”

Konon Jakar Sawang adalah empu dari semua pendekar, empu dari semua keris sakti, juga empu dari petapa-petapa sakti. Apabila datang seorang pendekar bertingkah aneh dan meminta keadilan, maka sudah pasti, itu adalah pendekar yang membawa amanat dari Jakar Sawang.

“Aku bermimpi didatangi Empu Putih, ia mengatakan “datangi Ki Loda minta keadilan padanya”. Aku menyebutnya Empu Putih karena semua yang kulihat padanya adalah putih.”

Belakangan, setelah pendekar tersebut mencari tahu tentang Empu Putih, ia mendapati bahwa yang mendatanginya adalah Jakar Sawang.

Ki Loda mendengar kata Jakar Sawang langsung meniup keris kuncir dari jauh. Seketika keris itu kembali menyatu dengan sarungnya.

“Katakan apa yang kau bawa”

“Yonata Yun Yonatan”

Sang Pendekar telah mendapat arahan dari Empu Putih untuk jawaban atas setiap pertanyaan Ki Loda. Tiga malam berturut  turut ia bertemu Empu Putih dalam mimpi.

Mimpi terakhirnya adalah sebuah mantra, “Ogk Kuntala Marlin”. Jelas teringat tanpa salah. Yakin sepenuhnya bahwa mantra pendek tersebut benar tanpa ada keraguan sedikitpun.

Ki Loda mengambil batu apung dengan kakinya, melemparnya ke depan, lalu batu apung menghilang.

“Pinjam kakimu tuan”

“Agantara saskamarta”

Kaki Sang Pendekar melangkah tanpa perintah darinya, kendali atas kakinya tidak ada padanya. Ia melangkah mendekati Ki Loda dan berhenti tegak seperti paku yang terpasak.

“Tuan, gila apa binasa”

“Sudah habis arahan dari Empu Putih, aku tidak bisa menjawab”

“Ketahuilah, Empu Putih menyuruh tuan melepas ilmu yang paling tuan sayangi”

Sang Pendekar mengernyitkan dahi. Satu ilmu andalannya, turun termurun terjaga dalam satu garis perguruan muncul menghadapnya. Ilmu yang keberadaannya untuk dijaga, ilmu yang ia akan menjaga pemiliknya, juga ilmu yang terjaga apabila dibutuhkan.

“Ini ketidakadilan”

----

Bahasa-bahasa yang tidak dimengerti dari Empu Putih mungkin mempunyai makna tersendiri. Namun Ki Loda yang tidak boros kata itu tidak akan mau mengatakan apa-apa.

Sang Pendekar menancapkan pedang ke tubuhnya sendiri. Senjata itu menusuk disela tulang rusuk pemiliknya. Mencari aliran darah, menghisap dan menelannya.

Darah Sang Pendekar terhisap, ia binasa atas perintahnya sendiri. Ki Loda meludah, batu apung kembali muncul ditempat semula. Tubuh Sang Pendekar menghilang.

Empu Putih menghilangkan pendekar gila, penghisap darah tanah Dati. Kampung tempat para petapa mengasingkan diri. Kubangan gua, rumput jalar, batu-batu hitam, dan pohon-pohon tanah Dati tetap tertidur.

Ki Loda, memasuki guanya, mengganti puji menjadi mantra. Empu Putih menelan gua, tanah Dati hampir hilang sepenuhnya.

Ikuti tulisan menarik masdiyanto lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler