x

Sumber ilustrasi: sonniss.com

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Senin, 17 Oktober 2022 18:38 WIB

Catatan dari Laboratorium Senjata Berkesadaran Moral

Senjata tidak peduli siapa yang mereka bunuh. Itulah yang pertama kali kamu pelajari dalam Komando dan Pengembangan Ketrampilan Tempur. Dengan kata lain, senjata seperti virus. Mereka tidak membeda-bedakan, mereka tidak punya moral. Sekitar tiga puluh persen dari korban tentara akibat kecelakaan. Kamu membidik dan menembak dan berdiri sepuluh atau seratus atau bahkan seribu kaki jauhnya, dan tetap saja ada yang salah. Terkutuk oleh rasa malu. Pecahan peluru terbang, tipuan angin, getaran tangan di detik terakhir. Apa pun itu. Dan orang yang menembak jatuh. Dan orang di sebelahnya. Bahkan yang di sebelah mereka. Rasa malu yang terkutuk.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Senjata tidak peduli siapa yang mereka bunuh. Itulah yang pertama kali kamu pelajari dalam Komando dan Pengembangan Ketrampilan Tempur.

Dengan kata lain, senjata seperti virus. Mereka tidak membeda-bedakan, mereka tidak punya moral. Sekitar tiga puluh persen dari korban tentara akibat kecelakaan. Kamu membidik dan menembak dan berdiri sepuluh atau seratus atau bahkan seribu kaki jauhnya, dan tetap saja ada yang salah. Terkutuk oleh rasa malu. Pecahan peluru terbang, tipuan angin, getaran tangan di detik terakhir. Apa pun itu. Dan orang yang menembak jatuh. Dan orang di sebelahnya. Bahkan yang di sebelah mereka. Rasa malu yang terkutuk.

Kami akan memecahkan masalah itu. Kami sedang membangun senjata yang tahu siapa yang harus dibunuh dan siapa yang harus diselamatkan. Senjata yang peduli, senjata dengan kesetiaan, moral.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Proyek lima tahun dan pengujian ketujuh.

Pada uji pertama itu, kami memprogram senjata untuk membedakan orang berdasarkan seragam. Bunuh yang berwarna merah, seperti yang kita perintahkan di masa Revolusi. Tapi tentara tidak berseragam setiap waktu, dan warga sipil terkadang memakai baju merah. Seperti Hiroshima dan Nagasaki. Terkadang korban sipil dapat mengakhiri perang. Menyelamatkan banyak nyawa dalam jangka panjang, kamu mengerti itu.

Percobaan kedua kami menargetkan orang berdasarkan bahasa. Tetapi kamu harus memperhitungkan orang-orang kita di lapangan yang berbicara bahasa ibu. Mata-mata, penerjemah, pemandu, bahkan tentara, biasa menggunakan bahasa yang berbeda. Kami tidak mau mempertaruhkan nyawa bahkan satu orang di pihak kita dengan sia-sia. Tidak dengan senjata ini, tidak satu tentara pun.

Percobaan ketiga disaring silang pakaian, dengan hasil yang sama dengan percobaan kedua. Agama sasaran keempat, tetapi tentu saja selalu ada kemungkinan bahwa tentara kita sendiri mungkin memiliki keyakinan yang sama dengan musuh. Atau, musuh bisa memiliki keyakinan yang sama dengan kita.

Kelima dibedakan berdasarkan ciri fisik. Warna kulit, bentuk mata dan hidung, tekstur rambut, bentuk tubuh, tinggi badan. Kami memperkirakan bahwa dengan algoritma, senjata tersebut pasti dapat menargetkan kombinasi fitur tertentu, seperti kamu hanya dengan melihat seseorang dan mengenal bahwa dia adalah musuh.

Kenal.

Tetapi semakin lama kami mempelajari dan menguji, semakin kami menyadari bahwa tidak hanya senjata itu yang gagal membedakan musuh, tetapi, dalam beberapa skenario pengujian, kami juga tidak bisa. Kamu harus berpikiran terbuka tentang hal-hal ini.

Pada percobaan keenam kami semakin bijaksana. Lebih banyak algoritma, menghasilkan kombinasi agama, fitur fisik, bahasa, dan seragam. Kami yakin ini akan menjadi akhir yang sempurna. Tetapi waktu pemrosesan terlalu lambat. Seorang prajurit tidak hanya perlu memasukkan ciri-ciri target berdasarkan wilayah, tetapi senjata harus dikalibrasi sebelum digunakan. Pemicunya diputar, pinnya ditarik, tuasnya didorong … dan kemudian berhenti saat mesin memindai dan merasakan serta merenungkan setiap manusia dalam jangkauan. Tidak efisien. Tidak efektif.

Lebih buruk lagi (dan ini hampir tidak ingin kami sebutkan), lima puluh persen dari waktu senjata itu tidak menembak sama sekali. Menggumam bersenandung dan dikalibrasi dan tampaknya mencapai beberapa kesimpulan sendiri, diam sesudahnya tidak merespon. Tidak menyalak.

Tidak.

Lima puluh persen tidak akan menembak.

Kami masih tidak yakin apa kerusakannya. Terlalu banyak variabel, mungkin. Bagaimanapun, sudah jelas bagi kita, siapa yang dimaksudkan untuk dibunuh. Perbedaannya yang dimaksudkan untuk melihat dan menargetkan. Tentunya senjata ini, dengan semua algoritma dan teknologi canggihnya, juga bisa membedakannya. Pasti.

Kami tidak menyerah begitu saja. Kami akan membuat senjata ini. Dalam percobaan ketujuh ini, kami menguji sampel gelombang otak. Kami akan menemukan perbedaan yang paling mendasar, yang tidak terlihat oleh mata manusia. Kami akan menemukan apa yang membedakan teman kita dari musuh, baik dari jahat.

Sekarang adalah saat pengujian ketujuh kalinya. Senjata yang akan mengenali musuh. Yang lain.

Senjata yang akan tahu perbedaan antara kita dan mereka. Bahkan ketika kita tidak bisa membedakannya sama sekali.

 

Bandung, 17 Oktober 2022

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB