x

Sumber ilustrasi: zogri.artstation.com/

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 18 Oktober 2022 19:09 WIB

Anak Kucing dalam Kotak Sepatu

Makhluk mungil itu terkejut menatapnya, dan mulutnya bergerak mengeong tanpa suara yang sama. Amir turun dari peron di sebelahnya, mata anak kucing mengikutinya. Tidak tampak kotak atau handuk, maka Amir perlahan meraih anak kucing itu, mengangkatnya dengan lembut ke dadanya dan menutupnya di dalam jaketnya sehingga hanya kepalanya yang menonjol.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Amir biasanya mendatangi stasiun kereta api untuk melihat penumpang di peron ketika kereta malam  terakhir ke timur tiba.

Dia suka melihat mereka berinteraksi, terutama salam dan perpisahan, jika dia cukup beruntung untuk bertemu beberapa.

Kotanya hanyalah kota kecil, dan biasanya hanya ada sedikit penumpang naik kereta terakhir itu. Amir tinggal sendirian di rumah sederhana. Semua barang istrinya tetap di tempatnya sebelum dia pergi meninggalkannya. Amir biasanya menuju ke stasiun setelah makan malam di warteg tak jauh dari rumahnya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Malam itu kabut tebal luar biasa, awal musim hujan. Berjalan ke stasiun, Amir hanya bisa melihat cahaya lampu jalan di kegelapan, tapi tidak bisa melihat tiangnya.

Dia menaikkan kerah jaketnya melawan hawa dingin saat memasuki stasiun, menaiki tangga, dan keluar ke peron. Hanya ada satu lelaki tua dan bungkuk di sana. Lelaki itu memegang kotak sepatu dengan kedua tangan. Mereka mengangguk satu sama lain.

"Jahat, kabut ini," kata lelaki tua itu.

Amir duduk di sebelahnya. Kabut melayang bagai awan rendah menyelimuti lintasan rel.

"Mudah-mudahan keretanya tidak terhambat oleh kabut."

"Aku harap begitu," kata lelaki tua itu. “Putriku akan datangbersama cucuku. Aku belum melihat mereka hampir tiga tahun sejak pandemi.”

"Oh ya?"

Lelaki tua itu tersenyum. "Aku membawa hadiah untuk cucuku."

Dia membuka tutup kotak sepatu. "Lihat?"

Seekor anak kucing berbaring di atas handuk tangan yang terlipat. Mungil, dengan bulu belang tiga. Makhluk itu menatap mereka dan mulutnya membuat gerakan seolah-olah mengeong, tetapi tidak ada suara yang keluar.

Orang tua itu menutup kotaknya.

 “Dia sudah lama menginginkannya, cucuku. Umurnya tujuh tahun,” katanya.

"Pasti dia akan menyukainya."

"Pasti."

Kabut turun semakin menebal. Lampu di sepanjang atap bangunan stasiun hanya samar-samar, tapi Amir bisa melihat bahwa kelopak mata lelaki tua itu tertutup di tepi luarnya. Dia tidak mengenakan topi, dan gumpalan rambut putihnya bergerak tertiup angin sepoi-sepoi.

Peluit kereta melengking dari barat, tepat di tikungan melaju di atas rel. Mereka berdua bergerak menuju tepi peron.

Lelaki tua itu sedikit terpincang-pincang. Kotak itu bergerak-gerak di tangannya, dan kemudian kepala anak kucing itu membuka tutupnya. Sama cepatnya, ia melompat dari kotak dan mendarat di rel. Pria tua itu meraihnya, terhuyung-huyung, dan kakinya tersangkut di tubir peron. Dia jatuh berlutut di atas rel saat kereta bergemuruh di tikungan menuju stasiun, cahaya lampu depannya redup mencoba menembus kabut. Ketakutan meneror mata lelaki tua itu saat dia berbalik dan mengulurkan tangannya. Amir menyambutnya, tetapi sudah terlambat. Kereta api melintas di depannya dan kemudian lewat, membawa lelaki tua itu bersamanya.

Jeritan Amir dibungkam oleh deru roda yang berdenting, derit rem, dan desis yang mengikutinya. Sebelum bunyi-bunyian itu berhenti, Amir berlari ke dalam dan menuruni tangga, berteriak kepada kepala stasiun sambil berlari menuju loket penjualan tiket.

***

Ambulans dan polisi berada di sana dalam menit kemudian. Rumah sakit dan kantor polisi tak jauh dari stasiun.

Amir menjawab pertanyaan polisi yang lambat dan metodis di dekat kaki tangga. Pada satu titik, dia melihat seorang petugas lain membantu seorang wanita dan gadis muda menuruni tangga. Mereka berdua menangis. Wanita itu memeluk anak gadisnya. Kepalanya dibenamkan ke dalam rok panjang ibunya. Petugas membawa koper mereka dan mengarahkan mereka dari bawah tangga melintasi lantai linoleum bangunan stasiun  melalui pintu depan yang mengarah ke jalan.

Amir memejamkan mata, menghembuskan napas panjang, dan melakukan yang terbaik untuk menyelesaikan ceritanya.

Setelah itu, dia duduk sendirian di bangku stasiun. Tubuhnya merosot ke belakang, tangannya tergenggam di pangkuannya. Dia tidak melihat apa pun dalam jarak dekat untuk waktu yang lama sampai ambulans dan mobil polisi pergi.

Kereta terus berjalan dan kepala stasiun telah kembali  ke loket tiket. Ketika penutup di atas loket ditutup, Amir memaksa dirinya berdiri dan kembali menaiki tangga ke peron.

Peron yang kosong, sunyi.

Kabut masih tebal dan lembap. Amir berjalan ke tempat tadi dia berdiri bersama lelaki tua itu dan menatap tempat terakhir kali dia melihatnya. Kemudian dia beringsut di sepanjang tepi rel, mencari dengan matanya.

Akhirnya dia melihat anak kucing itu, meringkuk di dasar beton platform, bergelung di batntalan kayu di ujung peron.

Makhluk mungil itu terkejut menatapnya, dan mulutnya bergerak mengeong tanpa suara yang sama. Amir turun dari peron di sebelahnya, mata anak kucing mengikutinya. Tidak tampak kotak atau handuk, maka Amir perlahan meraih anak kucing itu, mengangkatnya dengan lembut ke dadanya dan menutupnya di dalam jaketnya sehingga hanya kepalanya yang menonjol.

Hewan itu gemetar kedinginan.

Amir mengelus kepalanya, dan akhirnya kucing mungil itu mendengkur kecil.

Amir melihat ke ke barat dan ke timur. Tidak akan ada kereta api lagi malam itu, jadi dia tidak terburu-buru.

Dia memeluk anak kucing itu erat-erat, mencoba menghangatkannya. Mencoba menghangatkan dirinya sendiri.

Beberapa menit kemudian, dia kembali naik ke peron. Dia akan membawa anak kucing itu ke kantor polisi, berharap anak kucing itu bisa diberikan kepada cucu lelaki tua seperti yang diinginkan mendiang. Dia berharap satu hal baik bisa dilakukan, berharap lebih dari apa pun yang bisa dia harap dalam hidupnya.

Hanya satu hal yang baik, sebagai butir embun pembasuh luka jiwanya.

 

Bandung, 18 Oktober 2022

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB

Terkini

Terpopuler

Taman Pecinta

Oleh: Wahyu Kurniawan

Senin, 29 April 2024 12:26 WIB