Ketika larik puisi menetas
kadang aku tak punya pulpen dan kertas
ya Sofia, begitu pun ketika aku memandangmu
perasaan bersemi tanpa berbuah kata
sekali pun arwah Cassanova merasuk
masih saja aku disekap demam
ke goa mana akalku
bersembunyi? Saat kita saling terhubung
melalui pandangan
melarikan diri
ke koordinat tanpa alamat
di mana perasaan menjadi koper
dan cinderamata yang tertinggal
hati tetaplah sapu tangan
kering
tahukah engkau Sofia
manakala aku sendirian di kamar
kata-kata diketikan oleh jejak sentuhanmu
kutemukan kecupan pada cawan anggur
terdiam seperti tiram yang bertapa
namun alih-alih mutiara, kupu-kupu
menetas dari dadaku tanpa peduli
pada vas bungamu
dia ingin hinggap dan mencicipi
gerak lembut waktu di bulu-bulu tubuhmu
meraba keabadian
entah teler atau sadar
entah dalam tidur atau dari jagat raya yang kupandang di jendela
kau bercerita, “Konon alam semesta dan surga
pada mulanya itu-itu juga
sampai Adam dan Hawa
jatuh cinta...”
Ya Sofia bisikku
saat kau berbaring, yaitu saat tirai-
tirai kuil mengundang masuk
masih saja terlintas teka-teki tentang
apakah perjamuan ini di hadapan meja makan,
altar pengorbanan, pelaminan, kamar aborsi,
kebun binatang atau pintu-pintu lainnya?
jangan-jangan kita akan bersama seperti
busur dan anak panah, sebuah busur
milik Artemis
untuk menutup solilokui ini
aku teringat perkataan seorang motivator
“Buatlah hatimu seperti nyala lilin”
padahal, Sofia, kita sama-sama tahu
semestinya seperti sumbu;
yang terang benderang dan yang temaram
sama-sama akan tiba dalam kegelapan
tiada lagi kita selain lekuk wajah dan tubuh
buyar seperti bayangan langit dalam genangan
yang dikecup riak-riak
Bandung, 2022
Ikuti tulisan menarik Fadzul Haka lainnya di sini.