x

Ilustrasi oleh Shuetz-mediendesign dari Pixabay.com

Iklan

Fadzul Haka

Cuma pengelana lintas disiplin dan pemain akrobat pikiran. Bagi yang mau berdiskusi silakan kontak saya: fadzul.haka@gmail.com
Bergabung Sejak: 2 Desember 2021

Kamis, 25 Januari 2024 08:13 WIB

Nasehat Yagyu Munemori untuk Perguruan Beladiri Kita

Pelajaran penting yang perlu direnungi adalah makna Pedang yang Berurusan dengan Kematian dan Pedang Pemberi Kehidupan yang ditulis Munemori. Di masa pertikaian, Pedang yang Berurusan dengan Kematian merupakan spirit untuk menumpas kejahatan. Sedangkan Pedang Pemberi Kehidupan merupakan spirit untuk masa damai.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ada banyak pertanyaan yang muncul ketika saya membaca berita bahwa terjadi tindak kerusuhan oleh Perguruan Silat. Bahkan secara kasus lebih sering terjadi daripada yang sering dituduhkan pada ormas seperti Pemuda Pancasila. Barangkali kita harus lebih berhati-hati terhadap meme, penyebarannya yang membuat suatu kasus jadi viral, dan gambaran yang dibentuk olehnya pasca viral.

Setidaknya di bulan Januari 2024 ini saja saya menemukan tiga berita mencengangkan tentang kasus ini. Mulai dari konvoi murid perguruan yang diamankan karena diduga bakal membuat kerusuhan (CNN). Pengeroyokan kepada pengendara motor dan kekasihnya yang viral di media sosial , hanya karena dianggap menghalangi jalan (Liputan6).  Dan yang paling konyol-kuadrat, pengeroyokan berencana yang salah sasaran dengan motif balas dendam antar perguruan di Bali (Kumparan). Sungguh, membaca kelakuan para jagoan kita ini membuat otak saya nge-blank seperti halnya mereka.

Mari kita naikan sarkasme sebelumnya menjadi sinisisme dan skeptisisme guna menyadari kekeliruan yang barangkali tidak tersadarai selama ini. Ada dua hal yang membuat saya mempertanyakan bahwa jangan-jangan 'moral ketimuran' kita itu hanya mitos. Pertama, banyaknya konten pornografi dan tindak asusila dari yang katanya bangsa dengan karakter religius dan bermoral. Kedua, kasus semacam ini, tindak kerusuhan yang kontradiktif dengan gambaran klise tentang karakter bangsa Indonesia yang konon katanya ramah, murah senyum, gotong royong, dan menjaga kesatuan dan keberagaman.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Mengingat saya sendiri tidak pernah bergabung dengan kelompok perguruan manapun, maka tidak ada hal yang bisa saya kritisi secara tradisi kelembagaan. Soal seperti apakah mereka benar-benar mengajarkan silat atau jangan-jangan performance art yang dibumbui narasi tentang kesaktian dan embel-embel tenaga dalam, atau lainnya. Justru, inilah yang ingin saya kritisi, khususnya bagi orang perguruan yang terlibat dalam kerusuhan, "Mereka belajar bela diri, tetapi mengapa mereka tidak bisa mengendalikan diri?"

Kritisisme saya tersebut bersumber dari pendapat Yagyu Munemori (2007) yang mendefinisikan apa itu bela diri secara sederhana. Menurut Ahli Pedang dari abad ketujuh belas ini, seni bela diri tidak lain ditujukan untuk menumpas kejahatan. Sesederhana itu. Agar tidak keliru, berikut kutipan lengkap paragraf yang memuat pengertian tadi yang didahului oleh pemaparan mengenai berbagai bentuk prinsip seni bela diri baik dalam pertandingan, peperangan, politik, sampai menata perabotan rumah.

Tidaklah tepat untuk berpikir bahwa seni bela diri adalah semata mengenai merobohkan lawan. Seni bela diri bukanlah mengenai merobohkan lawan, tetapi menumpas kejahatan. Seni bela diri adalah mengenai strategi menumpas kejahatan dalam diri seseorang dan memberi kehidupan kepada puluhan ribu orang lain (hal. 76-7).

Saya tidak tahu seperti apa prinsip dan filosofi seni bela diri yang ada di setiap masing-masing perguruan kita. Akan tetapi, coba pikirkan baik-baik, apakah kerusuhan itu menumpas kejahatan? Dan apakah kerusuhan merupakan hal yang diajarkan dalam masing-masing perguruan selama ini?

Selain pertanyaan tersebut, saya kira pelajaran penting yang perlu direnungi adalah makna 'Pedang yang Berurusan dengan Kematian' dan 'Pedang Pemberi Kehidupan' yang ditulis Munemori dalam judul bab pelajarannya. Di masa yang penuh gejolak dan pertikaian, Pedang yang Berurusan dengan Kematian merupakan spirit seni bela diri yang ditujukan untuk menumpas kejahatan dengan mengalahkan musuh. Sedangkan Pedang Pemberi Kehidupan merupakan spirit dari prinsip bela diri yang sama tetapi untuk masa damai sehingga bertujuan untuk menumpas kejahatan dengan menjaga ketertiban.

Dalam spirit yang pertama, seorang pendekar tidak akan bisa memenangkan pertarungan jika pikirannya terpaku pada menyerang lawan. Sekilas memang terdengar ganjil, tetapi ada penekanan yang mendalam tentang pentingnya pengendalian diri. Bahwa jika kita menyerang, maka kita memberi lawan kesempatan untuk menang karena gerakan kita akan terbaca kemudian kita terkena serangan balik. Pikiran jangan berhenti dan terpaku pada niat untuk menyerang. Niat merupakan sesuatu yang ada di dalam, seperti halnya pikiran, ketika diekspresikan keluar hal itu disebut 'ch'i'. Sebaik-baiknya seorang pendekar, harus mampu menyatukan niat dengan gerakan dan tindakannya, di saat yang sama juga niat dan tindakan lawan. Artinya, akan dibutuhkan pengendalian diri dan kedisiplinan sebelum bertindak, bayangkan bahwa dalam pertarungan yang terjadi sekejap, dua pendekar menghunus pedang masing-masing, memasang kuda-kuda, tetapi seiring dengan lalu-lalangnya angin tak satu pun dari keduanya yang menyerang. Dalam diam, pikiran harus terus bergerak sambil mempertahankan fokus pada pinggang dan tangan yang menghunus pedang (pikiran), bahkan menyerang dan bertahan di waktu yang sama (ch'i).

Bukankah hal tersebut akan membutuhkan kedisiplinan dan pengendalian diri? Tentang menyerang (ken) dan bertahan (tai), Munemori menjelaskan: "Menyerang berarti melakukan serangan dengan sangat kuat: menyarangkan tebasan pertama pedang dengan segenap konsentrasi segera setelah kau menghadapi lawan" (hal. 82). Baik dirimu atau lawan punya pikiran yang sama, sehingga kewaspadaan itu perlu. Sedangkan, "Bertahan berarti menunggu lawan melakukan gerakan pertama dan tidak membiarkan diri melakukan serangan membabi buta" (hal. 83). Jelas bukan, betapa pentingnya pengendalian diri, bahwa kita harus waspada sekaligus berhati-hati.

Saya sendiri memaknai ajaran Munemori pada bab ini sebagai berikut, bahwa kita harus mengalahkan pikiran sendiri sebelum mengalahkan lawan. Agar kita tidak terjerat oleh pikiran sendiri, dan akhirnya bisa menerima pikiran lawan dan membaca niatnya. Bahkan ada yang lebih menarik dan praktis, bahwa pengelabuan itu bisa saja lebih penting daripada menebas lawan, karena dengan membuat lawan terkejut, terintimidasi, atau salah mengira, kita membuyarkan konsentrasinya dan mengagalkan niatnya untuk menyerang. Perlu kecerdikan dan akal bulus untuk bisa melakukannya, dan perlu ketajaman pikiran dan kewaspadaan agar terhindar. Sesuatu yang tidak dimiliki jagoan kita, yang mungkin lebih tertarik untuk belajar tenaga dalam dan ilmu kebal (yang barangkali saja ilmu kebal milik jin khodam), secara tersirat itu berarti dia mengizinkan dirinya diserang dan dilukai alih-alih belajar mengantisipasi! Apakah itu karena betapa inferiornya teknik mereka?

Selanjutnya, tentang Pedang Pemberi Kehidupan. Terdapat penekanan serupa terhadap pikiran yang terus bergerak, tetapi kita akan merasakan nuansa ajaran Zen yang lebih kental dalam bab ini. Apabila pada bab sebelumnya, kita mesti tidak mengikatkan pikiran pada niat untuk sekedar menyerang, maka selanjutnya kita mesti memahami kembali hakikat pikiran. Pikiran sebagai Pikiran Asli sejatinya tidak berbentuk, tidak menempati sesuatu, dan terus bergerak mengikuti kenyataan yang berubah-ubah dan tidak permanen - seperti pada ajaran Buddhisme tentang perubahan dan melepas keterikatan. Pikiran Asli dibedakan dari pikiran terdelusi berdasarkan tindakannya yang ceroboh dan mengutamakan kepentingan diri sendiri (hal. 125). Untuk menempatkan pikiran sebagai Pikiran Asli, kita mesti memahami kekosongan. Barangkali itulah mengapa istilah khas dalam bab ini dikatakan sebagai 'pedang misterius' dan 'Tanpa Pedang'.

Pada dasarnya, Munemori mengajak kita untuk mencapai pencerahan dan pemahaman mendalam dengan mengamati keberadaan dan ketiadaan, serta menerapkan tindakan yang tepat pada keberadaan dan ketiadaan. Setiap keberadaan menyembunyikan ketiadaan, dan begitupun sebaliknya, jika kita bisa melihatnya sebagai satu kesatuan, pikiran kita akan bisa bergerak mengikuti kemunculan sesuatu atau leyapnya sesuatu. Puncaknya, ini merupakan penjelasan tentang mana inti dan mana fungsi dari sesuatu.

Terdapat inti dan fungsi dalam segala hal. Saat terdapat inti, terdapat fungsi. Busur misalnya, adalah inti: sedang merentang, melontarkan, dan menghunjam disebut sebagai fungsi dari busur. Air adalah inti, dan kelembapan adalah fungsi air. Pohon plum adalah inti, sementara yang disebut dengan aroma dan warna adalah fungsinya. Pedang adalah inti; dan menghunjam adalah fungsinya (hal. 129).

Apabila kita ingin meraih yang inti, maka jelaslah kita jangan sampai mengacaukan pengertian antara inti dengan fungsi dan harus mengamati fungsi tersebut untuk memahaminya. Pada praktiknya, kita bisa melihat dalam formulasi tentang apa itu tanpa pedang (hal. 127-8).

  • Arti penting  istilah tanpa pedang tidak harus berupa "harus merampas pedang lawan". Juga, tidak harus berupa "mempertontonkan pedangmu dan membuat dirimu terkenal".
  • Tanpa pedang berarti tidak diserang oleh pihak lawan, walaupun kau sendiri tidak memegang pedang.
  • Yang disebut dengan Tanpa Pedang bukanlah seni mengambil pedang orang, tetapi mampu menggunakan semua alat dengan bebas.
  • Tanpa pedang adalah ekspektasi mengenai pertarungan saat lawan membawa pedang dan kau sendiri hanya mempunyai tangan sebagai senjata.

Jika Tanpa Pedang adalah intinya, maka fungsi yang mendefinisikan perbuatan-perbuatan kita selanjutnya adalah memperhatikan posisi, jarak, mengelabui lawan, membaca ekspektasi lawan, dan tentu saja tetap mawas diri. Hasilnya, kita akan menyadari potensi karena tidak terpaku pada kondisi kita yang Tanpa Pedang juga bagaimana membuat lawan menjadi tanpa pedang. Bertindak berdasarkan potensi berarti melakukannya dengan kebebasan, spontan, mengalir, dan membalikan keadaan dari yang semula terlihat tidak ada menjadi disadari ada dan sebaliknya.

Potensi adalah ch'i. Disebut potensi berdasarkan lokasinya. Pikiran ada di bagian dalam, sedangkan ch'i adalah pintu masuknya. Potensi adalah pasak, mirip dengan pasak pintu. Anda harus memahami bahwa pikiran adalah penguasa tubuh, orang yang berlokasi di dalam. Ch'i adalah pintu masuk yang mengizinkan pikiran, sebagai penguasa, menunjukkan tindakan di luar. Kebaikan atau kejahatan pikiran hanya bisa dipahami lewat baik atau buruknya Potensi ini setelah berada di luar. Saat ch'i menjaga pintu masuk dengan ketat, hal itu disebut Potensi (hal. 133).

Dari uraian yang mungkin membingungkan kita, poin penting yang wajib dipelajari dari bab Pedang Pembawa Kehidupan ialah di atas pengendalian diri terdapat pemahaman tentang pikiran yang sejati. Kedamaian dan ketentraman bisa dicapai jika seandainya kita selaras dengan pikiran asli tersebut serta Potensi. Ada ketangguhan dan ketetapan yang membuat kita tidak akan goyah atau kehilangan kebebasan dan peluang saat berhadapan dengan lawan begitu Potensi disadari dengan mencapai pikiran yang asli. Di sini, saya membayangkan bahwa pendekar di masa damai menjaga ketertiban tanpa perlu mengangkat pedang. Masa di mana tak ada lagi orang yang memerlukan senjata, intimidasi, atau kekerasan. Jangan-jangan, jiwa bangsa kita masih hidup di zaman penjajahan meskipun selama ini sudah merdeka?

Jadi mengapa para jagoan kita tidak bisa mengendalikan diri? Pertama, barangkali karena kedangkalan pemahaman mereka terhadap filosofi, prinsip, dan spirit bela diri dari perguruan masing-masing, apalagi dalam berbagai pengertian seni bela diri dari budaya lain. Kedua, mereka hanya ingin berkelahi dan menunjukkan kekuatan, tidak ada tujuan yang lebih luhur sehingga pada dasarnya tidak membutuhkan kedisiplinan diri. Sebagaimana yang kita lihat dari dungunya perkelahian mereka lewat pengeroyokan, saya bisa melihat lebih banyak teknik dan pengelabuan dalam sabung ayam daripada perbuatan mereka. Ketiga, kencederungan untuk asal bertindak, mengulang tindakan keliru, dan berpikir entah kapan. Jika pikiran sendiri saja tidak bisa dipahami, bagaimana bisa memahami pikiran orang lain dari ekspresi dan perbuatan yang ditunjukkannya. Alhasil, bukannya adu ketangkasan dengan bertarung satu lawan satu secara sportif, tetapi malah mengeroyok dan itu pun tidak terarah.

Di samping kritik, agar berimbang mari kita lihat apa saja langkah-langkah yang bisa dilakukan agar seorang murid bela diri dapat memiliki pengendalian diri. Saya kira ada baiknya kita memulai dari nasehat Munemori berikut ini, tentang berbagai bentuk seni bela diri selain pertarungan dan sebagai seni bela diri pikiran.

Tidak berkonflik sejak mulai menjalin hubungan dengan teman sampai seterusnya juga berkaitan dengan memahami prinsip hubungan dan juga merupakan seni bela diri pikiran.  Pikiran yang memahami prinsip menjalin hubungan dengan orang lain pada situasi tertentu juga merupakan seni bela diri. Jika tidak mematuhi prinsip-prinsip ini, kau mungkin akan terlalu lama tinggal dalam sebuah pertemuan dan membuat dirimu malu tanpa alasan yang jelas. Atau, saat mengobrol ringan tanpa menyadari hal yang sensitif bagi lawan bicara, kau mungkin mengundang perdebatan atau bahkan menghancurkan dirimu sendiri. Semua ini bergantung dari apakah kau memahami atau tidak memahami prinsip (hal. 76).

Sangat sederhana bukan? Tentu ada nasehat lain mengenai latihan bela diri, tetapi itu semua memerlukan pemahaman dasar tentang Buddhisme dan Zen (disamping istilah jurus-jurus yang digunakan jika disinggung). Ketika saya mengetik kembali paragraf tersebut dan membacanya kembali, kita bisa mulai belajar mengendalikan diri dengan menyadari kembali berbagai prinsip yang kita pelajari dalam kehidupan sosial, mempelajari prinsip baru, dan memahami mengapa kita bisa terbuka atau tertutup pada suatu ajaran. Apa yang menghentikan kita untuk belajar, apakah orang yang menyampaikannya atau pelajarannya? Kemudian, kita sadari bagaimana caranya agar tidak ada pertentangan atau konflik yang membawa pada permusuhan dan konsekuensi lainnya. Apakah itu dengan berdiam diri sebelum memahami sesuatunya secara utuh, menanyakannya pada orang lain yang lebih tahu, menghindari topiknya untuk sementara waktu, dan sebagainya.

Dan jika kita ingin mencoba menggunakan pendekatan Zen, sadarilah bahwa tidak ada diri atau ego yang menderita oleh pertentangan tersebut. Engkau bukan semata-mata identitasmu, entah itu sepuluh tahun yang lalu, hari ini, atau nanti. Engkau adalah dirimu yang sedang merenungi adanya di sini dan saat ini. Di akhir penulisan ini, saya menyadari bahwa tanpa-diri tersebut sebagai melihat siapa kita saat meletakan sesuatunya. Apakah kita akan jadi seorang pembenci yang meletakan kemarahannya dalam hujatan, atau seorang pendamai yang meletakan kemarahannya dalam kepalan tangan yang tidak bergerak dan menunggu waktu yang tepat untuk berbicara secara empat mata dengan orang yang berselisih. Senantiasa berefleksi.

 

Referensi:

Munemori, Yagyu. (2007). The Life-Giving Sword. Jakarta: Gramedia.

 

Ikuti tulisan menarik Fadzul Haka lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu