Meninggalkan November
Kepada November,
Kadang aku ingin membaca takdirmu dalam secangkir kopi, supaya kau paham apa-apa yang disembunyikan waktu dan siapa-siapa yang layak kau lupakan.
Pada perjalanan yang penuh kelok ini, terlalu banyak hal-hal yang menyakitimu, perasaan-perasaan ganjil yang sulit kau cerna, bahkan dari seseorang yang begitu kau cintai.
Suatu saat kau menemukan senyum seseorang di suatu pagi, tapi pagi berikutnya ia menghilang entah kemana, mungkin sembunyi. Suatu saat kau berpikir bahagiamu dalam genggaman, ternyata hanya angan yang menusuk dada, meninggalkan perih tak terkira. Tetapi tetaplah tabah November, setabah hujan di bulan Juni milik Sapardi.
Dan sekarang hari terakhirmu, aku mengingatmu sebagai cinta sederhana. Sesederhana kata-kata yang kutuliskan ini. Jika berkenan simpanlah aku di dada bidangmu, beri aku sedikit ruang dengan redup nyala lilin. Setidaknya agar kau ingat aku pernah menjadi bagian dari angka-angka ajaibmu.
***
Padamu Yang Cahaya
Padamu yang cahaya, aku percaya bahwa hidup tak perlu kucemaskan lagi. Mungkin tak pernah ada kita, hanya kau dan aku dan percakapan-percakapan pengisi sepi.
Musim-musim yang bertukar peran menyisakan sedikit ruang untuk kita tuliskan. Entah sebagai puisi entah sekedar basa basi. Jika kelak kau lupa tak mengapa, aku saja yang mengingatnya. Merawat apa-apa yang sengaja ditingalkan waktu dan ditanggalkan rindu.
Padamu yang cahaya aku percaya bahwa bertemu denganmu adalah salah satu cara Tuhan mencintaiku.
***
Kita
Kita mungkin hanya kebetulan-kebetulan yang disiapkan semesta. Aku tak kuasa. Sungguh tak kuasa. Bahkan bercangkir-cangkir kopi dalam perjamuan malam menuju larut dan tebal dinding yang dibangun waktu, tak sanggup menyembunyikan rindu.
Pun puisi-puisi tak menjamin akan membuat rindu jatuh direngkuhmu. Mungkin hanya akan layu, mengering lalu mati di jalan aspal depan rumahmu.
***
Ikuti tulisan menarik Dien Matina lainnya di sini.