x

Pinterest

Iklan

Dien Matina

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Agustus 2022

Jumat, 30 Desember 2022 18:59 WIB

Percakapan Imajiner (24)


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Aku ingin mencintaimu 

 

Aku ingin mencintaimu sedikit lebih besar dari biasanya, sebab tak ingin malam-malamku keruh oleh cemasnya rindu. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Aku ingin mencintaimu sedikit lebih lama dari waktu. Lebih abadi dari surat-surat Robert dan Barrett. Lebih dalam dari perasaan-perasaan Abelard dan Heloise. 

Aku ingin mencintaimu. Cinta yang tak merepotkan. Serupa lagu, menyenangkan. Serupa senyumanmu yang jatuh di cangkir kopi, menenangkan.  

Bagaimana, sayang, bolehkan?

 

 

***

 

 

Rumah itu, kamu 

 

Rumah itu, kamu. Tempat memulai dan mengakhiri. Tempat membangun mimpi dan menyelipkan doa-doa setiap pagi. Padanya aku ingin pulang, menyelesaikan perjalanan. 

Kita telah sampai pada bagian selesai dengan diri sendiri dan berhenti pada apa yang disebut rumah. Perjalanan ini usai pun pencarian. Kita akan menjadi sepasang yang saling menggenapi. Menemani saat terang dan gelap hari. Juga menikmati senja yang mampir di ujung dermaga bersama wangi laut, teriakan camar dan senyumanmu yang candu. 

Kekasih, kau tak harus selalu memuji atau memberiku buket mawar atau tiket perjalanan tiga hari dua malam, cukup genggam tanganku untuk kita saling menguatkan. Atau berikan kedua lenganmu dan mengatakan, ”Aku bersamamu, kita akan baik-baik saja.” 

Tenanglah, aku tak meminta seluruh waktumu. Tidak. Kau bisa membaginya dengan file-file di komputermu, buku-buku, sajak-sajak, obrolan setelah makan malam bersama teman-teman, riuh pikiranmu atau percakapan diam-diam dengan-Nya. 

Sayang, putaran jarum jam ini adalah mata bagi rindu, menujumu. 

 

 

***

 

 

Kupikir 

 

Kupikir hari ini akan berjalan seperti hari kemarin dan kemarinnya lagi. Sederhana, hanya bekerja dan menghabiskan malam dengan isi kepalaku hingga pagi datang. 

Rabu ini terlalu banyak mendung tanpa hujan, padahal aku menginginkannya datang. Entahlah, aku begitu menyukai hujan, ada nyeri yang kurindukan di sana. 

Kupikir aku telah menjadi begitu terbiasa bersanding dengan sepi, tak ingin menghindar apalagi pergi. Sebab aku bisa menemukanmu, mengajakmu berbincang, atau duduk bersisihan meski tanpa bicara apa-apa. Padanya kau menjadi awal dan akhir cerita. 

Pikiranku sejenak terhenti di lirik ini... "You make my heart feel like it's summer. When the rain is pouring down. You make my whole world feel so right when it's wrong. That's how I know you are the one." 

Iya, kupikir mungkin memang harus seperti ini, satu-satunya yang membuat kita bertahan adalah mengalami lalu menyimpannya sebagai harapan untuk diri sendiri. Tak perlu menunggu seseorang menyadari betapa rindu-rindu telah membatu dalam waktu. Tak perlu menunggu seseorang mengajakmu bertemu di kedai kopi atau dermaga ujung kota. Tak perlu menunggu seseorang menuliskan sebuah pesan, "Aku berharap bisa menikmati hari denganmu, hari kita." Tidak, aku tidak perlu menunggu. 

Kupikir aku hanya harus terbiasa menerima semuanya. Tetapi saat kau ragu, kembalilah pada yang pertama kau pikirkan. Maka kembali kubangun sepi yang lebih dari biasanya, untuk memilikimu utuh. 

 

 

***

 

 

Mengulang Januari

 

Hey, apa kabar? 

Lama tak menyapa. Selamat mengulang Januari. Apa yang berubah darimu setelah usia bertambah satu? 

Tahun-tahun belakangan hujan lebih sering datang daripada kemarau. Setiap rintiknya berisi hal-hal sendu mendayu, yang membawa pesan kangen seseorang. Tak selalu panjang dan berbelit-belit, bisa simpel saja misalnya seperti... "Dan ketika jatuh sayang padamu adalah sebuah ketidakmungkinan, aku ingin mengubahnya menjadi doa-doa syukur penuh pengharapan. Serupa Ia pada pesta di Kana." 

Malam sudah cukup larut saat aku menulis ini. Hujan masih ribut berebut membasahi kota, meninggalkan genangan di lubang jalanan dan di pikiran. Angin seperti ingin kecemasan dilibas. Menahan suka ada di tempatnya. Dan tak perlu susah-susah mencari, kutemukan bantal yang beraroma kau. Lipatan selimut sehangatmu. Jejak kecupan di bibir cangkir bening bergaris merah.  

Ah, sudahlah, kau pasti lelah. Sebelum terpejam, dengarkan hujan..."Aku menunggu pelukan yang tertunda di suatu senja, lalu merapikan rindu yang berserakan di tanah pengharapan."  

Mohon jangan sembunyi, lagi. 

 

 

*** 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Dien Matina lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler