x

ilustrasi bullying

Iklan

Rikhardus Roden Urut Kabupaten Manggarai-NTT

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 25 Oktober 2022

Kamis, 5 Januari 2023 07:37 WIB

Sekolah (Tidak) Bahagia

Tahun 2020 Yayasan Mariamoe Peduli di Ruteng merilis angka kekerasan di sekolah dan menemukan 41 persen siswa menjadi korban. Studi itu memperlihatkan banyak fakta terkait disharmoni hubungan atau interaksi antara stakeholder dalam komunitas sekolah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Jefrin Haryanto
Konsultan, Praktisi Psikologi  & Inisiator Sekolah Bahagia

Sekolah bahagia

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Pernyataan di atas adalah hal yang paling banyak muncul dalam bentuk pertanyaan kepada saya, sejak secara serial menulis tentang sekolah bahagia. Gampangnya adalah pertanyaan tentang kenapa sekolah tidak membahagiakan. Jika jawaban-jawaban tersebut hendak didaftar, barangkali kita akan dihadapkan dengan seabreg daftar jawaban.

Baiklah Saya akan mulai dengan memperlihatkan hasil studi Yayasan Maria Moe Peduli tahun 2019. Sebuah proyek penelitian yang dibiayai oleh Tifa Foundation kala itu. Lokus studinya dilakukan di 8 Kabupaten di NTT, dan pada tiga jenjang Pendidikan yaitu, jenjang Sekolah Dasar, Jenjang Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah Atas.

Singkat cerita studi itu secara umum memperlihatkan banyak fakta terkait disharmoni hubungan atau interaksi antara stakeholder dalam komunitas sekolah.

Faktor yang paling sering disebutkan oleh responden penelitian yakni adanya lingkungan yang tidak nyaman karena adanya tindakan bullying/perundungan di sekolah. Studi memperlihatkan bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan guru terhadap siswanya masih dominan, termasuk juga tidak adanya rasa saling menghargai antar para siswa di sekolah.

Situasi ini terbaca dari tingginya skor indikator kecemasan siswa saat berada di sekolah. Siswa cenderung lebih suka menyendiri dan tidak memiliki kepercayaan diri. Di Kabupaten Manggarai misalnya, kasus kekerasan di sekolah masih sering terjadi.

Tahun 2020 Yayasan Mariamoe Peduli di Ruteng pernah merilis angka kekerasan di sekolah dan menemukan bahwa dari 873 responden, dalam rentang usia 13-18 tahun, baik laki-laki maupun perempuan yang tersebar diberbagai kecamatan di Kabupaten Manggarai, sebanyak 41, 4% mengaku pernah mengalami kekerasan di sekolah oleh guru.

Faktor lain yang berkontribusi dalam membuat siswa tidak bahagia yakni tingginya beban kerja dan stress akibat ujian dan nilai. Selain itu terkuak juga penyebab lain yakni faktor ketimpangan rasio waktu belajar dengan waktu main, sistem pengajaran guru yang lebih menekankan pada menghafal daripada memahami materi yang dipelajari, serta sangat mengutamakan penilaian saat ujian.

Terungkap juga faktor yang tidak kalah berpengaruh yakni atmosfer lingkungan pembelajaran dan sekolah yang negatif, yang banyak teridentifikasi dalam hal persepsi dan perilaku, misalnya adanya perasaan tegang, apatis, jarang senyum, tidak adanya rasa percaya dan harmoni dalam lingkungan sekolah.

YMP juga memaparkan faktor lain yang dianggap memengaruhi ketidakbahagiaan siswa di sekolah, yakni sikap dan sifat guru yang kurang menyenangkan (negatif), misalnya sifat keras, tidak ramah, tidak adil, tidak suportif dan tidak tulus, serta menggunakan metode pengajaran yang konservatif dan konvensional (YMP 2019).

Dalam realita yang ditemukan di sekolah, masih banyak guru yang tidak bersahabat bahkan ditakuti oleh para siswa. Mirisnya, guru-guru tersebut merasa baik-baik saja dengan situasi tersebut. Padahal, seharusnya guru menjadi sahabat bagi siswa dan bukan sosok yang ditakuti. Guru yang baik akan merasa gelisah apabila ada siswa yang merasa takut, segan, bahkan menjauhinya.

Keadaan seperti ini akhirnya menciptakan hubungan yang buruk dalam komunitas sekolah, entah antar murid, guru, atau antara guru dan murid. Secara keseluruhan, faktor-faktor inilah yang membuat siswa tidak bahagia di sekolah.

 

Pelajaran yang Membahagiakan

Masih dari studi yang sama, YMP menemukan bahwa  faktor yang dianggap paling penting dalam menciptakan pengajaran dan pembelajaran yang membahagiakan yakni adanya ragam pendekatan pengajaran dan pembelajaran yang menyenangkan, misalnya adanya pendekatan berupa proyek dan studi investigasi yang mengizinkan siswa untuk mengaplikasikan pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari.

Pembelajaran seharusnya menarik, menyenangkan, informatif, dan dinamis. Selain itu, kebebasan, kreativitas, dan keterlibatan siswa sangat penting dalam mewujudkan pengajaran dan pembelajaran yang menyenangkan.

Siswa harus bebas memberikan pendapatnya tanpa adanya penghakiman, berani melakukan kesalahan dan memiliki ruang yang cukup untuk terlibat dalam pembelajaran yang memacu kreativitas dan imajinasinya. Di samping itu, semangat kerja sama dan kolaborasi serta pembelajaran sebagai tim antar guru dan siswa juga menjadi faktor penting dalam menciptakan proses pembelajaran yang menyenangkan.

Guru dan siswa hendaknya saling bekerja sama dalam mencapai tujuan pembelajaran. Dengan adanya seluruh faktor yang mendukung pengajaran dan pembelajaran yang membahagiakan di lingkungan sekolah, tentunya akan mampu mewujudkan tujuan Sekolah Bahagia yakni membuat siswa bahagia di sekolah.

Pekerjaan ini memang tidak mudah, membutuhkan waktu yang tidak singkat, namun akan mampu diwujudkan jika seluruh pihak yang terlibat mendukung serta mengusahakan proses dan dinamika pembelajaran yang menyenangkan.

 

Semua Siswa Harus Terlibat

 

Tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa tidak serta merta ditujukan untuk mencerdaskan segelintir orang saja, atas dasar tersebut semua anak Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang berkualitas. Untuk mewujudkan hal ini, pemerintah dan sekolah harus memastikan bahwa semua anak dapat mengenyam pendidikan serta diperlakukan secara adil di sekolahnya. Namun, seringkali proses pembelajaran di sekolah tidak melibatkan seluruh siswa dan ada guru yang memperlakukan siswa secara berbeda-beda sehingga menciptakan gap di antara murid.

Salah satu hal terpenting dalam penyelenggaraan Sekolah Bahagia yakni, seluruh siswa dari berbagai latar belakang, merasa dilibatkan sebagai bagian dari komunitas sekolah.

Setidaknya terdapat lima faktor yang dapat membuat siswa merasa dilibatkan dalam proses pembelajaran. Faktor pertama, yakni nilai-nilai dan kebiasaan positif dan kolaboratif, yang mencakup kasih, empati, sikap berbela rasa, penerimaan, penghormatan, dan pengalaman bersama yang diselenggarakan melalui kerja tim dan kolaborasi yang menciptakan rasa kepemilikan, dan keadilan dalam hal kesempatan, pedagogi inklusif, dan menentang tindakan diskriminasi serta ketidakadilan.

Ini berhubungan dengan faktor kedua, yakni menghargai keberagaman dan perbedaan, yang mengarah pada menghargai berbagai agama, budaya, latar belakang sosio-ekonomi dan identitas gender. Faktor ketiga, yakni berbagi pengalaman dan aktivitas ekstrakulikuler, dengan cara siswa dapat belajar untuk bekerja dan hidup bersama melalui olahraga, acara kebudayaan, pengabdian masyarakat, serta aktivitas team-building bulanan. Aktivitas-aktivitas tersebut diatas merupakan aktivitas yang dapat membuat setiap orang tersenyum.

Sementara itu, pengalaman dan aktivitas tersebut seringkali dihubungkan dengan interaksi antar siswa, siswa dan guru, maupun anggota komunitas sekolah. Guru memang memainkan peranan penting dalam menjadikan sekolah lebih inklusif. Seperti yang disampaikan seorang guru sekolah swasta di Ruteng, "Para guru dan sekolah harus menekankan pentingnya toleransi dan saling mengasihi". Faktor keempat, yakni perilaku dan kebiasaan positif guru. Faktor terakhir, yakni kebebasan, kreativitas, dan keterlibatan siswa.

Tanpa adanya faktor-faktor di atas sulit untuk mencapai tujuan Sekolah Bahagia yang salah satunya menekankan pentingnya keterlibatan seluruh siswa dalam proses pembelajaran di sekolah.

Ikuti tulisan menarik Rikhardus Roden Urut Kabupaten Manggarai-NTT lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler