x

Pinterest

Iklan

Dien Matina

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Agustus 2022

Jumat, 6 Januari 2023 19:07 WIB

Percakapan Imajiner (29)


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebelum hujan reda

 

Rerumputan setengah tergenang. Wangi petricore serupa pengharapan. Di jendela yang kubiarkan terbuka, angin memainkan tirainya. Dan hujan semakin deras merambat ke kelopak mata. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Inikah kesedihan, Tuan? 

Runcing jarum jam menghujam kening. Memecah sunyi pada pucat malam. Tiba-tiba sebuah pesan singkat datang, "Waktu kita telah habis, mari saling melupakan." 

 

 

***

 

 

Sebab kehilangan adalah cara Tuhan memberi ikhlas pada masing-masing kita

 

Ruang tunggu stasiun kereta pukul lima. Berderet bangku kayu dan riuh percakapan, tumpang tindih bersama lalu lalang sepi. Bersama tawa serombongan orang di bangku sebelah. Bersama kecemasan dan secangkir kopi yang terlanjur dingin di tanganku. 

Serupa denting piano Yiruma di kepala, sendu ini berputar-putar.  Berulang-ulang. Kata sebisu batu gamang melihat kau yang sibuk dengan ponselmu dan aku yang sibuk menenangkan nyeri yang semakin menjadi-jadi. 

Satu jam berlalu. Gerimis turun satu-satu. Senja muram, kita diam. Kubakar rokok, kuhempaskan asapnya kuat-kuat ke udara. Kau menoleh, lantas berkata lirih di telinga, "Sayang, ada yang lebih menyakitkan dari perpisahan ini, melihat hujan di matamu." Kupalingkan muka, menahan rasa yang barangkali sama riuhnya seperti hujan di luar sana. 

 

 

***

 

 

Padamu laki-laki yang bukan laki-lakiku

 

Padamu laki-laki yang bukan laki-lakiku, kau mungkin tak akan pernah mengerti rindu ini terasa begitu rumit. Di Februari yang terus saja bermain hujan, dinginnya menyeretku dalam musim asing. Kucari bayanganmu di cangkir kopi, di tumpukan baju, di remang kamar tidurku, di lirih percakapan angin dan sepi. 

Pada suatu waktu saat tak mampu kutenangkan rindu, tangisku memecah malam. Kepingannya menusuk angan, perihnya bukan main. 

Barangkali aku hanya pagi yang entah di semestamu. Barangkali aku gelap di antara senyap. Barangkali aku apa-apa yang tak terlintas di ingatanmu. Maka, kekasih, jika garismu adalah jarak yang lebih jauh dari segala yang mampu kuingat, berikan aku sekulum senyum-mu, sebagai bekal tidurku. 

Aku, yang benar-benar menyukaimu. 

 

 

*** 

 

 

Tak habis-habis benci dan rindu bersiteru

 

Benci ini hanya akan menjadi benci, sebab nyatanya aku masih saja asyik tenggelam dalam gaduhnya nada-nada yang mereka mainkan. Dalam panggung-panggung yang merenggut waktu tidurku. Dalam tawa riang penonton dan botol-botol bir penawar hambar malam. 

Setengah diriku benar-benar membenci kegaduhan ini. Menertawakan segala hal bodoh yang pernah terjadi. Mengutuk sunyi yang bermain-main di ingatan. Tapi setengahnya lagi tak ingin kulepaskan, sebab menjadi sebenarnya penawar luka adalah kesedihan itu sendiri. 

Suatu waktu rindu membawaku pada sebuah ruang luas. Rak-rak buku berjajar rapi. Sebagian ditumpuk di sudut ruang, di atas meja putih panjang. Sebuah jendela besar terbuka lebar, tirainya bergerak-gerak bermain bersama angin. 

Sepasang cangkir kopi sisa semalam berbisik-bisik tentang kehilangan dalam pelukan. Benci jatuh. Rindu bersikukuh. Kau cinta, ada di dada atau kepala?

 

 

***

 

 

Ada yang tiba-tiba senyap di sini

 

Ada yang tiba-tiba senyap di sini. Di gerbong lima, perjalanan melewati senja. Di antara ramai pikiran dan wajah-wajah lelah. Di luar jendela, hidup berlari pada pusarannya. Kencang sekali. Silih berganti mengitari waktu, dan aku terperangkap di dalamnya. 

Dari musim ke musim segala yang bertaut akan berpisah. Kisahnya berserakan bagai debu, bising serupa lengking kereta. Dan senja tetap saja senja, yang diam-diam menawarkan hening dari langit merah saga. 

 

 

*** 

 

 

Ikuti tulisan menarik Dien Matina lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler