x

Banyaknya Mall di Surabaya, tidak terlepas dari perdagangan dan berkembangnya perekonomian di masa lampau.

Iklan

Firmanda Dwi Septiawan firmandads@gmail.com

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 November 2021

Selasa, 10 Januari 2023 09:05 WIB

Sejarah Gedung Siola di Surabaya sebagai Simbol Perdagangan dan Perkembangan Kota

Seperti yang kita tahu Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia. Sebelum menjadi kota besar, tentunya Surabaya juga mengalami perkembangan perekonomian dan perdagangan yang begitu pesat di masa lalu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

       Surabaya adalah kota terbesar kedua dan salah satu yang tertua di Indonesia. Dengan total luas 330,45 km2 jumlah penduduk Surabaya adalah lebih dari 3 juta orang (malam hari) dan lebih 5 juta orang (di jam kerja). Surabaya terletak di timur laut Pulau Jawa. Surabaya merupakan pelabuhan laut dengan Pelabuhan Tanjung Perak sebagai pelabuhan utama. Pelabuhan Tanjung Perak berfungsi sebagai hub / pusat untuk pengiriman antar pulau di wilayah Indonesia Timur.

    Nama Surabaya berasal dari berbagai sumber. Di delta Brantas muara sungai, banyak pemukiman besar dan kecil hidup berdampingan untuk waktu yang lama dengan nama yang berbeda, antara lain Surabaya, Ujung Galuh, dll. Dalam sejarah Kublai Khan, tiga kapal perang yang perkasa telah dikalahkan di Ujung Galuh. Surabaya juga dikenal sebagai kota pahlawan, gelar itu diberikan terkait dengan semangat heroik dan memperingati pertempuran surabaya pada tanggal 10 November 1945.

     Orang-orang dari etnis yang berbeda yang datang dari bagian timur Indonesia (seperti Madura, Bali, dll) telah mengunjungi dan tinggal di Surabaya. Selain dua kelompok etnis yang disebutkan di atas, orang-orang Cina, Arab, dan India keturunan juga mendiami kota bersama dengan masyarakat Surabaya asli (Jawa), membuat Surabaya menjadi kota multi-etnis dan multi-agama.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

       Dari adanya beberapa etnis tersebut pemerintah dan masyarakat juga meninggalkan beragam bangunan arsitektur yang memiliki nilai dan fungsi bermacam-macam. Mulai dari perdagangan, perbankan dan juga toko perhiasan. Salah satu bangunan teranyar di Surabaya adalah Museum Surabaya. Uniknya, museum ini berada di gedung Siola, Jalan Tunjungan yang awalnya lebih dikenal sebagai pusat perdagangan tengah kota.

Pembangunan dan Sejarah Siola

       Siola menjadi saksi Surabaya sebagai Kota Perjuangan dan perniagaan terbesar di Nusantara. Ia telah melintas zaman, dari sekadar ruko dagang, kemudian simbol tempat perlawanan terhadap ketertindasan.

     Siola adalah monumen yang membekukan kisah keberanian pejuang Surabaya dalam melawan penjajah. Siola membawa ingatan menapaki segala kenangan dan jejak perjalanan berdirinya Kota Surabaya. Sayangnya, banyak generasi masa kini yang kehilangan memori persentuhan dengan Siola sebagai bangunan bersejarah.

      Gedung Siola didirikan pada tahun 1877 oleh Robert Laidlaw (1856-1935), seorang pengusaha asal Inggris. Siola difungsikan sebagai pusat perdagangan dan bisnis. Pertama kali dibuka pada bulan Maret tahun 1923 dengan nama “Whiteaway Laidlaw”.

      Informasi itu dapat dilacak lewat koran terbitan Singapura, The Straits Times, tanggal 17 Juni 1924. Koran tersebut memberitakan mengenai rapat tahunan perusahaan Robert Laidlaw yang tersebar di berbagai negara, termasuk Indonesia (Jawa: Surabaya).

      Dijelaskan pula jika bangunan Whiteaway Laidlaw menjadi gedung terindah se-Hindia Belanda kala itu. Keputusan menempati gedung yang megah tersebut diikuti dengan peningkatan penjualan sehingga keuntungan berlipat ganda.

      Pondasi bangunan juga dianggap paling kokoh dibanding gedung-gedung lainnya. Otomatis, saat itu Whiteaway Laidlaw menjadi tongkrongannya orang-orang kelas menengah ke atas, terutama warga keturunan Belanda dan bangsawan di Surabaya.

     Berbelanja di Whiteaway Laidlaw tidak sekadar berurusan dengan kebutuhan sandang dan pangan, namun juga mencitrakan gaya hidup ningrat dan elitis. Sama seperti menziarahi mal untuk saat ini. Whiteaway Laidlaw semakin mengukuhkan Surabaya sebagai pusat perniagaan tersibuk di Hindia Belanda. Siola menjadi toko yang ramai dikunjungi karena menjual segala kebutuhan pokok. Kebanyakan adalah barang-barang yang diimpor dari Inggris dan Eropa dan hal ini semakin menambah kesan modern bagi pembelinya.

     Sebab itu, gedung Whiteaway Laidlaw memajang tulisan Het Engelsche Warenhuis, yang berarti “toko serba ada” di bagian depannya. Pengusaha Robert Laidlaw dapat dikatakan menguasai sebagian besar pasar ritel Eropa di Asia.

     Ia memiliki kurang lebih dua puluh cabang yang tersebar di India, Thailand, Singapura, Vietnam dan Malaysia. Ada satu ciri khas yang dapat diamati, setiap bangunan tokonya senantiasa memiliki kubah di ujung atasnya. Namun eksistensi Whiteaway Laidlaw semakin redup kala sang pemiliknya, Robert Laidlaw, meninggal dunia pada 1935.

     Puncaknya, Robert Laidlaw harus kehilangan banyak tokonya kala Perang Dunia II. Whiteaway Laidlaw di Surabaya diambil alih oleh pasukan Jepang dan dinamakan Chiyoda (sekarang menjadi merk lampu). Fungsinya masih sama, toko serba ada, namun lebih banyak menjual produk tas dan sepatu. Begitu terkenalnya Chiyoda sebagai ritel sepatu, sehingga memantik daerah sekelilingnya untuk menjual jenis produk serupa. Makanya, hingga saat ini kita masih bisa melihat banyak toko sepatu bertebaran di sekitar Jalan Praban, Surabaya.

       Setelah Jepang menyerah pada Sekutu, Surabaya mengalami pertempuran hebat dan menjadi titik kulminasi pengukuhan dirinya sebagai Kota Pahlawan. Arek-arek Surabaya berani melawan tentara Inggris. Chiyoda menjadi gedung yang ideal untuk melakukan perlawanan. Di atas gedung itu, para pejuang Surabaya menjatuhkan bom saat tank dan tentara Inggris memasuki Tunjungan. Melihat hal ini, tentara Inggris dengan segera menyerbu gedung Chiyoda dengan bom. Akhirnya, tak banyak yang tersisa dari gedung itu.

       Hingga Indonesia merdeka, Whiteaway Laidlaw atau Chiyoda mangkrak tak bertuan. Kemudian tahun 1950-an, ada upaya untuk menasionalisasikan aset-aset asing oleh pemerintah Indonesia, maka gedung itu pun menjadi hak milik Pemkot Surabaya. Pada dekade tahun yang sama, ada lima pengusaha yang tertarik dengan gedung Whiteaway Laidlaw atau Chiyoda. Mereka berniat mengembalikan kejayaannya sebagai pusat perdagangan terbesar di Surabaya. Kelimanya adalah Soemitro, Ing Wibisono, Ong, Liem dan Ang.

      Dari mereka, terbentuk akronim SIOLA, sesuai perpaduan huruf depan nama mereka. Secara resmi, Siola dibuka dan diperkenalkan ke publik pada tahun 1964. Benar saja, dia menjadi toko yang cukup terkenal di seantero Surabaya pada tahun 60-80an.

       Namun seiring berdirinya mal-mal baru, eksistensi Siola meredup. Siola tak mampu bersaing dengan toko-toko baru yang lebih besar dan megah. Akhirnya, ia resmi ditutup pada tahun 1998.

       Setahun setelahnya, Siola disewakan ke salah satu ritel besar bernama Ramayana Departemen Store. Di samping gedung itu, tumbuh subur pula pedagang kaki lima yang menjual cd bajakan, dari musik hingga film porno. Tahun 2008, kontrak Siola habis dan tidak diperpanjang. Gedung Siola kembali mangkrak.

Revitalisasi Siola sebagai tempat wisata

    Beberapa tahun belakangan, publik dikejutkan dengan upaya Pemkot Surabaya menjadikan Siola sebagai museum. Tentu saja gagasan ini disambut baik. Mereka dapat kembali menziarahi Siola dan melihat rentetan peta perjalanan Kota Surabaya di dalamnya.

    Di museum itu, berbagai benda yang mengisahkan Surabaya tempo dulu dipajang dan dipamerkan. Harapannya, masyarakat Surabaya tidak gegar sejarah. Di tengah berbagai prestasi yang diraih Kota Surabaya, Museum Surabaya di Siola menjadi
salah satu pintu yang menjembatani generasi masa kini dan yang akan datang, untuk lebih dekat dalam mengenal dan memahami kotanya.

     Sejarah Surabaya dan Siola kemudian tidak lagi menguap dalam dongeng pengantar tidur serta beku dalam buku pelajaran. Lewat museum itu, kita bisa merasakan detak Surabaya sebagai kota pahlawan dan perniagaan. Museum menjadi terminal akhir dari kisah perjalanan Whiteaway Laidlaw, Chiyoda atau Siola. Ia berakhir manis untuk dikenang dan diabadikan lewat museum.

       Tentu kita tak ingin, Museum Surabaya hanya menjadi pelengkap peradaban sebuah
kota.Banyak museum yang “termuseumkan”, semata menjadi tempat keramat yang angker untuk dikunjungi. Lewat Siola, publik melihat berbagai pengisahan dan tragedi yang terjadi di Surabaya. Tentang perjuangan, harapan, doa dan cita-cita. Siola kini berwajah baru, tak ada salahnya kita untuk kembali mengunjunginya. Bukan untuk berbelanja, namun menikmati kisahnya dan Surabaya.

Ikuti tulisan menarik Firmanda Dwi Septiawan firmandads@gmail.com lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu