x

Pinterest

Iklan

Dien Matina

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 Agustus 2022

Selasa, 10 Januari 2023 19:34 WIB

Percakapan Imajiner (31)


Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sebuah nama, padanya kupesan takdir

  

Sebatang rokok mentol habis terhisap sepi. Tak ada yang kita bicarakan. Angin seperti mati, sunyi. Tapi kepalaku begitu ramai. Kurasa kau juga. Kulihat kau menikmatinya. Kuputar pelan sebuah lagu di ponsel. Kau melihatku sebentar, tersenyum, lantas kembali sibuk dengan laptop dan ponselmu. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Aku suka cokelat panas" katamu tiba-tiba sambil terbatuk-batuk. "Maaf, asap ini meracunimu, aku membutuhkannya sekarang." Kujauhkan rokok ke jendela yang terbuka. "Maaf juga tak sebaik itu aku mengenalmu, kupikir kau juga menyukai kopi. Sebentar kupesan cokelat panas untukmu. Dan kancingkan jaketmu, angin malam ini lebih dingin, kau masih flu kan?" kataku sambil berdiri dan memanggil laki-laki muda yang tadi melayaniku. 

"Kau menyukai tempat ini?" tanyaku setelah sepuluh menit berlalu. "Kedai ternyaman menurutku. Banyak hal kunikmati di sini, termasuk ramainya kepala." Kau mendongkakkan kepala, menatap beberapa saat dan tersenyum. "Suka. Andai tiap sore bisa kubuang penat di sini. Sayang waktuku tak sebanyak itu, terlalu banyak yang harus kuselesaikan hingga larut malam. Dan beruntungnya hari ini waktu berbaik hati, aku bisa menemuimu. Terima kasih sudah mengajakku ke sini, aku suka." 

Aku tersenyum dan menghembuskan penat perlahan bersama asap rokok ke arah jendela. Di luar angin sedikit kencang dari biasanya. Anomali cuaca. Panas dan hujan yang tiba-tiba. Mendung datang dan pergi semaunya. Hey, aku teringat sebuah percakapan tentang mendung dengan seseorang. Ia mengaitkannya dengan rindu. Mungkin memang ia sedang merindukan seseorang. Aku terus tersenyum sambil terus memandang ke luar jendela, berharap asap ini tak membuatnya sesak napas. Padahal aku suka memandangnya, meski dadaku terasa sesak. Entahlah. Kami kembali dengan kesibukan masing-masing. Entah apa yang ia kerjakan. Sedang aku sibuk dengan banyak kata yang berjejalan di kepala. Satu demi satu kususun di atas meja, mungkin akan menjadi semacam sajak tapi mungkin bukan..

 

Badai datang berkali-kali 

Mengguncang dada 

Meneriakkan kesedihan 

Gugur dedaunan 

Derak ranting 

Ramai riak menampar bibir pantai 

Sepasang lengan bosan memeluk bayang-bayang 

Ia berlari mengitari ruang-ruang yang diciptakannya sendiri 

Angan ingin membentur dinding 

Sungguh aku lelah dirajam pilu 

Pada riuh lalu lalang manusia 

Pada kisruh pikiran sendiri 

Pada perasaan-perasaan ragu 

Jarum jam serupa roda kereta 

Terus saja melaju tak mau menunggu 

~

 

Sebulan setelahnya kami kembali bertemu. Di kedai dan meja yang sama. Tapi kali ini ia datang lebih cepat. Senyumnya mengembang saat aku datang. 

"Secangkir cokelat panas dan kopi late untukmu, Ing. Aku hanya punya waktu dua jam, ada yang harus kuselesaikan sebelum pagi. Maaf kita tak bisa berlama-lama. Aku..." 

Ia berhenti bicara dengan mata yang berkaca-kaca. Aku tak menjawab apa-apa. Aku benci melihat ini, kau dengan kesedihan yang kau bawa. Sedikit ragu kugenggam tangannya, "Kita akan baik-baik saja, Ettan, sekalipun dada kita lebam oleh luka. Kita akan baik-baik saja."

Matanya semakin basah, aku tak tahan melihatnya. Kulepaskan tangannya. Kusulut rokok dan kuhembuskan keluar jendela. Seandainya aku bisa memelukmu, Ettan, sebentar saja. Meredakan riuh rasamu juga debar dadaku sendiri. 

Kupandangi punggungmu berlalu yang semakin samar oleh air mataku. Dari jendela redup cahaya langit jatuh di pipiku. Semacam kudus malam, bulat rembulan harusnya dipecah-pecah dan dibagikan kepada hati yang murung. Tuhan, jika esok Kau ciptakan waktu yang takkan pernah berganti, maka biarlah kumiliki hari ini. Saat aku bersamanya dalam diam. Dalam sunyi yang kami nikmati.

 

251116

 

 

 

*** 

 

 

 

Barangkali harus kupugar isi kepalaku

 

Barangkali harus kupugar isi kepalaku, membuatnya lebih ramai dari sekedar dia dan dia saja. Senyum lebarnya itu memporak-porandakan otakku. Mengacaukan syaraf-syarafnya, membelit-belit membentuk wajahnya. 

Baiklah, engkau laki-laki(ku) Kubingkai namamu, lalu kuselipkan di ruas dadaku. Tetapi haruskah kuusir senyap ini? Tidak, tidak, biarkan saja. Sebab di sana ada ia yang mampu kumiliki, utuh. 

Pada aspal jalanan, debu-debu, dan tatapan asing matahari, juga senyum sinis kehidupan lepaskan beban ini, kamu(ku). Lepaskan sesak dadamu. 

Lantas kuramu malam dengan secangkir kopi tak murni dan pekat asap rokok, biar sempurna gaduh rindu ini.

 

 

 

*** 

 

Ikuti tulisan menarik Dien Matina lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler