x

Ilustrasi: agefotostock.com

Iklan

Ikhwanul Halim

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 26 April 2019

Selasa, 21 Februari 2023 20:03 WIB

Babad Pancajiwa 8. Megatruh Lili

Lili yang anggun sekilas rapuh di sisi ranjang pasien, menggenggam jemari tak berbalas pria yang dicintainya, menatap wajah kukuh tertutup masker oksigen dengus napas berat tak runtut berjuang menahan jiwa yang hendak pergi ke tempat tinggi segumpal darah beku embolus di benak menumbangkan lelaki yang dicintainya sepenuh jiwa raga sampai akhir dunia.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lili yang anggun sekilas rapuh di sisi ranjang pasien, menggenggam jemari tak berbalas pria yang dicintainya, menatap wajah kukuh tertutup masker oksigen dengus napas berat tak runtut berjuang menahan jiwa yang hendak pergi ke tempat tinggi segumpal darah beku embolus di benak menumbangkan lelaki yang dicintainya sepenuh jiwa raga sampai akhir dunia.

Lili yang cantik jelita bak putri istana kota terlarang mengusap air mata yang mengalir sederas sungai Yang Tze kala banjir sebelum dibendung atas nama kemajuan masa depan dengan sebelah tangan yang lemah tak berdaya dari pipi yang sehalus porselen cina dinasti Tsung memancarkan aura pesona tanpa kerut di usianya yang sedikit hari lagi empat puluh dua.

Hatinya menjerit sekeras-kerasnya tanpa bunyi melontarkan selaksa pinta doa ke langit atas langit memohon kepada Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang kepulihan sedia kala suaminya tercinta yang menjadi imam dan panutan hidupnya selama dua puluh dua tahun membina mahligai rumah tangga bahkan jika takdir bisa bertukar tanpa ragu ia bersedia bertukar nyawa.

Demi pria yang kini terbaring tanpa daya bertahan karena berbagai perangkat yang tersambung ke organ tubuh melalui buluh penghantar cairan dan tali besi penara tanda kehidupan itu masih ada ia meninggalkan segalanya terbuang dari keluarga tak diakui terlahir dari benih tuan Tanuwijaya papa yang kolot dan tak sudi menerima menantu pribumi biasa.

Papa yang biasanya memanjanya ternyata sangat berkuasa meledak murka sebab kehendak menjodohkannya dengan laki-laki sebangsa sesama kulit kuning untuk menyatukan dua sumber harta mengusirnya dan menyemburkan lahar gunung caci maki keji baik kepadanya dan yang lebih menyakitkan menusuk hatinya yang lembut penuh cinta, kata-kata busuk untuk Suryadilaga.

Di ruangan rawat termahal yang ada di rumah sakit itu, Lili yang ayu juwita laksana dewi Kwan Im meski usia menjelang empat puluh dua terus menangis tak berisak memanjatkan mantra penolak bala pencegat malaikat maut pencabut nyawa tersyahdu yang pernah diucapkan manusia utuh berharap melampaui bintang terjauh menggapai Yang Maha Kuasa.

Ketukan di pintu tak terdengar tenggelam dalam khusyuknya doa, hanya tergugah ketika sentuhan lembut yang sangat akrab menyentuh pundaknya.

"Mama pasti belum makan. Ini Taufan bawakan vegetable tempura..."

 

 

BERSAMBUNG

Ikuti tulisan menarik Ikhwanul Halim lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler