x

Foto Majalah Tempo

Iklan

Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Juni 2022

Kamis, 23 Maret 2023 14:03 WIB

Melodi Cinta untuk Taman Langit

Cerpen Melodi Cinta untuk Taman Langit. Cerita cinta sejati. Nama di cerpen ini hanya fiktif belaka. Plang, Panti Asuhan Penyandang Disabilitas-Bunga Cinta, berdiri tegak di tanah patungan bersama para sahabat kita, juga dari berbagai kalangan publik, termasuk beberapa lembaga filantropi asuhan negara. Sekarang bangunannya telah bertambah. Mendahulukan ruangan perpustakaan, setelah kamar-kamar hunian, ruangan pertemuan keluarga, taman bermain selesai di bangun. Para ananda itu, sungguh bercahaya, sayang. Salam cinta saudaraku.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Mengisi ruang hitam menjadi putih dari sejumlah pixel mozaik, kewajiban, tak sekadar tugas menata hati. Benar katamu, ketika itu di ketinggian pegunungan negeri indah ini. Benar katamu, alam tak pernah merubah dirinya menjadi horor. Aku lemparkan seikat bunga cinta dari ketinggian ini. 

"Selamat jalan kekasih. Mampirlah sejenak sesempit apapun sebuah surau di Taman Langit." Takkan lepas doa ini untukmu.

Kembang cinta, beterbangan burung-burung putih menggelombang keindahan kasih sayang bergulungan meliuk-liuk rupawan, menghias langit panorama seribu bulan, berjuta bintang, sinaran seribu matahari. Ya Engkau Segala Maha. Bimasakti jantungku milik-Mu, sebatas kuasaku kefanaan, dari tanah kembali ke tanah, hal ihwal bukan akhir tujuan.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Kekasih, sepagi ini aku bakal turun, kembali kedataran kurva horizon. Seperti katamu, Habiskan air mataku, penyubur tanah negeri, penguat ekosistem, hutan hujan bersemi, dari ketinggian aku menjejak. 

Peluk sayang dari sejumlah kerabatmu, bersamaku sepagi ini, melepas sejumlah burung penanda lestari seperti pintamu. Aku temukan pula, Edelweiss, kau simpan di bawah akar pohon di antara dua batu berukuran sedang, penanda gerbang tiga perempat pendakian, menuju puncaknya. Atas seijin pemangku adat, aku petik seruas jari kusimpan di dompet uang receh, kubawa kemanapun.

"Sisa Edelweiss, biarkan di tempatnya, penanda cinta sejati," begitukan katamu.

"Berpikirlah berlipat kali sebanyak kemungkinan, sebelum memutuskan langkahmu," kalimat itu bermanfaat komitmen kebersamaan. Kau bisa melihatkan, dari taman indahmu, menjelang aku selesai pasca pendidikan tinggi lanjutan, selangkah lagi tiba cita-cita itu. 

**

Plang, Panti Asuhan Penyandang Disabilitas-Bunga Cinta, berdiri tegak di tanah patungan bersama para sahabat kita, juga bantuan dana publik dari berbagai kalangan, termasuk beberapa lembaga filantropi asuhan negara. Sekarang bangunannya telah bertambah. Mendahulukan ruangan perpustakaan, setelah kamar-kamar hunian, ruangan pertemuan keluarga, taman bermain, selesai di bangun. 

Para ananda itu, sungguh bercahaya, sayang. Kau ingat, gadis kecil usia tujuh tahun? Orang tuanya wafat dalam peristiwa kecelakaan di jalan lintas cepat. Dia, berkat tim medismu berusaha menyelamatkan, kalian inginkan dia sehat sejak di UGD Puskesmas desa tertinggal, tempat kalian bertugas, tak henti-henti pula berdoa. Ketika dia siuman tak ingat namanya, juga nama kedua orang tuanya. 

Berhari-hari ngobrol barengan mencari nama pengganti sementara, tertepat, untuk gadis kecil itu. Lantas tim medismu menemukan nama terindah, Puspa Kirana, lalu berbagai-bagai pula kita memanggilnya, Puspa, Rana atau Kira, berebutan mencari nama terindah untuk memanggilnya, semua merawatnya. Sosok kuatnya memberi inspirasi pada kita, memicu percepatan membangun panti asuhan itu. Kau tahu sayang. Sekarang dia bisa bersuara banyak, ceriwis, sebagaimana keadaannya, menjadi gadis dewasa usia dua puluh satu tahun. 

Banyak cerita keseruan lainnya, dari persaudaraan seusia Kira, di panti asuhan penuh berkat itu, antara lain, si konyol Bagus, masih gemar melucu, dia makin menyukai cerita sejarah. Foldi, remaja ganteng si lesung pipit, penyuka musik klasik, satu-satunya pemilik biola, seperti saat kita menyelamatkannya dengan tim medismu, bersama, Kepolisian Negara, ketika di ketemukan, di sampingnya terikat beberapa baju balita berikut sebuah biola. Pencarian orang tuanya belum berhasil, hingga kini.  

Keseruan lainnya, kau tau kekasih. Para ananda dari usia pasca balita sampai dengan remaja SMA, bukan main mengagumkan, bersyukur, selalu saja ada pemenang acap kali ajang lomba berbakat, dari bidang seni, sains, umum, bahkan musik, paduan suara, berebutan ide bikin robot. Lemari piala berkaca itu tertata apik, di dalamnya berderat prestasi para ananda, terpajang keren di ruang keluarga sekaligus ruang tamu panti asuhan. 

Ada hal takkan terlupakan oleh kami, ketika, Dwi Manfaat, naik panggung lomba puisi, khas suaranya terbata-bata. Kau masih ingat, sahabat kita, Marcus Stevan, si pendaki cepat, tak mampu dia menahan tangis harunya, benar-benar tersedu-sedan. Dwi, menerima piala khusus kelas satu, dari pihak penyelenggara. Ada, banyak lagi cahaya kasih di panti asuhan itu, sebagaimana cita-citamu bersama para sahabatmu. Aku, yakin kau melihatnya dari langit taman indahmu, sayang.

**

Kekasih, entah seberapa tua kau kini, mungkin juga tak ada limit usia di Taman Langitmu ya ... Hmmh ... Aku, juga para sahabatmu, usia, setengah abad lebih. Hampir rata-rata mencapai pensiun, mereka kerja di jawatan pemerintahan, antara lain, Mas Djudi, Soemanto, Sorjan Sanusi, Tarsih, Suningsih, Mbak Ademi, Mbak Sulami. Kalau, Muslim Soleh, Muktar, Pardjitu, Roro Sastri, Putri Tri Asih, Makdalena Derajat, konsisten di swasta, membangun usaha mandiri. 

Juga, Tio Koh Bun, Lim Sie, Hongbie alias Susan Dharma, Cin Hua alias Kinasih Alimin, setia meneruskan usaha keluarga agen besar toko kelontong. Marzuki, Borubona, Siu Ong, mengelola bus antar propinsi, masih banyak lagi sahabat kita, tetap setia, pada komitmen sosial mandiri, cita-cita kala itu hingga usia kini. Meski beberapa telah wafat, kehendak Ilahi. 

Kau tahu, orang tua dari, Antonius Budi, Sumadikala, Kuntjoro Asmat, mereka tiga orang raja bisnis properti. Menghibahkan tanahnya, berdekatan dengan lokasi perumahan elite, bisnis mereka. Untuk dijadikan, panti wreda, salah satunya, dari sejumlah panti di atas tanah hibah itu, Panti Wreda Sinar Pelangi. Setelah aku rehat dari guru besar di Universitas, tempat kita menimba ilmu. Sekarang ini, aku memilih tinggal di sini, paviliunnya panti, lebih dari cukup. Ruang tamu mungil, sedikit taman kesibukanku, perpustakaan pribadi. Aku tak punya waktu memikirkan untuk menikah, sejak kau mangkat di pendakian itu.

Kau tau kan? Aku masih novelis kesayanganmu. Tak terasa, Bulan Suci Ramadan telah datang lagi ya ... Aku buka dompet uang receh. "Edelweiss? Aku rindu padanya, hmmh ..."

***

Jakarta Indonesiana, Maret 23, 2023.

Ikuti tulisan menarik Taufan S. Chandranegara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB