x

Iklan

Firmanda Dwi Septiawan firmandads@gmail.com

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 11 November 2021

Sabtu, 8 April 2023 20:06 WIB

Menelurusi Jejak Rantai Perdagangan Lada di Pulau Borneo Abad 17 dan 18

Sejak permintaan rempah-rempah di pasar dunia mulai meningkat pada abad ke-16, Nusantara mulai ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai daerah dan negara. Pada waktu itu Nusantara merupakan salah satu wilayah penghasil rempah-rempah berkualitas tinggi. Pala, cengkih, kayu manis, lada, vanili, kunyit, kapulaga,

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sejak permintaan rempah-rempah di pasar dunia mulai meningkat pada abad ke-16, Nusantara mulai ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai daerah dan negara. Pada waktu itu Nusantara merupakan salah satu wilayah penghasil rempah-rempah berkualitas tinggi. Pala, cengkih, kayu manis, lada, vanili, kunyit, kapulaga, dan sebagainya menjadi magnet yang mampu menyedot para pedagang dari berbagai belahan dunia untuk berbondong-bondong mengunjungi

Nusantara. Rempah-rempah dan berbagai hasil hutan seperti kayu cendana, getah karet, kulit reptil, serta hasil tambang seperti emas dan timah telah mengisi lambung lambung kapal para pedagang Eropa, Cina, Arab, India, dan lain-lain yang berlayar ke Nusantara membawa tekstil, porselen, keramik, kain sutra, obat-obatan dan sebagainya. Mereka mengangkut rempah-rempah dari berbagai daerah di Nusantara untuk diperdagangkan ke berbagai negara yang membutuhkannya. Eropa, Cina, dan Timur Tengah merupakan beberapa pasar rempah dari Nusantara.

Salah satu pulau penghasil rempah-rempah, khususnya lada, adalah Kalimantan. Lada (Piper Nigrum) antara lain tumbuh di wilayah Kalimantan Tenggara (Zuider- enOosterafdeeling van Borneo) yang kini menjadi Provinsi Kalimantan Selatan. Dari sumber-sumber yang dapat dijangkau diketahui bahwa lada dari Kalimantan Tenggara mulai diperdagangkan dalam jaringan perdagangan internasional pada sekitar akhir abad ke-16 atau awal abad ke-17. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Gambaran mengenai komoditas dagang sebelum abad ke-16 seperti dituliskan dalam Hikayat Banjar tidak menyebutkan lada, melainkan kayu, rotan, damar, lilin, kayu putih, berlian, dan emas yang diangkut ke pusat perdagangan di Banjarmasin melalui transportasi sungai (Ras, 1990, p. 177).

Barangkali hal itu ada kaitan dengan himbauan dari penguasa Banjar kuno agar rakyatnya hanya menanam lada untuk digunakan sendiri dan tidak untuk diperdagangkan, karena memperdagangkan lada hanya akan membawa kesengsaraan dan kehancuran negeri Banjar (Ras, 1990, p. 236). Baru setelah para pedagang Portugis, Cina, Arab, dan India menjalin hubungan dagang dengan para pedagang Banjar, Bugis, dan Jawa di Banjarmasin pada abad ke-16, kemudian juga disusul pedagang Inggris dan Belanda (Valentijn, 1862, pp. 229-230) pada dekade berikutnya, lada Banjarmasin mulai menjadi salah satu komoditas dagang yang paling dicari; meskipun jumlah produksinya masih terbilang kecil bila dibandingkan produksi lada dari Banten, Jambi, dan Palembang.

Berbeda dengan tulisan-tulisan terdahulu, artikel ini bermaksud untuk mengungkap mata rantai perdagangan lada di Kalimantan Tenggara pada abad ke-17 hingga ke-18 yang melibatkan empat pihak, yaitu orang-orang Dayak sebagai para penanam lada di pedalaman, para pedagang Banjar dan pedagang Cina lokal sebagai perantara, sultan, dan para pejabat istana sebagai pihak yang menguasai perdagangan lada di Banjarmasin, serta para pedagang mancanegara (Belanda, Inggris, Cina) sebagai pembeli lada untuk dijual di pasar dunia. 

Lada dari pedalaman Kalimantan Tenggara mengalir menyusuri sungai, dari hulu menuju hilir, memenuhi perahu-perahu para pedagang Banjar yang memiliki “hak istimewa” sebagai pengumpul lada dari dusun-dusun Dayak dan para pedagang Cina yang sudah lama menetap di Banjarmasin. Mereka adalah mata rantai kedua dalam perdagangan lada di wilayah ini. Para pedagang Banjar mempunyai kemampuan untuk berhubungan langsung dengan orang-orang Dayak penghasil lada. Mereka juga dapat memahami “transaksi bisu”dengan orang Dayak (Lindblad, 2012, p. 12). Pada awal transaksi dengan pedagang Banjar, orang Dayak melakukannya tanpa bertatap muka. Konon mereka mempunyai sifat pemalu, sehingga dalam bertransaksi mereka hanya meletakkan lada, hasil hutan, atau hasil bumi mereka di suatu tempat dan mereka mengawasinya dari tempat tersembunyi. Barang-barang itu kemudian ditukar dengan barang kebutuhan sehari-hari yang dibawa oleh para pedagang. Keesokan harinya orang-orang Dayak akan datang ke tempat barang diletakkan dan menemukan bahwa barang-barang yang mereka butuhkan sudah ada di sana.

Pada musim panen lada, para pedagang lokal (terutama pedagang Banjar) berlayar ke arah hulu sungai, mendatangi dusun-dusun penghasil lada di pedalaman. Mereka berlayar menyusuri sungaisungai hingga jauh ke pedalaman yang kadang hanya dapat dilayari perahu kecil atau rakit sehingga membutuhkan waktu tempuh yang cukup lama. Para pedagang ini sudah biasa bertransaksi dengan orang-orang Dayak dan mengembangkan perdagangan sungai. Selain pedagang Banjar, pedagang Cina lokal juga melakukan perdagangan sungai, tetapi untuk pengiriman jarak jauh karena mereka menguasai pasar bahan pokok regional di Banjarmasin dan jalur perdagangan ke Singapura. Oleh karena itu, tidak jarang terjadi tumpang tindih kepentingan antara pedagang Banjar dan pedagang Cina dalam perdagangan sungai (Lindblad, 2012, p. 13).

Pertumbuhan produksi dan perkembangan perdagangan lada telah mampu mengubah Banjarmasin menjadi pasar lada yang diperhitungkan di Asia Tenggara pada awal abad ke-17. Hal itu tidak terlepas dari kehadiran para pedagang asing seperti pedagang Cina, Belanda, dan Inggris yang tidak pernah berhenti berusaha untuk mendapatkan pasokan lada terbanyak dari Banjarmasin. Dalam mata rantai ini, pedagang Cina sebagai pembeli lada lebih mudah mendapat pasokan lada dari para pedagang perantaramaupun dari otoritas Kesultanan Banjar, sehingga mereka dapat berlayar kembali ke negeri mereka dengan jung-jung penuh lada. Para pedagang perantara dan keluarga bangsawan terbukti lebih senang menjual lada mereka kepada para pedagang Cina karena yang disebut terakhir ini bersedia memberi harga lebih tinggi untuk lada mereka, dibanding harga yang diberikan oleh pedagang Inggris dan Belanda.

Ikuti tulisan menarik Firmanda Dwi Septiawan firmandads@gmail.com lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

3 hari lalu