x

Digital Photography by Tasch 2023.

Iklan

Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Juni 2022

Rabu, 12 April 2023 12:33 WIB

Tentang Embun (3)

Cerpen Tentang Embun (3) Musim kadang-kadang menjengkelkan, tak mau kompromi, apa lagi gratifikasi hahaha, musim menolak hal ihwal macam itu. Ketika aku perlu hujan, malah panas terik, selalu berkebalikan. Apa sih maumu.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kemarin hari ini ataupun lusa sama saja. Tetap ada langit, ada bumi dipijak. Ketentuan semestapun hanya dua ada gravitasi ada frekuensi. Makhluk hidup dimanapun berada dalam kumparan itu. 

Ada oksigen, pemberi senyawa kehidupan di bumi, hingga berada di level tertinggi ataupun terendah, lantas mati, ketika jantung berhenti, suplai oksigen sirna. Entah diplanet lain. Saturnus atau Mercurius, ada tiada, terbentuk juga tak berbentuk meski terlihat kasat mata, ada di peta semesta.

Apa sebenarnya membuat semua hal selalu indah di sekitarku. Apakah ada jalan pulang atau tidak, tersesat atau tidak tak penting benar. Barangkali ini semacam perjalanan gaib, sains natural, vertikal bersambungan horizontal. Bukan dalam pemahaman dunia lain kesetanan, hanya menyentuh area imajiner-bersifat horizontal sugestif, tidak pula menyentuh imajiner vertikal. Sugesti menekan logika, nalar macet, stagnan sebatas garis-garis penyeberangan lampu lalulintas.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Selalu, sepagi sebagaimana seharusnya matahari nongol, tak juga muncul secercah cahaya, ogah nongol. Barangkali ini ungkapan alam pada makhluk seperti hamba, manusia, cerewet, banyak maunya selalu meminta, pelit memberi, alpa bersyukur. 

Apa betul, aku, manusia? Kalaupun bukan kini, masa bodoh deh. Aku, hidup, bernapas, melihat, mendengar, merasakan, itu artinya hamba makhluk manusia berjenis kelamin, beridentitas. Namaku siapa ya. Enggak penting. Aku, manusia.

"Embun? Ayo dong nongol," di benaknya. "Maksudmu apa sih. Apa maumu. Jangan main-main begini dong. Aku, fotografer, bukan pemakai dana nasabah, digunakan untuk jual beli fluktuasi pasar modal, kalau untung masuk kantong sendiri, rugi bodok amat. Waah."

Musim kadang-kadang menjengkelkan, tak mau kompromi, apa lagi gratifikasi hahaha, musim menolak hal ihwal macam itu. Ketika aku perlu hujan, malah panas terik, selalu berkebalikan. Apa sih maumu. Apa aku harus jingkrak-jingkrak, sembari ngakak atau menangis, meraung-raung guling-gulingan. Gitu? Oke, kalau itu maumu, akan aku lakukan. Terpenting cahaya matahari mau nongol. Embun, segar bercahaya.

"Malaikat penjagaku. Halo!" penasaran, lagi. "Haloo!" tak ada jawaban apapun. "Baiklah kalau begitu. Aku berteriak ya. Bukasesam! Bimsalabim! Satu guru satu ilmu dilarang mengganggu, ataupun saling mendahului semena-mena, berbahaya untuk kesehatan berlalulintas. Ayo dong! Nongol! Hihh! Hahh!" dia, benar-benar jungkirbalik, jingkrak-jingkrak, berteriak-teriak memanggil-manggil matahari.

"Selamat dini hari, Tuan. Harap tenang. Mohon tertib," tegur petugas Kebun Raya, berseragam kolonial. 

"Ini pagi hari, Bapak," agak terperangah.

"Ini dini hari, Tuan." Tegas santun.

"Maaf, mungkin anda salah mata, Bapak." Mencoba meyakinkan.

"Tidak Tuan. Ini dini hari."

"Tapi, mata saya mengatakan, ini pagi hari menjelang matahari terbit, Bapak."

"Tidak Tuan. Ini dini hari."

"Mata saya tidak pernah salah. Persis mata lensa kamera saya, Bapak."

"Coba Tuan, menengok kebelakang."

Dia, menengok kebelakang. Kali ini, dia benar-benar terkejut heran. "Wah!"

"Anda melihat apa, Tuan."

"Pertempuran, sempurna. Saya melihat perang berkobar!"

"Anda melihat apa lagi, Tuan."

"Perang kolosal. Persis, seperti tertulis di buku sejarah negeri saya, Bapak."

"Bisa anda sebutkan? Perang apa itu?"

"Tidak. Tidak mungkin saya sebutkan. Ledakan mesiu, panah-panah api, bom api, tombak-tombak api beterbangan, pasukan kavaleri imperium, barisan infanteri bersenjata berat. Korban menumpuk bergelimpangan. Ini, cerita perang paling mengerikan di sepanjang sejarah negeri saya. Kepala-kepala terlepas dari tubuhnya. Amuk tak terkendali. Ini sungguh perang paling mengagumkan. Momentum sejarah tak terlupakan." 

Dia, mengaktifkan kameranya. Dengan saksama mengabadikan peperangan itu. "Dahsyat, terima kasih, Bapak. Ini momen langka tak pernah saya jumpai sepanjang usia saya." 

Klick! Klick! Dia, merunduk mengendap-ngendap maju selangkah-selangkah super hati-hati, memotret peristiwa itu, frame by frame. Selangkah maju terus mendekati ke arena perang, tak ada rasa takut terkena sasaran tembak. Baginya mati ataupun hidup, sama saja. Nasi sudah jadi bubur. Apa boleh buat.

Dia, sampai sudah di arena peperangan itu, tak peduli apapun. Selangkah-selangkah merangsek, memutar tubuhnya ke berbagai arah mata angin. Mengabadikan sebanyak mungkin gambar dari kejadian itu hingga tiba di pusat pertempuran. Mendapatkan detail dari peristiwa. Di batok kepalanya, hanya ada tembak sasaran objek, merekam gambar terbaik.  

Tak boleh, dia menyangsikan apapun lagi. Semakin bertambah cepat dia merekam pertempuran itu, sedekat mata lensanya, semakin menggila, dia, terus memotret. Blur, bergerak dinamis dalam komposisi indah, termanis mesin autofokus. 

Lintasan warna memuja komposisi, memberi arti sebuah peristiwa dalam bingkai visual beragam rupa. Bermunculan tank-tank baja, pesawat tempur supersonik, rudal-rudal terbang kian kemari simpang siur. Teriakan komando tempur membahana di angkasa.

Sekelebat seperti mengenal sosok dikenalnya, entah dimana. Terus berkelebatan wajah-wajah pernah dikenalnya. Dentuman dahsyat melemparkan dirinya jauh terpental-pental. Entah siapa, ada, senantiasa melindungi dirinya. Tanpa ampun, dia, terus menembakkan kameranya.

"Selamat dini hari, Tuan."

Dia, kembali membalikkan badan seperti semula, spontan menjawab. "Ini pagi hari, Bapak." Merasa, pasti benar.

"Coba Tuan, menengok ke kiri."

"Wow! Panorama hiper-realis. Hutan tropis nan indah hampir mirip milik negeri saya, hutan terindah di dunia. Tapi lihatlah, Bapak. Sangat berbeda dengan hutan tropis, milik negeri saya. Hutan ini, semarak meradang illegal logging, environmental deforestation. Oh! My Lord, truly beautiful." 

"Lihatlah wahai, Bapak. Ini benar-benar monumental, untuk modern natural seni fotografi. Kebakaran hutan terindah, baru pertama kali melihat langsung sepanjang usia saya. Hal tercantik, belum pernah terjadi, di negeri saya nan elok nian, Bapak." Dia, kembali menembakkan kameranya, secara akurat, tepat di ranah keindahan gigantis.

Dia, sungguh-sungguh terkesima dag dig dug, mengagumi momen estetis itu, sembari perlahan-lahan maju selangkah-selangkah, mendekati momen itu. 

"Fantastis ..." 

***

Jakarta Indonesiana, April 12, 2023.

Ikuti tulisan menarik Taufan S. Chandranegara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler