x

Iklan

Bambang Udoyono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 3 Maret 2022

Sabtu, 15 April 2023 21:09 WIB

Berinteraksi Dengan Karya Seni Dan Manfaatnya

Pernahkah Anda melihat sebuah lukisan atau seni kriya tapi tidak memahami maksudnya? Mungkin Anda menyangsikan manfaatnya. Tapi ternyata interaksi dengan karya seni ada juga manfaatnya. Apa manfaatnya? Sila ikuti terus.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Berinteraksi Dengan Karya Seni Dan Manfaatnya

Bambang Udoyono

 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Saya sedang menulis buku ketika telepon genggam saya menerima order untuk memandu city tour di kota Jakarta pada tanggal 28 Mei 2018.  Saya mendapat informasi bahwa tamunya bakal menginap di Hotel FM di dekat bandara.  Program city tour Jakarta ini sebenarnya sudah tidak asing lagi buat saya tapi ada beberapa tempat yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya seperti Museum Art 1 dan rumah makan Tugu Paleis di Menteng. 

 

Pada hari H saya berangkat pagi pagi sekali.  Sesudah subuh saya langsung memesan Gojek menuju ke terminal Kayu ringin.  Jam 6.00 pagi bus Damri berangkat dari sana dan di luar dugaan saya, jam 7.00 pagi saya sudah sampai di hotel Amaris di dekat bandara.  Saya harus turun di sana karena bus Damri tidak melewati hotel FM.  Jadi dari depan hotel Amaris saya naik gojek lagi sampai ke hotel FM.  Jam 7.15 saya sudah sampai di hotel tersebut.  Terlalu pagi sebenarnya karena tour dimulai jam 9.00. Tapi tidak masalah, saya bisa mengisi waktu luang dengan memotret hotel itu untuk saya unggah di Google map lalu membuat reviewnya. 

 

Sekitar jam 8.00 ada dua orang bule yang keluar dari restaurant dan duduk di lobby.  Saya kira mereka tamu saya lalu saya sapa. Ternyata dugaan saya meleset.  Jam 9.00 lewat sedikit ada dua orang masuk ke lobby.  Salah satunya perempuan bule yang agak tua dengan anak laki lakinya yang tampangnya tidak terlalu bule, kulitnya agak mirip orang Asia. Awalnya saya agak ragu tapi setelah bertegur sapa ternyata mereka adalah tamu saya.  Mereka orang Belanda jadi saya berbicara dalam bahasa Inggris.

 

Tour dimulai dengan kunjungan ke Kota Tua.  Di dalam mobil segera terjalin obrolan akrab dengan ibu dan anak.  Mereka ramah sekali sehingga obrolan dengan mudah mengalir lancar jaya. Si anak laki laki yang bernama Ruben adalah seorang manajer sebuah perusahaan travel di Bangkok sedangkan ibunya, namanya Nada, adalah seorang seniwati. Dia menguasai seni lukis dan seni kriya, terutama keramik. Namun pekerjaan utamanya adalah mengelola sebuah hotel kecil di daerah Bourdeau di Perancis selatan.   Di sana dia memiliki sebuah rumah tua dari abad ke 18 yang disewakan kepada tamu tamu.  Ketika sedang penuh tamu dari kota besar seperti Paris maka dia tidur di rumah mobilnya. Dia memiliki sebuah rumah mobil yaitu kendaraan yang berbentuk seperti bus yang dilengkapi dengan kamar mandi, kamar makan , tempat tidur dan lain lain.

 

Pagi itu Kota Tua sudah padat dengan pengunjung yang kebanyakan para pelajar dari Jakarta dan sekitarnya.  Seperti bisa paparan saya tentang kawasan itu diinterupsi oleh mereka yang ingin berfoto dengan tamu saya. Maklumlah kebanyakan orang Indonesia masih heran melihat orang bule.  Hapir semua mata menatap tamu saya dengan ekspresi yang menunjukkan keheranan.  Di dalam museum Fatahillah suhu udara terasa panas meskipun tidak tersengat matahari langsung.  Beruntung tamu saya menyukai Asia dengan suhu panasnya.  Sekitar satu jam kami di sana.  Setelah itu perjalanan dilanjutkan ke museum Art 1.  Saya belum pernah ke sana sebelumnya.  Untunglah di jaman now ini sudah ada mbah Gugel yang memudahkan saya mencari informasi dan lokasinya. Kami menuju ke sana dengan dipandu oleh peta mbah Gugel.  Sopirnya juga cukup mahir memakai paduan peta mbah Gugel.  Meskipun harus mencari lokasi kami sampai juga di museum tersebut dengan lancar jaya.

 

Dari depan bangunan museum ini nampak biasa bisa saja.  Tidak ada yang nampak istimewa dari penampilan depannya.  Seorang satpam menyambut dan mengarahkan kami ke lantai dua.  Di sana sudah banyak anak anak muda, mungkin pelajar atau mahasiswa yang agaknya sedang mengikuti sebuah acara diskusi.  Beberapa karya seni kriya menghiasi ruangan penerima tamu.  Ada replika mobil tua yang dibikin bulat seperti bola. Nada berkomentar gagasan ini pastilah meniru gagasan seniman Perancis. Tiket masuk ke museum ini mahal juga dibanding tempat wisata lain di Jakarta.  Setiap orang harus membayar IDR 150 000, kecuali guide.  

 

Seorang pemandu lokal memandu kami naik ke lantai berikutnya.  Ruang pamernya cukup luas dan nyaman.  Udara dan sinar masuk dengan cukup sehingga suhunya nyaman dan karya terlihat dengan baik.  Di sana di pajang berbagai karya seni kontemporer dari beberapa pelukis Indonesia.

 

Ibu Nada sangat antusias menikmati karya karya tersebut. Menurut dia karya para pelukis Indonesia yang dia lihat itu sudah berkualitas sangat baik.  Pemandu lokal hanya memberi informasi ala kadarnya saja tentang karya karya tersebut.  Saya bukan seorang seniman lukis atau kriya sedangkan tamu saya adalah seorang seniman, jadi saya pikir lebih baik memancing pendapatnya tentang karya seni itu.  Lalu saya sampaikan sebuah kalimat pancingan.

 

‘It is hard to understand contemporary art like this’

Seketika muncullah jawaban yang saya kehendaki.  Dia lantas menerangkan dengan panjang lebar.

‘You don’t have to understand these works.  The most important thing is interaction between these art work and you. Now what do you think of this one?’

 

Dia menunjuk sebuah lukisan yang buat saya nampak abstrak tapi indah. Di kanvas itu hanya ada sapuan warna hijau muda di bagian bawahnya dan putih cerah di bagian atasnya. Nampak juga beberapa detil yang tidak jelas bentuknya.  Kesan saya melihat itu adalah perasaan cerah ceria, gembira.  Ini saya sampaikan kepada Nada.  Dia menafsirkannya sebagai sumber air yang membuat segar.  Kemudian kami menatap lagi sebuah lukisan yang tidak kalah anehnya di mata saya.  Bagian bawah lukisan itu hanya ada warna hitam kebiruan (blue black). Warna itu memenuhi kira kira 75% dari bidang kanvas.  Di bagian atas agak kurang gelap tapi ada gambar lingkaran merah gelap.  Agaknya seperti lukisan malam purnama yang suram dan gelap. Saya merasa tidak nyaman melihat lukisan tersebut dan ingin cepat cepat meninggalkannya.  Tapi tamu saya menanyakan kesan saya tentang lukisan itu.

 

‘It is frightening.  It reminds me to a bloody political conflict in Indonesia in 1965.  I was a kid at that time. I did not know what was going on, but I felt something wrong was happening.  My mother told me to go home immediately after school and not to play far from home.  Some years later I realize that there was a conflict that took many lives.’

‘See,  a work of art can reveal a trauma’

‘You are right.  I never saw any violence but I felt it.  I felt the atmophere of conflict.  I felt the anger and the fear among people.’

 

Saya berkata demikian sambil menjauh dari lukisan yang menyeramkan itu.  Memang benar kata dia bahwa ada interaksi antara karya seni dengan kita, dan itulah yang terpenting.  Kita tidak usah repot memahaminya. Kita hanya perlu merasakannya.

 

Setelah itu ada beberapa karya lagi yang membuat Nada dan saya terkesan.  Dan dari semua tempat wisata yang kami kunjungi hari itu, museum Art 1 adalah yang paling berkesan.  Bahkan di sore hari dalam perjalanan kembali ke hotel kami masih membicarakannya. Itulah highlight hari itu.

 

Jadi guiding hari itu berhasil dengan baik.  Bukan karena saya mampu menerangkan dengan baik tentang karya seni di museum tersebut tapi karena saya berhasil memancing tamu mengutarakan gagasan dan perasaanya tentang karya seni tersebut.  Guiding memang bukan lecturing.  Saat guiding peran kita bukan dosen dan tamu bukan murid kita.  Guiding adalah memuaskan tamu kita.  Kadang dengan cara menempatkan dia sebagai guru kita.  Terutama ketika berhadapan dengan seseorang yang lebih tahu daripada kita.  Kemarin itu saya hanya perlu menjelaskan siapa Basuki Abdullah, Sudjojono, dll.  Tapi saya tidak perlu mengajari tentang substansi lukisan mereka karena dia lebih mampu menjelaskan dengan mantap.  Dengan demikian dia puas dan kita mendapat wawasan baru.

 

Saya yakin interaksi seperti itu bisa terjadi dengan semua cabang seni, tidak hanya seni lukis saja.  Itulah sebabnya seni bisa dijadikan sebagai media katarsis.  Sesuai kata Pablo Picasso, pelukis top dari Spanyol.  “Art washes away from soul the dirt of everyday life”   Seni bisa membersihkan jiwa kotoran dari kehidupa sehari hari.

 

      

Ikuti tulisan menarik Bambang Udoyono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 hari lalu

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB