x

Iklan

Riandy Kadwi

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 30 Juli 2022

Rabu, 3 Mei 2023 07:40 WIB

Lampu Senter Nenek Bulan

Bagi sang nenek bulan adalah sosok sahabat sejati sesungguhnya. Satu-satunya pendengar yang baik. Menemani ketika sedih, tanpa takut diadili. Sering pula menjadi penunjuk jalan yang gelap.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Sepulang memakamkan sang nenek, Bulan minta pada orang tuanya untuk menginap di rumah neneknya hingga tahlilan malam terakhir, yaitu selama tiga hari. Dalam hati ia masih belum merelakan kepergian beliau. Bulan kehilangan sosok sahabat yang paling ia sayangi.

Tiap kali menginap di rumah nenek, Bulan selalu memilih tidur di kamar neneknya. “Kamar nenek sejuk sekali”, ungkap Bulan tiap kali masuk kamar sang nenek.

Suatu malam, Bulan terbangun sebab kamar masih terang benderang. Diduga karena lampu masih menyala.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Air matanya langsung menetes ketika sadar nenek tak disebelahnya. Tiap kali terjaga di tengah malam Bulan biasanya mendapati sang nenek tertidur di kursi goyang dengan jarum rajut tersangkut di tangannya. Kerap kali terjadi ketika sedang menginap. Pemandangan itu kini hanya menjadi potongan kecil dalam ingatan Bulan.

“Dari mana asal cahaya ini?” Bulan berbisik keheranan, padahal lampu sudah dipadamkan.

Asal cahaya bukan dari jendela. Tapi dari lampu senter yang terletak di laci sebelah kursi goyang sang nenek. Bulan yang penasaran kemudian mengambil senter itu.

“Indah sekali.” bisiknya lagi terkagum. Langit malam seolah pindah ke langit-langit kamar.

Diam-diam lampu senter neneknya dibawa pulang. Bisa menemani kalau sedang susah tidur, pikir Bulan.

Dua minggu lebih Bulan belum bisa melepas bayangan sang nenek. Dari SD hingga SMA ia tinggal bersama sang nenek. Hampir seumur hidup Bulan dihabiskan bersama beliau. Bisa dimaklumi ia berduka begitu lama karena sosok penting dalam hidupnya telah tiada.

Bulan sangat merindukannya sampai-sampai menderita insomnia. Di temaram langit-langit kamar terbayang wajah sang nenek sedang tersenyum. Malam ini pun rasi bintang, yang dipancarkan senter, juga membentuk wajah beliau. Sebelumnya syarat mutlak agar tertidur pulas, kamar harus dalam keadaan gelap gulita. Kini ia baru bisa tidur setelah memandangi cahaya lampu senter itu.

“Aku baru bisa mimpi indah kalau lampu menyala, Bu.” alasan Bulan ketika ibunya menyuruh mematikan lampu kamar sebelum tidur.

Matanya sudah lima watt. Tiba-tiba ia teringat cerita kenapa neneknya memberi nama Bulan. Menurut beliau, sinarnya tak pernah memaksa manusia untuk terus terjaga. Malah menjaga jiwa-jiwa yang lelah agar lekas terlelap.

Bagi sang nenek bulan adalah sosok sahabat sejati sesungguhnya. Satu-satunya pendengar yang baik. Menemani ketika sedih, tanpa takut diadili. Sering pula menjadi penunjuk jalan yang gelap.

“Nenek ingin kamu seperti bulan, bisa menerangi sekelilingmu yang sedang sedih, sendiri, dan kesepian,” Bulan anteng mendengarkan, “bulan sangat sederhana namun menginspirasi.” pesan sang nenek mengakhiri sejarah singkat pemberian namanya.

Selesai tahlil empat puluh hari kepulangan sang nenek, Bulan masih terlihat lesu. Ia memutuskan tambah hari menginap lagi dan tidur di kamar beliau seperti biasa.

“Sepertinya baterainya sudah mau habis.” ucap Bulan lalu melempar senternya ke kasur.  Cahaya senter meredup. Tak seperti malam biasanya yang dihiasi kelap-kelip bintang. 

Bulan membanting badannya, menyekap wajahnya dengan bantal, menangis seketika sejadi-jadinya. Duka kehilangan sang nenek menyulut kemarahan Bulan. Di bawah bantal ia menjerit menuntut Tuhan. Ia pun rela bertukar nyawa dengan sang nenek bila itu yang Tuhan inginkan.

Angin pelan-pelan masuk lewat jendela yang lupa ditutup. Berkeliling menyejukkan kamar sekaligus menenangkan hati Bulan. Angin kemudian berkumpul membentuk serupa tangan lalu mengusap kepalanya. Lembut sekali. Persis yang neneknya lakukan sebelum tidur.

“Jangan sedih, Nak.” sayup-sayup terdengar sang nenek berbisik. “Nenek akan tetap bersamamu tiap malam. Dan kini ditemani kembaranmu, Sang Bulan.” belum sempat mengintip siapa yang berbisik, ia sudah terlelap.

Keesokan malamnya Bulan tak bersedih lagi. Ia sangat yakin kemarin adalah suara neneknya. Kali ini jendela tak pernah ditutup, agar bisa melihat bulan dengan jelas. Ketika udara sedang dingin jendela terpaksa ditutup, tetapi gorden tetap terbuka.

Lampu senter neneknya sudah tak lagi menyala. Cahayanya sudah kembali ke pangkuan pemilik aslinya, Sang Nenek Bulan.

Ikuti tulisan menarik Riandy Kadwi lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

1 hari lalu