x

Gambar oleh Mila Oktasafitri dari Pixabay.com

Iklan

Em Fardhan

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 9 November 2021

Kamis, 4 Mei 2023 12:50 WIB

Lelaki Miskin yang Kaya

Sebuah cerpen hikmah.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

            Mata pemuda berperawakan kekar itu terus mengawasi sesosok lelaki tua itu dengan sorot tajam tanpa beringsut sedikitpun, seolah mata seekor elang yang tengah membidik mangsanya. Ia menerka pasti ada sesuatu berharga darinya yang itu bisa ia ambil dan ia gunakan untuk melanjutkan perjalanan.

 

Setelah kiranya suasana cukup aman, ia pun merangsek ke arah lelaki tua yang sejak tadi ia ikuti. Tanpa basa-basi lagi ia langsung menghadang tepat di depan lelaki tua itu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

"Orang tua, apapun yang kau miliki serahkanlah, kalau kau masih sayang dengan nyawamu!" bentak pemuda itu sembari menodongkan pisau belati tepat di dada sang lelaki tua.

 

Entah kenapa lelaki tua itu tidak takut atau terperanjat sebagaimana orang yang mestinya takut jika dihadapkan dengan posisi demikian. Ia malah menyunggingkan senyum santai seakan manusia penodong belati di depannya adalah seorang badut belaka.

 

Melihat bentakannya tak mempan. Pemuda itu mengarahkan pisau itu ke arah lehernya sembari membentak dan mengancam dengan porsi dua kali lipat.

 

Namun, tampaknya orang tua itu buta atau tuli, nyalinya seperti tak ciut sedikitpun.

 

Tentu saja pemuda itu merasa direndahkan. Apalagi oleh orang tua yang nampak ringkih dan lemah.

 

Namun, sebenarnya, diam-diam ada rasa penasaran yang menelusup di hatinya sekaligus kagum atas ketenangan sikap lelaki tua itu.

 

"Aku tidak punya apa-apa, Anak muda. Hanya pakaian dan sedikit bekal makanan dan minuman. Tampaknya kau salah sasaran," ujar Pak Tua mememecah keheningan sekaligus menyadarkan pemuda kekar itu dari rasa kagumnya.

 

"Jangan bohong! Cepat serahkan. Jangan sampai pisau ini menembus lehermu baru kau mengaku?" bentaknya lagi. Kali ini ia mencoba menekan pisau ke arah leher lebih dalam, sehingga perlahan darah merembes dari leher pak tua itu.

 

Aneh, pak tua tetap saja tenang seolah tak terjadi apapun atasnya.

 

Ia kembali bersuara, "Jika yang kau inginkan barang berharga aku jelas tidak punya, tapi kalau kau meminta sesuatu yang lebih berharga daripada itu, barangkali aku bisa menunjukkanya padamu."

 

Sesuatu yang lebih berharga daripada barang berharga? Apa itu? Bagaimana mungkin ia bisa menunjukkan hal yang lebih berharga, sedangkan barang berharga saja ia tak punya? Tidak masuk akal, batin pemuda itu.

 

Namun, rasa penasaran terus mengusiknya. Pikirnya, membunuh pak tua pun tidak ada untungnya. Jika ia mau merampas, tak perlu membunuh atau memaksa, tinggal rampas selesai, secara tenaga pasti ia lebih kuat. Jadi ia berikan kesempatan pak tua itu untuk mengoceh.

 

Perlahan pisau ia tarik dari leher si kakek, "Cepat katakan apa sesuatu yang berharga itu!" tanya pemuda tanpa menunggu lebih lama lagi.

 

Kakek mengusap leher yang merembes darah segar. Ia hanya mengusap perlahan dan tetap tersenyum tenang.

 

"Anak muda. Jangan hanya karena kegagalan dan kemiskinan membuatmu berputus asa atas rahmat Tuhan. Kau itu sangat kaya, kenapa kau tak menyadarinya?" ujar Pak Tua itu dengan nada wibawa, seolah angin disekitar pun bisa tunduk atas perkataannya.

 

"Cukup orang tua! Jangan berfilsafat di depanku. Cepat katakan apa sesuatu yang berharga itu? Dan apa maksudnya aku itu kaya? Sedangkan kau tahu sendiri, aku tidak punya pekerjaan, tidak punya harta, sebab itu istriku pergi, keluarga menjauhiku, semua orang mencampakkan aku. Jadi, kaya apa yang kau maksud? Cepat jelaskan! Kalau jawabanmu tidak memuaskanku, akan aku gorok lehermu sekarang juga!"

 

"He-he-he-he, sabar, Anak muda," bukannya takut malah orang tua itu terkekeh, "Anak muda. Bukankah kau punya tangan yang kokoh? Kaki yang kuat? Telinga yang utuh? Mata yang normal? Bukankah itu semua kekayaanmu?"

 

Pemuda tak menyangka akan dijawab seperti itu. Makin penasaran lah ia. 

 

Orang tua melanjutkan, "Kalau misalkan satu matamu saja dibeli orang dengan harga 100 keping emas, apakah kau mau memberinya?"

 

Lelaki itu diam. Tampaknya ada yang mulai direnungkannya.

 

"Kalau satu tanganmu saja dibeli dengan 200 keping emas, apakah kau mau memberinya? Atau misalkan hidungmu dibungkam 1 jam menit dan diberi 300 keping emas kau mau memberikan? Jangan lupa anak muda, itu semua kekayaanmu. Coba hitung sudah berapa keping emas nilai dari tubuhmu itu? Namun, jika kau mau, aku punya kenalan orang kaya, yang tidak akan menolak jika aku minta ia untuk membeli anggota tubuhmu itu," orang tua itu terus saja berkata, nadanya lembut tapi sangat tepat menusuk.

 

Lelaki muda tercekat, ia ingin bersuara tapi terkunci di tenggorokan. 

 

Ia terduduk lesu, kemudian entah kenapa ia mulai menangis. Sesenggukan. Mungkin ia mulai paham apa yang dimaksud dengan lelaki tua itu. Keadaannya sekarang tak ubahnya seorang anak kecil yang merengek karena tak dibelian permen oleh ibunya, berbeda sekali dengan saat pertama ia bertemu dengan lelaki tua itu.

 

Pak tua paham atas kondisinya, ia memberikan waktu sejenak. Perlahan ia mendekati dan berjongkok di samping pemuda itu, "Sebenarnya untuk apa kau merampas harta orang lain?"

 

"Aku hanya ingin menemui seseorang. Jauh di negeri seberang. Aku sudah lelah dengan kemiskinan ini. Banyak orang yang bilang orang itu bisa memecahkan masalahku. Bisa memberikan aku kekayaan sampai aku mati. Aku merampas hanya sekadar untuk bekal perjalanan untuk mencari orang itu."

 

Pak tua kali ini terkekeh pelan kemudian berujar, "Aku hanya punya bekal makanan dan minuman saja. Kau boleh ambil untuk bekal perjalanan. Oh, iya, Kalau boleh tahu siapa orang yang kau cari? Aku telah mengembara ke sana ke mari, barangkali aku bisa membantumu menemukannya?

 

Pemuda menyebutkan sebuah nama. Masih dengan nada lemah tak berdaya.

 

Sedikit terkejut lelaki tua itu, mendengar jawaban sang pemuda. Namun, kemudian ia tersenyum lagi.

 

"Kau tak usah mencarinya lagi, Anak muda," ujar pak tua sembari menepuk pelan pundak lelaki muda itu.

 

Pemuda itu menoleh, "Apa maksudmu, Pak Tua?"

 

"Kau sedang berhadapan dengannya."

 

End.

 

 

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Em Fardhan lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler