x

Digital Photography by Tasch 2023

Iklan

Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 23 Juni 2022

Sabtu, 6 Mei 2023 22:08 WIB

Full Color

Cerpen Full Color. Cerita mencari terang di antara gelap. Adakah terang itu hadir, atau gelap melupakan kebaikan di dalam kebenaran hakikat. Seperti anda berkedip, di depan telepon seluler barangkali, pesan datang silih berganti. Salam kasih sayang saudaraku.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Warna tak berbanding kosmos jiwa. Kekejaman seperti memasak balado teri pedas. Tak lengkap kalau sekaligus tak memakannya. Cinta, biangkeladi kerumunan menyemut. Tak ada pilihan. "Water Cannon!" Blam! Tak ada pilihan sebelum korban jatuh lebih banyak. Peluru karet beterbangan. Pilihan sulit keselamatan meski mata nanar ancaman hak asasi manusia mengintip kesempatan.

Berjibaku menyelamatkan siapapun bisa diselamatkan. Tembang mati sunyi bertiup seruling mistis pencabut nyawa. Tak mampu lagi bianglala senja memilih benar atau salah. Keselamatan, kemanusiaan, apapun caranya, bersegera. Evakuasi, sirene memanggil siapapun untuk penyelamatan. Entah ini bencana atau bukan, tak penting lagi. Hanya ada satu komitmen, keselamatan publik menjadi jalan utama.

Petugas keamanan, senantiasa dihadapkan pada situasi sulit ketika kekacauan massal meledak marah. Evakuasi cepat pilihan utama, meski korban akibat peristiwa itu berjatuhan. Himne gugur bunga mengangkasa. Doa keselamatan dalam diri untuk sesama berkumandang di benak semesta jiwa. Gaib alam raya meretas atmosfer, kata nurani otomatis menjaring jiwa-jiwa terpilih sebagaimana kehendak-Nya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Badai kekacauan mereda perlahan-lahan, dingin membeku meggusur degradasi moral. Waktu perubahan tiba semena-mena. Ya Alkhalik, memohon ampunan-Mu. 

**

Tak satupun mengerti ketika itu. Peradaban memilih kisahnya. Katastrofe, memalingkan wajah pada arah mata angin berbeda, pada sisi lain benua, entah di ruang waktu mana akan tampil kembali, menggelar kekejaman. Teror, kepandiran manipulatif 'kan melindas siapapun, tanpa kecuali. Kemanusiaan tak mampu bergeming, sekalipun protes tak mampu lagi berkoar-koar.   

Lidah mati mulut terkatup pada wajah-wajah simpang siur. Apa, siapa mereka, belum dapat dipastikan. Apakah, akibat virus kekacauan, dugaan, investigasi berjalan, orang-orang seperti berpikir lamban. Tubuh tak bertulang otak hilang, keracunan tekno impian mereka sendiri, hitungan analog tak mampu lagi dilakukan, bergatung pada digit kapital tekno asosiatif. Ancaman kepandiran, mungkin bakal menjadi pandemi daur ulang.

Benarkah. Kalau hal itu terjadi kemana melangkah, belum bisa dipastikan. Celaka betul, kendali diri tak boleh masuk ranah irasional. Peran logika tak boleh berjalan sendiri tanpa kontrol kepekaan intuisi. Apa jadinya makhluk hidup sekalas manusia? Apakah bakal jadi zombie, makhluk fosil, monster bakal menyerang siapapun. Tak bisa dibiarkan. Kemana upaya pikiran mencari akal sehat.

Tak boleh tinggal diam, tapi kepada siapa mencari hal ihwal. Teman, sahabat, orang terdekat kemana mereka, seperti sirna ditelan bumi. Gedung-gedung pencakar langit dingin, raksasa kemodernan membeku, momok zaman siap menerkam siapapun. Bisa berubah menjadi makhluk logam terminator. Derap langkahnya menginjak-injak apapun. Ya Alkhalik ... Apakah ini kehancuran sebagaimana, Engkau, janjikan?

Belumkan. Bukan peristiwa ini kan? Bukan dalam bentuk sesederhana ini kan? Juruselamat akhir dunia belum muncul, sebagaimana tertulis di dalam kitab-kitab suci-Mu. Peristiwa ini bukan pula sebuah permulaan kan? Benarkah? Atau ini sebuah permulaan dari kehancuran peradaban. Belumkan? Bukankan? Bukan lewat peristiwa kekacauan sederhana ini kan? Iyakan? 

Oke. Engkau, belum mau menjawab, sekarang. Tapi, nantikan? Baiklah, karena manusia makhluk alpa nomor wahid, kadang-kadang kencing di WC umumpun malas menyiram, tapi, terkadang melawan lupa, memberi nasihat. Oh, sampai dengan zet. Maaf, Tuhanku teramat mulia, hamba tidak berani menertawakan mereka atau siapapun, karena hambapun demikian, bahkan mungkin hamba lebih buruk dari mereka.

**

Pepohonan rindang berhasil meredakan hawa panas akibat peristiwa kekacauan itu. "Katastrofe! Kenapa!" Beranimu sembunyi di balik lipatan kuasa usaha adendum kepalsuan surgawi buatanmu, neraka kambing hitam. Akalmu tak lebih sejangkal otakmu, kita, sama sebangun, tak berbada. Manusia pandir, senantiasa membuat kekacauan dimanapun, di dalam diri ataupun di luar diri, slogan manis kemanusiaan. Ganteng dilihat belum tentu keren di dalam.

Murka ataupun tidak, di sebaliknya ataupun di sebaliknya lagi, sama saja. Makhluk manusia, mencoba meniru hukum keseimbangan milik-Mu. Takkan pernah berhasil, sekalipun sedikit saja. Kesempurnaan milik-Mu, valid. Tak satupun mampu menirunya sekalipun tertulis dalam kitab undang-undang buatan peradaban manusia, peraturan kemaslahatan manusia. Tetap saja, peniruan kesempurnaan-Mu, takkan pernah paripurna.

Rudal-rudal canggih ditembakkan, terbang kian-kemari. Orasi di podium-podium dunia dikumandangkan, pada suatu perhelatan temu bangsa-bangsa, aklamasi aksioma membangun peradaban kebenaran kepura-puraan untung-rugi menuju publik dunia, salah benar kembali pada dasar kuasa usaha perhitungan nilai digit matematis. Siapa diuntungkan, siapa dirugikan, opini asumsi membentuk relatif kebudayaan besar.

Gaung orasi dari podium itu merambah dunia "Ini zamannya milenial generasi zet." Apakah akan menjadi alpa pada diagnosa logika log-analog telah, membuat sel-sel otak manusia sejak era kepurbaan pintar berpikir cepat, mencipta sistem alat-alat manual hingga komputer-isme. Percepatan dari si kembar sains eksak-noneksak hukum-hukum Ilahi, bersumber di semesta-Nya, ada, di dalam otak manusia. Cerdas, cermat, berdasarkan pada kesadaran hakikat sains ke-imanan-Nya.

"Izumihitori, aku mencarimu kemanapun," suara adem itu mengejutkan lamunannya.

"Zakariah, kau selamat," suara lembut, asyik merdu seterang hatinya. "Dimana Mariahsiti. Zakariah? Aku belum menemukannya," ada keharuan di suara itu. "Aku, khawatir pasukan imperium menemukannya, menangkapnya," suara penuh rasa cinta itu serupa mata air berjuta gerimis.

"Maafkanlah hamba kekasihku," merasa kepandiran menyelimuti dirinya, mungkin ia lalai.

 "Zakariah, kita tak bisa tinggal diam. Ayolah! Apapun risikonya kita harus mencarinya, sayang. Kita tahu, dia, Mariahsiti sedang ..." saling berpeluk bahu, masing-masing mendengar gemuruh kasih di hatinya.

Pepohonan, huma-huma, tetumbuhan semak ilalang, mengalun mazmur desir angin. Memberi petunjuk kemana arah mata angin menuju, mencari Mariahsiti. Gelegar petir pertanda keajaiban itu berada. Badai puting beliung di kejauhan memberi tanda-tanda. 

Kepada Zakariah "Ayo! Kita bergerak ke arah penanda itu ..." Keyakinannya menebal.

"Izumihitori, kau yakin?"

"Zakariah, kekasihku ... "

Ragu, terucap pada kekasihnya "Perjalanan bakal sulit, korban dari katastrofe bergelimpangan, sampah tekno, gedung-gedung pencakar langit akan menyesatkan kita, Izumihitori. Kau yakin?"

"Kau tidak sedang mengujiku kan?" Izumihitori, meyakinkan dirinya sekaligus kepada Zakariah.

"Samasekali tidak, sayang." Zakariah, lembut, tegas.

"Zakariah, tatap aku. Bacalah seluruh isi hatiku. Kalau ada penyimpangan, katakanlah sejujurnya, kekasih."

"Tidak. Kau baik-baik saja," kelembutan kasih sayang menuju terang, mungkin.

***

Jakarta Indonesiana, Mei 05, 2023.

Ikuti tulisan menarik Taufan S. Chandranegara lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler