x

NH Dini. Wikipedia

Iklan

Naya Nurlaila Khoirunnisa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 15 Mei 2023

Senin, 15 Mei 2023 16:31 WIB

Representatif Watak Pendidik dalam Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini

Lingkungan keluarga menjadi faktor utama keberhasilan pendidikan pada anak, tetapi novel ini berbanding terbalik dari pernyataan tersebut. Warsito murid yang sangat sukar, menyebabkan ia tidak disukai guru dan teman kelasnya. Kesukaran ini menjadi timbul rasa empati guru yang bernama Bu Suci untuk mencari tau faktor dibelakanganya. Tentunya, Bu Suci dengan kepribadiannya sebagai guru ini mempertahankan Warsito agar tetap sekolah dan mencoba membimbingnya agar kembali menjadi anak pada umumnya.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

   Nurhayati Srihardini atau kerap dikenal Nh. Dini merupakan sastrawan perempuan yang lahir dari Semarang, Jawa Tengah ini telah banyak melahirkan karya-karyanya pada masa angkatan 50-an. Ia menikah dengan Yves Coffin seorang diplomat Prancis yang memberikan pengalaman Nh. Dini untuk memperkaya pengetahuannya, sehingga karya-karya Nh. Dini lebih banyak yang berlatar kehidupan di Jepang, Eropa, dan Amerika.

Ketekunan Nh. Dini dalam menulis ini memuai hasil karyanya yang sempat dimuat dalam majalah Budaya dan Gadjah Mada di Yogyakarta pada tahun 1952, majalah Mimbar Indonesia, dan lembar kebudayaan Siasat. Nh. Dini telah menghasilkan karyanya kurang lebih 16 karya novel, puisi, dan cerpen serta terdapat pula karyanya cerita rakyat dan novel terjemahan.
   

Nh. Dini mengalamai masa dimana perempuan masih dalam penindasan patriarki bahkan perempuan tidak boleh menulis. Hal inilah menjadi motivasi Nh. Dini untuk terus melahirkan karya-karyanya untuk menyuarakan hak perempuan pada masanya. Tak heran, karya-karya Nh. Dini juga banyak yang membahas tentang perempuan di masanya. Salah satunya pada novelnya yang berjudul Pertemuan Dua Hati terbit tahun 1986 dengan tebal 85 halaman ini menyajikan gambar dan kata-kata yang memikat pembaca. Cover novel ini terlihat bahwa adanya kasih sayang ibu kepada anaknya dengan didominasi warna hijau. Lantas inilah yang menjadi isu pembahasan menarik tentang kesabaran seorang guru yang digambarkan oleh tokoh utama Bu Suci. 
    Menjadi seorang guru bukanlah hal yang mudah, lantaran kesabaran dan ketekunannya dalam mengajari peserta didik ini membutuhkan tenaga dan hati yang kuat. Seorang pendidik sudah seharusnya memiliki rasa kemanusiaan yang tumbuh seiring berjalan waktu dalam proses pembelajaran berlangsung.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Digambarkan pada tokoh Bu Suci yang memiliki murid bernama Warsito memiliki watak yang bertentangan dan tidak pernah menuruti perintah guru ketia proses belajar-mengajar. Tentu menjadi guru yang memiliki murid seperti ini sangat menguras tenaga, bahka Warsito hampir dikeluarkan dari sekolah karena guru-gurunya sudah tidak sanggung mengajarinya.

Akan tetapi, hal ini berbanding terbalik dengan Bu Suci yang mempertahankan Warsito untuk terus belajar dan merubah dirinya menjadi murid pada umumnya. Meskipun permasalahan di sekolah yang kian hari terus memuncak dan merugikan murid lain, menjadi penasaran Bu Suci untuk mengulik faktor-faktor yang memengaruhi kepribadiannya.  “ ... Tarikan waskito sedemikian besar bagiku, karena jauh dilubuk hati, aku menyadari bahwa aku harus menolong anak itu. Demi menyelamatkan seorang calon anggota  masyarakat, tetapi barangkali juga demi kepuasan pribadiku. (Pertemuan Dua Hati, 1986 :46).”

    Dari kutipan di atas yang menunjukkan bahwa Warsito murid yang kenakalannya di luar nalar, sehingga tak ada guru yang sanggup mengajar di kelasnya. Namun, kenakalan inilah menyadari Bu Suci untuk menolong Warsito. Sikap empati Bu Suci terhadap Warsito untuk mengembalikan kepribadian Warsito sedemikian rupa yang diinginkan gurunya, akan menjadi kepuasan tersendiri untuk Bu Suci karena telah menjalani tugasnya sebagai guru yang tak hanya mengajari saja, akan tetapi juga membimbing peserta didik. Bu Suci menyadari bahwasannya tingkah laku Warsito ini penyebab dari ia yang tidak mendapatkan perhatian dari keluarganya, sehingga Warsito memiliki hati penuh kemarahannya yang tidak dapat dikendalikan. 

    Ketidakpedulian keluarga Warsito menjadi pengaruh yang besar terhadap tingkah laku dan pendidikan seorang anak. Warsito menjadi anak yang tidak mau dikekang karena biasanya ia tidak mendapatkan perhatian dari orang tuanya. Pengaruh lingkungan keluarga Warsito juga menyebabkan ia nakal dan suka berbuat onar di kelasnya, kurangnya kasih sayang orang tuanya, lantas membuat Warsito sangat memberontak. Melalui cerita latar belakang Waristo yang dibicarakan oleh neneknya menjadi jendela baru untuk Bu Suci mengambil alih selanjutnya. Bu Suci sangat yakin bahwa Warsito akan menjadi siswa pada umumnya yang tidak membuat kerusuhan di kelasnya. 

“Raport berikutnya berisi angka-angka normal. Untuk menghadiahi usaha kerasnya yang berhasil meraih tempat sebagai murid “biasa”, pada waktu libur waskito kami bawa menengok kota kecil kami Purwodadi. Dia diajak suamiku memancing sepuas-puas hatinya. Dan aku tidak menyesal memenuhi janjiku terlalu dini, karena sekembali dari liburan, kuperhatikan dia semakin berobah. Seolaholah dia bertekad menjadi murid yang lebih dari biasa saja. Untuk seterusnya dia selalu tedaftar kedalam baris anakanak yang pandai di kelasku.(Pertemuan Dua Hati, 1986 : 85).”

    Kutipan di atas menunjukkan kesabaran Bu Suci ini membimbing Warsito dan memberikan perhatian kepada Warsito agar ia dapat sedikit merubah dirinya untuk menjadi lebih baik lagi. Warsito mendapat lingkungan yang baik dari keluarga Bu Suci. Kesabaran Bu Suci ini dalam membimbing Warsito membuahkan hasil yang baik. Pengaruh lingkungan yang baik ini memengaruhi sikap anak yang lambat laun akan merubah dirinya, lantaran kesabaran dan ketabahan Bu Suci dalam mendidik Warsito menjadi faktor berubahnya sikap Warsito yang menjadi anak baik dan rajin mengerjakan tugas, sehingga ia mendapatkan nilai yang bagus. 
“Berbicara mengenai tugas,” aku cepat menyela, karena terlalu bersenang hati mendapatkan kesempatan mengutarakan isi hatiku mengenai pendidikan. “ saya kira tugas kita juga termasuk menolong murid-murid sukar. Selama hampir tiga bulan, ya hampir tiga bulan sekarang saya bertanggung jawab akan kelas dan murid ini, saya mulai mengnal dan mengerti dia. Barangkali dia juga demikian terhadap saya. Tetapi kami berdua masih memerlukan waktu lagi.” Aku menoleh kearah kepala sekolah. Nada suara kubuat benar-benar rendah hati: “satu bulan, Pak! Saya mohon diberi satu bulan lagi!” (Pertemuan Dua Hati, 1986 : 69).”
    Kutipan ini membuktikan bahwa Bu Suci mendapatkan kesempatan untuk mengutarakan isi hatinya mengenai pendidikan yang sedang ia geluti. Dengan kesabaran Bu Suci menjadi guru ingin membantu murid-muridnya yang sukar. Kepribadian guru yang dicontohkan Bu Suci ini patut dicontoh guru-guru yang ada di Indonesia untuk menjadi guru bukanlah hanya memenuhi kewajiban mengajari ilmu saja, tetapi membimbing dan memberikan perhatian juga menjadi tugas tambahan seorang guru dalam mencerdaskan murid-muridnya. Melalui tokoh Bu Suci pula yang tiada henti menasehati, membimbing, dan memberikan perhatian penuh kepada Warsito patut menjadi tauladan pendidik untuk terus memberikan stimulus yang positif kepada siswa-siswanya tanpa mengenal karakter siswa-siswanya yang berbeda-beda. 
"Menurut pendapatku, anak normal, mulai dari umur delapan tahun sudah mampu menentukan pilihan. Ya, seharusnyalah Waskito ditanya memilih tinggal bersama siapa. Oleh karena perlakuan yang dianggapnya kejam itu, dia langsung menunjukkan reaksi pembrontakannya. Dia kembali menjadi anak dan murid sukar, bahkan melebihi diwaktu-waktu yang telah lalu. Tidak hanya memberontak terhadap lingkungan orang tuanya, sekolah beserta kawan dan gurunya, tetapi kini dia juga membenci kakek dan neneknya. Barangkali dia mengira pasangan lanjut usia itu tidak dapat melindunginya dari perebutan, di mana tanpa pikiran. Dan pastilah anak itu semakin merasa sepi. Dia menganggap kakek dan neneknya telah menghianatinya. (Pertemuan Dua Hati, 1986 : 44)."
   Melalui kutipan di atas juga bisa dilihat bentuk kesabaran dan ketekunan Bu Suci yang memahami perasaan yang dirasakan Warstito. Kepribadian yang dimiliki Bu Suci menjadi guru adalah contoh yang dapat dijadikan tolak pikir seorang guru ketika timbul rasa tak ingin mengajar murid dengan permasalahannya masing-masing. 

Daftar Pustaka
Admin Bahasa Banten. 2022. Nh. Dini. Diakses pada 19 Mei 2023, dari https://badanbahasa.kemdikbud.go.id/tokoh-detail/3336/nh.-dini.
Intan Purnama Giawa, Maria, Agustinus Duha, dan Sridelli Dakhi. Analisis Perwatakan Tokoh dalam Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini. Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Vol. 2, No. 2, 2022. 
Hadiyanti, Wahida. Kepribadian Tokoh Bu Suci dan Warsito dalam Novel Pertemuan Dua Hati Karya Nh. Dini Perspektif Behaviorisme Teori B.F Skinner. Skripsi. (Mataram: Universitas Mataram, 2016). 
Srihardini, Nurhayati. Pertemuan Dua Hati. (Jakarta: PT. Penerbit Gramedia, 1986). 

Ikuti tulisan menarik Naya Nurlaila Khoirunnisa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB

Terkini

Terpopuler

Puisi Kematian

Oleh: sucahyo adi swasono

Sabtu, 13 April 2024 06:31 WIB