Industri Ekstraktif dan Kolonial Belanda : Sama-Sama Tukang Adu Domba?

Selasa, 23 Mei 2023 05:31 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Pertambangan
Iklan

Artikel ini membahas pentingnya mengatasi taktik mengadu domba yang sering digunakan oleh perusahaan industri ekstraktif untuk mencapai hubungan yang harmonis antara perusahaan dan masyarakat yang terkena dampak. Dalam dunia industri ekstraktif, terdapat banyak contoh di mana perusahaan menggunakan strategi manipulatif yang bertujuan untuk memecah persatuan masyarakat dan mengurangi resistensi terhadap operasi mereka.

Industri ekstraktif, seperti pertambangan, perkebunan, dan industri minyak dan gas, telah memainkan peran penting dalam pembangunan ekonomi dan pertumbuhan di banyak negara di seluruh dunia. Namun, seringkali keberadaan industri ini juga menyebabkan konflik dan ketegangan antara perusahaan ekstraktif dan masyarakat yang terkena dampak kegiatan mereka.

Industri ekstraktif melibatkan eksploitasi sumber daya alam yang berlimpah, seperti logam, mineral, hutan, dan lahan pertanian. Kegiatan ekstraksi ini sering kali berdampak langsung pada lingkungan dan komunitas sekitarnya. Ketika perusahaan ekstraktif memasuki daerah yang dihuni oleh masyarakat lokal, konflik dapat timbul karena adanya persaingan atas sumber daya, perubahan sosial dan budaya, kerusakan lingkungan, serta ketidaksetaraan ekonomi.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Ilustrasi kegiatan pertambangan.

 

Masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi industri ekstraktif seringkali menjadi kelompok yang paling rentan terhadap dampak negatif kegiatan tersebut. Masyarakat adat, petani kecil, dan komunitas lokal sering menghadapi kerugian ekonomi, hilangnya akses terhadap sumber daya alam, pengusiran, dan perubahan sosial yang merusak kehidupan mereka.

 

Konflik antara perusahaan industri ekstraktif dan masyarakat sering kali melibatkan perbedaan kepentingan, kekuasaan yang tidak seimbang, dan perasaan ketidakadilan. Masyarakat sering merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka, sementara perusahaan berfokus pada keuntungan ekonomi dan memperoleh izin dan lisensi yang dibutuhkan untuk beroperasi.

 

Pasti kita sering mendengar konflik antar industri ekstraktif dengan masyarakat seperti di Wadas, Batang, Sangihe, Kalimantan Timur, Jambi, Riau, atau cukup terkenal adalah Sidoarjo dengan lumpur lapindo nya dan masih banyak lainnya tersebar di seluruh Indonesia. Konflik ini bahkan  melibatkan kekerasan aparatur negara seperti TNI dan Polri yang mana mendukung kegiatan industri ekstraktif agar terus bisa beroperasi. Kesenjangan antara kebijakan pemerintah dengan ilmu pengetahuan yang cukup lebar membuat seringkali masyarakat tidak puas dengan diberlakukannya kebijakan tersebut. Laporan dari Koalisi Bersihkan Indonesia menyebutkan bahwa masih banyak lokasi industri ekstraktif yang beroperasi di daerah rawan bencana banjir, longsor, kekeringan, bahkan gempa bumi. Data ini menunjukan bahwa pemberian izin pertambangan yang tidak memperhitungkan karakteristik sosial, kultural, ekologi, iklim, dan geologis Indonesia.

 

 

Hal inilah yang memicu gelombang penolakan yang terus-menerus dari masyarakat sekitar yang terdampak. Namun sangat disayangkan, bukannya mendengarkan aspirasi mereka dengan cermat, justru Negara selalu melakukan tindakan represif untuk meredam perlawanan masyarakat.

Masyarakat bahkan diadu domba satu sama lain, antara yang pro dan kontra terhadap Industri Ekstraktif tersebut. Aparatur bersenjata juga tidak jarang dilibatkan sebagai "penjagal" demonstrasi masyarakat.

 

Contoh Kasus adu domba masyakarat yang Terjadi di Indonesia

Kita ambil contoh kecil saja pada yang terjadi Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. PT Hati Prima Agro (HPA) yaitu sebuah perkebunan yang mana Mahkamah Agung telah menetapkan bahwa area lahan mereka "Ilegal" karena masuk kawasan hutan dan juga bupati Kotawaringin Timur tidak memperpanjang dan mencabut izin lokasi perkebunan perusahaan tersebut. Bukannya pergi, perusahaan tersebut tetap bertahan disana dengan brutal dengan menyewa anggota TNI dan menempatkan perwira TNI sebagai kepala keamanan internal perusahaan HPA.

Perusahaan ini mengadu domba masyarakat dengan membentuk koperasi-koperasi bayangan yang seolah-olah seperti mitra kerja perkebunan HPA namun sebenarnya adalah kaki-tangan perusahaan. Koperasi-koperasi ini diisi oleh beberapa warga setempat yang telah disuap oleh HPA untuk melawan warga yang menuntut untuk HPA menghentikan operasionalnya di kawasan hutan.

 

 

Saat mediasi pun, warga yang terlibat koperasi ini tidak takut untuk mencekik, memukul, bahkan sampai menyemprotkan gas air mata yang entah mereka dapat darimana. Herman Bintih, selaku Ketua Dewan Adat Dayak pernah mengalami penyerangan ini saat sedang melakukan mediasi. Kepolisian pun yang harusnya melindungi masyarakat dari penganiayaan ini tidak melakukan tindakan apapun serta tidak memproses lebih lanjut banyaknya pelanggaran hukum yang terjadi.

 

Contoh lainnya ada di Kabupaten Seram Bagian Timur, Maluku. Timbulnya konflik antara PT Balam Energi Ltd dengan masyarakat adat tidak di mediasi dengan baik oleh pemerintah dan aparat setempat. Bahkan kesannya membiarkan PT Balam Energi Ltd ini mengadu domba masyarakat dalam hal klaim kepemilikan tanah yang sangat carut marut.

Industri ekstraktif yang harusnya membawa kesejahteraan malah membawa malapetaka bagi masyarakat setempat dan kerusakan lingkungan, disebabkan buruknya penegakan hukum terhadap perusahaan nakal yang terus mengakali batasan aturan agar mendapatkan keuntungan yang besar sepihak saja.

Agaknya tidak terlalu berlebihan jika kita menyebut bahwa Industri ekstraktif di Indonesia ini semacam dengan penjajahan era baru. Hampir sama dengan apa yang dilakukan Belanda, Portugis, Perancis, dan Inggris ratusan tahun lalu pada bangsa kita. Ironisnya kini, perusahaan-perusaan industri ekstraktif lah yang menjajah masyarakat daerah, dan pemerintah mendukung hal tersebut.

 

Taktik "Devide Et Impera"

Perusahaan industri ekstraktif ini pun menggunakan taktik yang sama seperti para penjajah yaitu "Adu Domba" atau dalam bahasa Belanda disebut "Divide et Impera" yang berarti memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil dan membiarkan mereka bertarung satu sama lain.

Dampak dari taktik mengadu domba ini sangat merugikan masyarakat yang terkena dampak kegiatan industri ekstraktif. Taktik ini dapat memperparah konflik dan ketegangan di dalam masyarakat, menghancurkan persatuan, serta menghambat kemajuan dan pembangunan berkelanjutan. Selain itu, taktik ini juga dapat mengurangi ruang bagi partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.

Untuk mengatasi taktik mengadu domba perusahaan industri ekstraktif, penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang strategi manipulatif yang digunakan oleh perusahaan. Penguatan kapasitas masyarakat dalam pemahaman tentang isu-isu ekstraktif dan kepentingan mereka sendiri akan memungkinkan mereka untuk melawan taktik ini. Selain itu, perlindungan hukum yang kuat, transparansi dalam operasi perusahaan, serta partisipasi aktif dan terlibatnya masyarakat dalam pengambilan keputusan dapat membantu mengurangi pengaruh taktik mengadu domba perusahaan.

 

Upaya Mengatasi Taktik Adu Domba Industri Ekstraktif

Industri ekstraktif seringkali beroperasi dalam konteks yang kompleks, dengan dampak yang signifikan terhadap masyarakat yang terkena dampak. Di dalam lingkungan ini, perusahaan sering menggunakan taktik manipulatif untuk mempengaruhi persepsi dan sikap masyarakat terhadap kegiatan mereka. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk memahami taktik-taktik ini agar dapat melawan dan melindungi kepentingan mereka.

Salah satu langkah penting dalam penguatan kapasitas masyarakat adalah meningkatkan kesadaran akan taktik manipulatif yang sering digunakan oleh perusahaan. Masyarakat perlu memahami bahwa perusahaan tidak selalu beroperasi dengan transparansi dan kejujuran. Mereka harus belajar mengenali taktik-taktik seperti pembiayaan kelompok atau individu yang pro-perusahaan, memanfaatkan perbedaan budaya atau agama, serta menyebarkan informasi yang tidak akurat. Dengan memahami taktik-taktik ini, masyarakat akan lebih siap untuk menghadapi upaya manipulatif perusahaan dan melawan pengaruh negatifnya.

Selain peningkatan kesadaran, pendidikan dan pelatihan juga menjadi kunci dalam penguatan kapasitas masyarakat. Melalui edukasi yang tepat, masyarakat dapat memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang taktik manipulatif yang digunakan oleh perusahaan. Pelatihan ini dapat mencakup pengenalan konsep-konsep seperti propaganda, manipulasi media, strategi komunikasi perusahaan, dan pengetahuan hukum terkait industri ekstraktif. Dengan memahami taktik ini, masyarakat akan lebih siap untuk menghadapi upaya manipulatif perusahaan dan melawan pengaruh negatifnya.

Selanjutnya, pengembangan keterampilan juga penting dalam penguatan kapasitas masyarakat. Masyarakat perlu mengembangkan keterampilan negosiasi, komunikasi efektif, analisis informasi, serta kemampuan memahami isu-isu lingkungan dan sosial. Dengan mengembangkan keterampilan ini, masyarakat dapat berperan aktif dalam menghadapi perusahaan dengan argumen dan bukti yang kuat. Masyarakat yang terlatih akan mampu memberikan kontribusi yang lebih efektif dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.

Kolaborasi dan pembentukan jaringan juga merupakan faktor kunci dalam penguatan kapasitas masyarakat. Dengan bergabung dengan kelompok masyarakat yang memiliki kepentingan serupa, masyarakat dapat berbagi pengalaman, strategi, dan pengetahuan untuk melawan taktik manipulatif. Jaringan ini juga memungkinkan masyarakat untuk memiliki suara yang lebih kuat dalam membela hak-hak mereka dan memperkuat posisi tawar mereka dalam berinteraksi dengan perusahaan.

Terakhir, penting bagi masyarakat untuk memiliki akses yang mudah dan terjamin terhadap informasi independen mengenai industri ekstraktif. Informasi yang tidak memihak dan objektif dapat membantu masyarakat dalam memahami isu-isu yang terkait dengan perusahaan ekstraktif dan taktik manipulatif yang digunakan. Dengan memiliki akses terhadap informasi yang lengkap, masyarakat dapat membuat keputusan yang lebih baik dan dapat melawan taktik manipulatif yang digunakan oleh perusahaan.

Secara keseluruhan, penguatan kapasitas masyarakat dalam pemahaman tentang taktik manipulatif perusahaan merupakan langkah penting dalam melindungi kepentingan masyarakat yang terkena dampak industri ekstraktif. Dengan meningkatkan kesadaran, pendidikan, pengembangan keterampilan, kolaborasi, dan akses terhadap informasi independen, masyarakat dapat menjadi subjek yang lebih kuat dan terampil dalam melawan taktik manipulatif perusahaan.

Kolaborasi yang Membangun Hubungan Sehat antara Masyarakat, Pemerintah, dan Perusahaan

Penguatan kapasitas masyarakat dalam memahami taktik manipulatif perusahaan adalah langkah awal yang penting dalam melawan konflik. Dengan meningkatkan kesadaran, pendidikan, pengembangan keterampilan, kolaborasi, dan akses terhadap informasi independen, masyarakat dapat menjadi subjek yang lebih kuat dan terampil dalam melawan taktik manipulatif perusahaan.

Namun, upaya kolaboratif harus melibatkan perusahaan juga. Perusahaan harus menerima tanggung jawabnya untuk bertindak secara bertanggung jawab terhadap masyarakat yang terkena dampak. Ini mencakup pembagian informasi yang transparan, dialog terbuka, dan keterlibatan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Dalam kolaborasi, kedua belah pihak harus bersedia mendengarkan, memahami perspektif masing-masing, dan mencari solusi yang saling menguntungkan.

Dengan melakukan tindakan kolaboratif, perusahaan dan masyarakat dapat membangun hubungan yang sehat dan saling menguntungkan. Ini akan menciptakan ruang bagi pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan, perlindungan hak asasi manusia, dan keadilan sosial. Melalui kerja sama yang kuat, perusahaan dan masyarakat dapat mencapai tujuan bersama dalam menciptakan lingkungan yang lebih baik dan kesejahteraan bagi semua pihak yang terlibat.

 
Referensi :
1. Rights and Resources Initiative. (2017). Who Owns the World’s Land? A Global Baseline of Formally Recognized Indigenous and Community Land Rights. Rights and Resources Initiative.
2. SaveourBorneo.org (2014). PT HPA/Bumitama Gunajaya Agro Adu Domba Warga. Infomedia. https://saveourborneo.org/pt-hpa-bumitama-gunajaya-agro-adu-domba-warga/
3. Pradipta Pandu (2021). Industri Ekstraktif Masih Dibangun di Kawasan Rawan Bencana. Kompas. https://www.kompas.id/baca/ilmu-pengetahuan-teknologi/2021/04/27/industri-ekstraktif-masih-dibangun-di-kawasan-rawan-bencana
4.  Redaksi Parade.id (2021). Kelrey Menyoroti Permasalahan Masyarakat Dusun Bati Kelusi dengan Perusahaan. https://parade.id/kelrey-menyoroti-permasalahan-masyarakat-dusun-bati-kelusi-dengan-perusahaan/
5. Stiglitz, J. E. (2015). The Great Divide: Unequal Societies and What We Can Do About Them. W.W. Norton & Company.
 

 

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Fahran Wahyudi

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler