x

Iklan

Miftachul Arifin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 24 Mei 2023

Selasa, 30 Mei 2023 14:56 WIB

Hak Milik di Perut Bumi

Topik: Air dan Pangan Kehidupan vs Industri Ekstraktif

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Bumi, khususnya alam akan senantiasa baik-baik saja, sampai manusia mulai melangkahkan kaki memasuki zona serakah. Perkara konfrontasi hak hidup antara manusia dengan alam telah berlangsung bahkan sejak puluhan tahun sebelum masehi. Tidak mungkin lepas dan mengabaikan perbuatan manusia dalam sejarah siklus alam hingga kini. Ketika manusia perlahan menemukan sumber daya berikut cara-cara pengolahannya, kemudian menggunakan pernyataan “menjadikan hidup manusia lebih baik” untuk membenarkan setiap perbuatan manusia terhadap alam.

Apabila menengok agak ke belakang dalam tahun-tahun pandemi Covid-19 saja, muncul sebuah film dokumenter menyoroti perubahan ekstrem lingkungan saat sepi dari aktivitas manusia. The Year Earth Changed (2021) karya Tom Beard. Hanya dari satu sorotan itu saja sudah menyediakan banyak sekali informasi ihwal efek berantai aktivitas manusia terhadap lingkungan. Satu pekan jalanan sepi sudah mampu memberi dampak signifikan. Kian lama dampak tersebut meluas seiring protokol pembatasan aktivitas publik memasuki pekan-pekan berikutnya. Banyak pihak kemudian bersaksi pula dalam dokumenter tersebut mengenai perubahan atas terpinggirkannya manusia untuk sementara, sehingga memberi kesempatan alam dapat “bernapas”. Kendati “hanya sementara”, karena kini manusia kembali sibuk melukai alam –lagi.

Tanpa bermaksud mengabaikan duka bersama atas gelombang musibah global pada waktu itu, sepinya pusat-pusat keramaian dari hiruk-pikuk kesibukan sepihak manusia merupakan kabar bahagia untuk alam. Khususnya teman-teman hewan, dan itu fakta di banyak tempat di berbagai negara di sepenjuru dunia. Film dokumenter tersebut hanya satu contoh, karena masih banyak bentuk-bentuk kerakusan dan keserakahan lainnya yang secara sadar –tetapi diabaikan—terus manusia pertahankan, dengan berlindung di balik alasan “hidup yang lebih baik”.

Nasib Teman-Teman Hewan

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Salah satu pihak pada garda terdepan penerima dampak paling awal atas kerusakan lingkungan adalah kehidupan para hewan. Terutama para pencari makanan di lautan luas. Kawanan penguin kesulitan mendapatkan ikan-ikan dan paus-paus sukar berkomunikasi. Berapa banyak burung yang kudu rela terbang lebih jauh dan pulang lebih larut, hanya demi mencari waktu aman untuk memberi makan anak-anak mereka. Gajah-gajah pun kian tersingkir dari tanah kelahiran sendiri. Orang utan di Kalimantan tidak mungkin bersengketa dengan penanam sawit di meja hijau. Para penduduk asli pulau besar Papua tidak tahu bahasa manusia untuk mendemo penambang. Gugusan raksasa terumbu karang di lautan pasifik, The Great Barrier Reef, kehabisan cara memberi peringatan bahaya dan berujung pasrah menerima pengikisan dari hari ke hari.

Bumi ini punya lebih dari satu habitat dan ekosistem, tetapi hanya dari salah satunya saja telah menunjukkan “kehebatan” manusia sebagai pengganggu, perusak, dan penghancur, alih-alih pemelihara. Lautan adalah penyelamat terbesar bagi kelangsungan hidup manusia atas jasa-jasa tak terhitungnya terhadap ozon dan oksigen. Rasa-rasanya tidak perlu menyertakan sumber informasi dalam bentuk apa pun dan dari media mana pun, untuk ke sekian kalinya mengabarkan ihwal perilaku buruk manusia terhadap teman-teman hewan. Setelah manusia beralih dari mengosongkan kepala-kepala paus hanya demi mengeruk minyak, mereka mengebor bumi dan melepaskan gas-gas berbahaya. Sama saja. Usai kemampuan pembakaran dan penyediaan energi dari batu bara ditemukan, setiap jengkal tanah dilubangi. Pundi-pundi nominal uang memang mengalir deras, tetapi sekaligus mengalirkan racun dan penyakit.

Manusia diciptakan ke Bumi memang untuk menjaga, merawat, dan memelihara. Namun, di antara mereka lahir pula manusia dengan hasrat berlebih untuk menjadi penguasa. Penguasa atas tanah yang diakui sebagai miliknya, tanpa pernah mau menyadari segalanya hanya titipan. Penguasa yang memonopoli setiap jengkal sumber daya untuk memperkaya diri sendiri beserta keluarga dan kerabat dalam bisnis mereka. Teman-teman hewan kita hanya alat baginya. Mereka tak ubahnya spesies hidup dari lain dunia. Bagi manusia rakus dan serakah, hewan merupakan salah satu bagian dari komoditas belaka. Cari saja setiap rilisan dokumenter tentang semua kejahatan manusia terhadap teman-teman hewan, dan satu halaman penuh hasil pencarian akan memperlihatkan semuanya.

Sesama Manusia, Dianggap Bukan Manusia

Seakan pihak paling berhak dalam menentukan jalan terbaik bagaimana alam seharusnya adalah manusia pada level elit. Saudara sendiri dengan tingkatan otoritas lemah karena faktor ekonomi dan strata sosial dipandang sebagai bukan manusia. Apa pun bentuk perusakan terhadap lingkungan dengan dalih pembangunan infrastruktur maupun percepatan kemajuan ekonomi, pada akhirnya sekadar kolam bermain untuk para pemilik kuasa. Oligarki dan kroni-kroni sebutan akrab mereka. Berdemo membawa lembaran panjang berisi rincian tuntutan pun nyaris tidak berguna. Semacam bersenggolan di tempat umum dan seolah cukup diselesaikan dengan kata maaf.

Petani, nelayan kecil, tukang kebun, dan peternak sederhana di desa menerima luka-luka paling besar kedua setelah para hewan dan tumbuhan. Mari merenung bersama dan mengingat kembali cukup tiga tahun ke belakang saja. Tidak perlu sampai lima tahun atau lebih. Sudah ada berapa banyak kabar mengenai alih fungsi lahan berkedok pembangunan untuk kepentingan “bersama” yang melahirkan duka kepada para kepala keluarga. Korban nyawa dengan anggapan cukup “dibereskan” lewat lembaran angka. Tidak akan pernah ada kerugian yang bisa setimpal dibayar oleh ganti rugi maupun ganti untung. Kerugian mereka tetaplah kerugian.

Upaya Konservasi Bukti Maaf dari Manusia

Adanya seabrek upaya konservasi beragam spesies hewan dan tumbuhan di berbagai belahan dunia membuktikan bahwa manusia telah semena-mena terhadap alam. Tidak mungkin ada asap, kalau tidak ada api atau sumber panas. Sampai ada berbagai upaya konservasi kiwari, berarti manusia telah melakukan banyak kesalahan terhadap hewan dan tumbuhan. Sampai ada peraturan khusus untuk melindungi alam liar yang disebut sebagai Taman Nasional dan Suaka Margasatwa, artinya tidak punya kesadaran diri dalam menjaga alam bersama tanpa otoritas hukum. Bukankah hanya dari fakta ini saja sudah menjadi logika sederhana dan bukti nyata? Betapa kerakusan dan keserakahan manusia bahkan sanggup menelan nurani dan akal sehat sendiri, hingga butuh sesama manusia pula untuk memperbaiki dampak dari perbuatan mereka.

Satu per satu konservasi atau penangkaran lahir sebagai permohonan maaf dari manusia atas segala kejahatan sesamanya. Penyu, orang utan, gajah, badak, harimau, rangkong, siamang, anoa, dan masih banyak lagi. Kerja bagus, terima kasih, dan tetap teruskan. Namun, kekecewaan dan kepedihan atas sejarah panjang kekejaman manusia terhadap alam tidak akan begitu saja terhapuskan. Tentu tidak mungkin lupa dengan spesies-spesies yang sudah kadung punah, bukan? Harimau Jawa satu dari sekian banyak.

Kendati demikian, menolak pembangunan juga agak sukar. Kepadatan penduduk pun bertambah. Jadi tempat tinggal baru diperlukan. Hanya saja, cara-cara manusia dalam mempercepat prosesnya amat jahat. Sulit pula untuk mencari padanan kata untuk mengistilahkan perbuatan buruk mereka melalui satu kata. Bahkan bila teman-teman hewan kita memahami bahasa manusia, mereka pasti akan sangat marah dengan alasan “kebutuhan” dan “demi hidup lebih baik”. Seakan Bumi tercipta hanya untuk ditinggali sekaligus memuaskan keinginan manusia. Seolah alam adalah milik manusia, dan para hewan beserta tumbuhan sebagai benda sekali pakai yang hidup dan mati mereka ada di tangan manusia.

Ikuti tulisan menarik Miftachul Arifin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu

Terpopuler

Elaborasi

Oleh: Taufan S. Chandranegara

4 hari lalu