x

Iklan

Fauji Yamin

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 29 Agustus 2019

Selasa, 30 Mei 2023 14:30 WIB

Pala dan Uang Sekolah

Pagi itu, ketika mentari belum merekah sempurna, Tua Yamin sudah mengasah parang, membenarkan gate-gate; alat pengait buah pala dari besi payung yang dibengkokan, dan memerintahkan istrinya, Janiah menyiapkan bekal makan siang. ia ingin memanen pala untuk sekolah anaknya. Lalu apakah hasil panen mencukupi?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Tua Yamin sedang gelisah memikirkan bayaran sekolah empat anaknya. Hasil panen kelapa yang dibuat Kopra kemarin telah ludes membayar hutang di pedagang perantara da membeli keperluan ekonomi rumah tangga. Harapan satu-satunya hanya buah pala. 

Pagi itu, ketika mentari belum merekah sempurna, Tua Yamin sudah mengasah parang, membenarkan gate-gate; alat pengait buah pala dari besi payung yang dibengkokan, dan memerintahkan istrinya, Janiah menyiapkan bekal makan siang.

Satu anaknya, Faisal turut serta diajak ke kebun. Ia sedang libur semester dan pulang ke kampung membantu ayahnya mencari tambahan rupiah untuk membayar uang semester. Meski ia masuk mahasiswa kategori Miskin namun UKT yang harus dibayarkan terlampau cukup tinggi. satu juta lima ratus  rupiah.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Parang terasah. Tua Yamin melenggang kedepan rumah. Sembari menunggu istrinya menyiapkan makanan, ia bercengkrama dengan penduduk desa. Di desa saya, Mateketen Kabupaten Halmahera Selatan, pagi adalah bagian yang tak terpisahkan dalam interaksi sosial. Masyarakat biasa menghabiskan waktu ngobrol sebelum matahari benar-benar pecah dan mereka melakukan aktivitas masing-masing.

" Kemana hari ini," Tanya salah satu warga.

" Mau ke kebun Jauh" Ujar Tua Yamin.

" Oh kebun milik Pak Adam ya," sahutnya lagi

" Iya." Jawab Tua Yamin singkat.

" Saya liat buah palanya sudah banyak tua. Kemarin saja anak-anak melakukan pengumpulan buah yang jatuh dapat banyak,"

" Iya saya dengar juga begitu. Makanya hari ini mau ditengok sekalian di petik," sahut Tua Yamin.

" Memang pala di kebun itu luar biasa. Tuannya punya tangan yang bagus sehingga rejeki pada buahnya tak tanggung-tanggung,".

" Yah, saya yang jaga saja ngos-ngosan kalau panen di kebun itu. Seminggu tak cukup buat memanen semua pohon pala. Meski hanya dua puluh pohon, tetapi dalam satu pohon kadang bikin pegal," keluh Tua Yamin.

Di dapur, Mak Janiah mendengarkan orbrolan itu samar-samar. Ia tetap fokus menanak nasi di tungku perapian. Jika apinya besar, ia keluarkan beberapa kayu agar volume api kecil. Di samping menjaga api, ia menggoreng ikan dan mengeluk sambal kepala ikan julung. Dabu-dabu mentah tak lupa ia siapkan.

Makanan tersebut, di masukan kedalam rantang makanan, kemudian menyiapkan air minum ke dalam botol.

" Kasih tau Papamu, makanan sudah siap,". Ujar Mak Janiah kepada Faisal yang kemudian berlari memberitahukan Tua Yamin yang masih mengobrol.

*

Kedua ayah dan anak ini kemudian bergegas mengenakan pakaian dinas; pakaian bekas yang sering dipakai ke kebun. Membawa tiga pengait buah pala, makanan dan air.

Perjalanan ke kebun jauh ditempuh hampir satu jam berjalan kaki. Di sini, jalan tani masih sangat pendek. belum menjangkau semua wilayah kebun.

" Pah.., bagaimana ceritanya kebun pala Om Adnan ini Papa jaga," Faisal mengajukan pertanyaan penasaran.

Sepanjang jalan, anak tertua ini terus melemparkan pertanyaan kepada papa-nya.

" Om Adnan itu masih satu keluarga dengan kita. Mereka sekarang hidup di dataran Halmahera. sehingga tidak ada yang menjaga kebun. Dan Papa di suruh menjaga dengan sistem bagi hasil," Jelas Tua Yamin.

" Bukankah Om Adnan juga punya keluarga di sini?"

" Iya punya. Tapi Papa juga tidak tau kenapa beliau menyerahkan tanggung jawab kebun pala tersebut kepadaku,"

Faisal terdiam. Ia memang tau, praktek menjaga kebun milik warga yang tak tinggal di Desa sudah lama dilakukan. Tentu dengan sistem bagi hasil 50-50 atau 60-50 persen. Bagi yang menjaga, selain mengurus kebun sendiri, mereka juga wajib megurus kebun milik orang yang dijaga; membersihkan, menjaga dari pencurian, hingga memanen. Sudah aturan tak tertulis.

" Papa tidak capek apa jaga banyak kebun. Punya kita saja hampir tak terurus,"

" Ical, kalau dibilang capek ya capek. Tapi papa lakukan ini lantaran kalian masih sekolah. Kebun kita belum menghasilkan apa-apa. Apa yang diharapkan dari umur pala yang belum genap 10 tahun? di panen pun tak akan sampai menutupi semua biaya studi kalian. Kebun yang kita jaga ini meski dibagi dua tapi cukup membantu membayar uang sekolah kalian. Kau tau sendiri kan berapa ratus kilo sekali panen?"

" Tau Pah....,"

" Papa akan berhenti menjaga kebun orang jika dua diantara kalian sudah selesai sarjana. Maka cepat-cepatlah selesaikan studimu, jika kamu kasihan padaku. Sudah semester berapa kamu sekarang,"

" 10 Pah," jawab Ical ragu-ragu.

" Astagafirullah, mau jadi rektor kamu?" jawab Tua Yamin sambil ketawa.

Di kebun, kedua orang ini lantas memeriksa setiap pohon yang ada di kebun tersebut. Dan setelah di cek, masing-masing memutuskan memanjat satu pohon yang memiliki buah lebat.

Ical sendiri sebelum memanjat sudah kadung berkeluh melihat lebatnya buah di setiap pohon. Apalagi papanya menyuruh agar ia memanjat pohon dengan buah paling lebat.

*

Bunyi hantaman buah pala yang jatuh mengenai batang pohon pala dan berakhir di tanah terus terdengar di tengah hutan yang jauh dari kampung. Sesekali beberapa petani mampir dan berbincang-bincang sebelum melanjutkan aktivitas.

Beberapa kali keduanya istirahat untuk sekedar meneguk air dan makan siang seadanya yang dibawah dari rumah. Kemudian melanjutkan aktivitas hingga di rasa harus dihentikan meskipun belum terpetik semua. Sebab, jika dilanjutkan maka proses pembelahan daging buah pala bakal ditunda esok hari. Efisiensi terkikis.

Setelah turun, keduanya lantas mengumpulkan satu persatu buah yang berserakan tersebut menjadi satu tempat. Sebuah pekerjaan yang bagi saya sendiri sangat membosankan serta melelahkan. Betapa tidak, ribuan buah yang terkait dan berserakan kemana-mana harus diambil satu persatu, dimasukan karung lalu dibawa ke tempat pembelahan. Paling ribet ketika buah terhempas hingga ke jurang dan semak-semak.

Buah yang sudah terkumpul kemudian dibelah satu persatu. dagingnya dibuang dan bijinya dimasukan karung. Sekali lagi satu persatu. pembelahan sendiri menggunakan parang, baik ujung maupun bagian mana saja dari parang. Sesuai dengan teknik dan kebiasaan. Parang ditempelkan ke daging buah pala yang di genggam pada satu tangan (kiri atau kanan) lalu ditekan dan di miringkan hingga terpisah. Begitu seterusnya hingga biji buah pala terakhir.

Hari itu kedua orang ini hanya berhasil memanen dua pohon, sementara 18 pohon lainnya bakal dilanjutkan esok hari dan seterusnya.

Dua karung beras berukuran 50 kilogram terisi penuh. Keduanya lalu pulang sore hari, dan sampai kerumah saat adzan magrib berkumandang.

Biji buah pala kemudian diletakan didalam baskom besar kemudian direndam dengan air asin. Metode ini digunakan untuk memisahkan biji pala dengan fuli pala. Rendaman tersebut dilakukan sejam dua jam.

Proses pemisahan fuli pala dilakukan bersama-sama. Baik Tua Yamin, Mak Janiah, Faisal dan dua adiknya. Tiga baskom besar dihabiskan dalam waktu satu jam setengah. Esok paginya, biji pala dan Fuli pala dijemur dibawah terik mentari. Hingga benar-benar kering.

Tua Yamin dan Faisal terus melakukan aktivitas yang sama selama seminggu. Ke kebun, memananen pala, mengumpulkan, pulang, memisahkan biji pala dan fulu dan menjemur.

Setelah satu minggu lebih, semua pohon pala telah di panen, dan buah pala yang kering mulai ditumbuk guna membuka cangkak. Proses ini dilakukan sangat hati-hati agar biji pala tidak hancur karena berpengaruh langsung dengan harga jual yang di terima. Sebab jika hancur, pembeli biasanya menurunkan harga dengan drastist.

*

" Berapa perkilo Yamin," Tanya Mak Janiah.

" Biji Pala plong atau botak 67 ribu sementara yang hancur 50 ribu," Ujar Tua Yamin.

" Harga pala kok tidak naik-naik ya. Sudah berapa bulan ini harga itu terus," kesal Mak Janiah.

" Ya mau bagaimana lagi," Jawab Tua Yamin.

" Terus Fuli pala berapa?sambung Mak Janiah

" Fuli masih 120 perkilo" terang Tua Yamin

"Syukurlah masih sedikit mahal" ujar Mak Janiah.

Hasil penjualan buah pala Tua Yamin berkisar 10 juta rupiah. Namun karena memiliki hutang di pedagang, terpaksa harus dipotong satu setengah juta rupiah. Kebiasaan warga desa dalam ikatan transaksi yang demikian seperti tidak pernah hilang.

Warga desa biasanya berhutang terlebih dahulu ke pedagang seperti hutang beras, hingga biaya sekolah yang kemudian dibayar ketika menjual hasil panen. Atau langsung di potong pedagang. Ini adalah satu-satunya cara memutar ekonomi, hanya di warung pedagang mereka mendapatkan modal. Sebab tak ada lembaga keuangan seperti bank dan koperasi di desa.

" Hasil 8 juta 500. Pemilik kebun 5 juta dan punya kita 3 juta 500 ratus," Ujar Tua Yamin ke Mak Janiah.

" Berarti bisa bayar biaya sekolah Faisal dan adiknya di kampus dulu. Sisanya cari lagi untuk membayar dua biaya sekolah anak kita "

" Oke. Mana Faisal,?" tanya Tua Yamin.

Faisal nonggol dan duduk dihadapan kedua orang tuanya.

" Nih... Rak Rektor.  Tiga juta bayar biaya semester kalian berdua. Dan Lima ratusnya buat bayar kosan," jelas Tua Yamin.

Faisal menyeringai, "Buat ngopi-ngopi di cafe tidak ada?"

"Cafe-cafe palamu,"

Faisal lari keluar dengan terkikik. (Sukur dofu-dofu)

 

 

 

 

Ikuti tulisan menarik Fauji Yamin lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Terpopuler