Benar, sepia bukan ungu muda.
Bukan kangen sekadar mengharu biru.
Barangkali seperti senja terlihat
dari balik bayangan pohon bidara.
Seperti kalau melirik, terlihat
coklat muda syahdu di sudut mata itu.
Meski bukan kenangan barisan bukit
ingin menyampaikan pesan ...
Seperti sajak merangkai gemintang.
Berbinar mata itu tertampak bersendu.
Persemaian kasih sepasang kupu-kupu
di atas rumpun ilalang pagi.
Gemerlapan embun terbias sinaran,
hal tak mungkin terlupa oleh apapun.
Bukan pula senyuman datang lantas
pergi menyisir pantai kesejukan.
Bukan pula kesendirian atau bersama,
sebab keyakinan pada sepia, tak sekadar
warna selewat fajar matahari meninggi
lalu terang memberi warna waktu.
Bukan tak cukup biru langit kasmaran
siang bolong, mega berlarian mengejar
mendung. Gerimis meretas kuncup bunga
untuk sepasang capung esoknya.
Semerbak wangi embun merasuk kalbu
menulis kenangan sepanjang hayat.
Tak jua cukup karena itu, ataupun kalam
kasih memberi warna nirmana ...
Lantas apa sesungguhnya. Kaki langit
inginkan kalau semua warna waktu
telah menjadi miliknya, meregkuhnya,
sekaligus panorama miliknya.
Serenade buluh perindu, soneta
membuai ngarai pegunungan
gemercik sungai-sungai simfoni
pujangga menulis syair sepia.
Wahai juita malam bertabur bintang
bersulih nada, berdendang sunyi
berselingan suara serangga, taklimat
sukma menyampaikan cerita waktu.
Bercengkerama di setiap musim berganti
tak melekang jarak pengembaraan, karena
kangen senantiasa meski sejenak, beragam
kenangan kembali bercerita.
Sepia, letakkan segala hal di pangkuan
biarkan waktu bergulir selepas sejenak.
Lupakan lelah, biarkan tetirah terlepas
kelangit merah marun.
***
Jakarta Indonesiana, Juni 07, 2023.
Ikuti tulisan menarik Taufan S. Chandranegara lainnya di sini.