x

dari pixabay.com

Iklan

jingga narayaa

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 28 Juni 2023

Rabu, 28 Juni 2023 22:56 WIB

Stigma Keperawanan Masih Menjadi Tolok Ukur Moralitas Perempuan

Jika sampai saat ini perempuan baik dan bermoral dinilai dan diukur dari status keperawanannya, bukankah tidak adil?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Ketimpangan dalam menilai virginitas terjadi pada norma sosial di masyarakat. Masyarakat menjadikan patokan bahwa keperawanan merupakan salah satu hal yang harus dan tetap di pertahankan bagi seorang perempuan sebelum melangsungkan pernikahan.

Topik tentang masalah Keperawanan sampai sekarang masih di bahas bahkan sampai menimbulkan perdebatan yang serius. Salah satu contoh nyata dari ketimpangan ini adalah banyak pasangan yang memutuskan untuk membatalkan pernikahan mereka karena permasalahan ini. Misalnya dari pihak perempuan diketahui sudah tidak virgin lagi. Perempuan yang telah kehilangan keperawanannya akan dianggap aib memalukan bahkan diisolasi dari pergaulan masyarakat. Virginitas menjadi mitos yang sangat sakral, seolah-olah jika perempuan tidak perawan habislah seluruh harapan hidupnya (Sitorus & El-Guyanie, 2009).

Ibarat mendapat barang yang bagus dan berkualias, perempuan yang masih perawan dianggap mampu menjaga kehormatannya karena identik dengan image perempuan baik-baik. Perbincangan tentang hal keperawanan akan terus dibahas di negeri yang masih terikat dengan budaya patriarki seperti di Indonesia ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Faktor utama yang akan menjadikan perempuan bermartabat dan memiliki kehormatan yang tinggi akan dinilai dari status keperawanannya. Masyarakat tidak peduli cerita masa lalu si perempuan itu, bahwa keperawanan hilang, misalnya, karena ia jadi korban pelecehan seksual atau pemerkosaan, kecelakaan dan lain lain. Ukuran bahwa seorang perempuan masih perawan dinilai dari ada tidaknya pendarahan pada saat berhubungan seksual pertama kali. Faktanya, hal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai tolak ukur utama untuk menilai sebuah virginitas.

Hymen (selaput dara) merupakan membran tipis seperti kulit, tidak berambut yang mengelilingi lubang vagina yang dapat dilihat dari orifisum vagina saat vagina terbuka. Hymen memiliki variasi ukuran dan bentuk yang beragam. Dalam artian ini, bisa di katakan setiap perempuan meiliki kapasitas, bentuk dan ukuran selapur dara yang berbeda.

Hymen dapat sering kali hilang atau mengalami perforasi dalam masa kehamilan lima bulan atau sebelum bayi perempuan lahir. Hal itu disebabkan karena hymen merupakan sisa dari pembentukan embrio.

Bahkan, tidak semua perempuan terlahir dengan hymen. Keberadaan hymen secara fisiologi anatomi tidak terlihat fungsinya secara jelas. Terjadinya robekan pada hymen juga tidak menyebabkan gangguan kesehatan. Penyebab robeknya selaput dara bisa bermacam-macam. Tetapi, masyarakat umum hanya mengetahui bahwa selaput dara bisa robek karena telah melakukan hubungan seksual. Padahal, olah raga berlebihan juga bisa membuat selaput dara robek. Pelecehan seksual juga dapat merobek Hymen.

Jika selaput fara sampai sekarang tetap dijadikan sebagai tolak ukur keprawanan perempuan, itu sangat tidak adil. Perempuan menjadi tersubordinasi karena hal ini. Selaput dara bisa sobek karena berbagai hal bukan hanya karena semata-mata melakukan hubungan seksual.

Jika keperawanan seorang perempuan dipertanyakan, bagaimana dengan laki-laki? Sayangnya, penilaian seperti ini tidak berlaku pada seorang laki-laki. Mereka bebas untuk melakukan hal apa saja tanpa khawatir disaat menikah akan dipertanyakan keperjakaannya. Bahkan, meskipun diketahui laki-laki sudah tidak perjaka lagi, hal itu tidak akan diperdebatkan kelak.

Penilian dan pemikiran seperti inilah yang menunjukkan adanya bias gender. Salah satunya adalah masalah keperawanan ini, yang sering kali dinilai sebagai sebuah kehormatan, kesucian, dan martabat yang tinggi sehingga mengharuskan perempuan mau tidak mau untuk menjaga moralnya salah satunya dengan cara menjaga keperawanan. Hal ini yang menjadi deskriminasi terhadap perempuan.

Sebenarnya sah-sah saja untuk menjaga keperawanan. Itu hak asasi dan akan menjadi sebuah pride (kebanggaan) pada setiap individu. Tapi akar permasalahan yang saat ini sedang dibahas yaitu bagaimana konstruksi masyarakat yang menjadikan bahwa sebuah kata "perawan" dan "virgin" menjadi makna tersendiri yang menyebabkan terjadinya subordinasi pada perempuan.

Pada dasarnya, semua perempuan itu mulia dan berharga. Bentuk diskriminasi yang dialami perempuan terkait keperawanan adalah salah satu bentuk dari sistem patriarki. Konstruksi patriarki ini yang membuat laki-laki seolah memiliki hak atas keperawanan perempuan. Seolah harga diri dan kehormatan perempuan hanya terletak pada selaput dara. Padahal, kehormatan dan martabat perempuan tidak bisa hanya dinilai dari vagina. Hal ini sepatutnya tidak menjadikan perempuan sebagai bahan diskriminasi sosial karena menjadi perawan atau tidak adalah pilihan seseorang.

Setiap perempuan yang sudah tidak perawan sehausnya masih mendapatkan haknya dalam masyarakat. Keprawanna merupakan bentuk dan contoh nyata dari ketidakadilan gender di Indonesia. Stereotip perempuan nakal dan tidak baik tidak bahkan dianggap sebuah aib yang memalukan adalah bentuk labeling negatif yang akan di dapatkan jika seorang perempuan gagal menjaga keperawanannya. Di sisi lain hilangnya keperawanan juga tidak hanya karena faktor pergaulan bebas namun ada faktor lain seperti kecelakaan atau pemerkosaan serta pelecehan seksual di masa lalu.

Ikuti tulisan menarik jingga narayaa lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB