(Catatan pagi)
Terlalu indah memakai
warna rompi itu. Ketika kau
masuk ruangan in.te.ro.ga.si.
Senyum tak pantas masih saja
berani, melambai pada publik
peliput berita tentangmu.
Padahal kau baru saja
melanggar sumpah dari isi
kitab suci keyakinanmu,
ketika kau berjanji
untuk mengabdi.
(Catatan siang)
Bentuk pengabdian macam apa
ketika kau berubah jadi si.lu.man
pencuri hak publik, alias
engkaulah sang koruptor.
Tak habis pikir, perilaku
macam musim patah tumbuh
hilang berganti. Masih saja
muncul di arena pengabdian
sebagaimana sumpahmu.
Heran deh.
Apa-an sih isi kepalamu.
Ketika kau bersumpah
mengemban tugas suci
pengabdian itu.
Aneh tapi nyata, atau
nyata tapi aneh. Berani
melanggar sumpahmu.
Kau makhluk si.lu.man atau
si.lu.man berperan manusia,
atau keduanya.
Lalu, atas perbuatanmu
menjadi sang koruptor.
Kamu, tidak malu ya.
Dengan al.ma.ma.ter.mu.
Lembaga itu mendidikmu
dengan baik dan benar.
Menyematkan gelar
kecerdasan kelas wahid.
Seharusnya. Kamu.
Malu dong.
Seyogianya pula, kamu,
menjunjung tinggi komitmen
pengabdian suci, utama, pada
Tuhan Yang Maha Esa,
Almamater, Bangsa dan Negara.
(Catatan Sore)
Menurut sementara waktu
puisi ini terlalu lembut untukmu,
kata waktu sih begitu.
Lantas waktu lain lagi menjawab
dengan amat santai. Kau beruntung
tinggal di negeri keren, pemaaf,
tidak sombong, sekalipun perbuatan
menjadi si.lu.man macam itu
melanggar aturan-aturan
moral sosial.
Ketika bertanya pada sang waktu
di semesta lain. Semua ngakak,
terpingkal-pingkal.
Heran deh.
Kenapa ya.
Lantas, ada suara lagi di kejauhan,
mungkin dari waktu entah dimana.
Katanya, kalau ingin bertanya
soal si.lu.man, sebaiknya bertanya
pada hembusan angin di antara
awan-awan.
(Catatan malam)
Menjawab pertanyaan pers,
perbuatanmu menjadi si.lu.man
semata-mata karena, titik koma,
titik-titik, dalam kurung buka
kurung tutup.
Nah loh.
Ajaib deh!
Sungguh mengherankan.
Juga membingungkan.
***
Jakarta Indonesiana, Juni 30, 2023.
Ikuti tulisan menarik Taufan S. Chandranegara lainnya di sini.