Tanda Tanya

Kamis, 20 Juli 2023 16:23 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content0
img-content
Iklan
Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Lagi sebuah Cerpen Tanda Tanya, panorama imaji mengurai sel-sel otak agar tetap sehat walafiat. Tak ada pembaca tak ada seni susastra cerpen-seni lain-lain. Kalau mau dicatat, sesungguhnya tidak ada senioritas diranah seni dalam arti luas.

Seumpama memandangi sebuah ilustrasi pegunungan berpelangi, imajinasi mungkin 'kan terbawa mengeja tanda baca politk, akan tetapi bukan mengeja politisasi pelangi alami, asli, tak ada keraguan indahnya warna sang pelangi memiliki debu cahaya matahari, karena alam raya tak pernah berbohong, ataupun sekadar berkacak pinggang melodius mendayu-dayu bak merayu triliun. 

Musim korupsi tak jua kunjung padam, tetapi menyirna entah di bawa ombak samudra ataupun badai taifun terganas. Maka angin samudra bakal ketemu angin darat, semoga saja tak ada lagi korupsi kelas tinggi atau kelas rendah. Apa mungkin, ehem, entah mengapa senyum dulu ataukah cengar-cengir, keduanya hampir serupa, bedanya kalau senyum di antara tangis atau sembari menangis tersenyum-senyum. 

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Tapi, tindak pidana korupsi kelas triliun bukanlah hiburan semata, sungguh banget menjengkelkan, namun tak mampu berbuat apa-apa, selain mendoakan negeri tercinta. Ya Tuhan, semoga korupsi segera punah dari negeri Khatulistiwa, teramat indah.

Kerepotan pada janji politik tak penting benar bagi badai pasti berlalu, namun apakah badai itu telah berani menyapu bersih segala rintangan, membasmi racun korupsi dengan tablet dosis tinggi anti kanker korupsi. Penyakit kronis, patah tumbuh hilang berganti, bukan saja kronis, mengapa pula tak tersebuhkan. 

Jadi, apakah mungkin semisal diagnosa dini mendahulukan kesehetan mental jernih beriman atau langsung disumpah saja sebagaimana keyakinannya si calon pengabdi sebuah negeri.

Barangkali aturan-aturan pengatur peraturan dosis anti korupsi tampaknya mungkin seyogianya, barangkali senantiasa wajib ditinjau kembali. Mengingat tindak pidana korupsi bagaikan horor-isme. Mengerikan loh hai, ehem, bunyinya triliun melulu deh. Oh! Halah! Yaoho! 

Maka sampailah imajinasi pada sebuah cerpen, kegigihan, ketulusan, kesederhanaan  kehidupan siswa di dusun hutan hujan. 

**

Sepagi itu, para ananda telah menyiapkan diri untuk berangkat ke sekolah. Seperti biasa ketiga sahabat itu bertemu di pinggir desa. Lantas bersama menuju sekolah sejauh tujuh kilometer, melewati tepi hutan lindung, pesawahan, sungai kecil, mendaki bukit, seterusnya kembali bertemu sungai tanpa jembatan. Melompati berpijakan dari batu ke batu sungai berarus cukup deras sekalipun termasuk dangkal terlihat jernihnya air, beraroma oksigen memadai lingkungan pedesaan asri lestari, belum tersentuh industri modern, entah kalaulah tiga puluh tahun kedepan.

"Sura! Listri! Tunggu! Stop dulu. Sepatuku jatuh terlepas terbawa arus." Keduanya balik menghampiri Durkam.

"Pegang erat-erat barang-barangku. Jangan satupun terjatuh." Menitipkan tas sekolah juga sepatunya. "Kalian tunggu di sini." Listri, melompat mengejar sepatu Durkam. 

"Hati-hati kakak, Listri!" Sura cemas, menyusul suara Durkam.

"Kakak Listri! Hati-hati."

Listri, mengejar sepatu Durkam, berpijak melompati bebatuan besar di sungai, sebelum sampai di arus dalam, berhasil meraih cepat sepatu Durkam. Basah seragam sekolah Listri, sampai di atas lutut.

"Kalian lupa aku juara renang kelas sungai." Ketiganya ngakak.

"Tapi kami tetap khawatir, kalau sampai di arus dalam basah seragam sekolahmu kakak." Suara-suara cemas. 

Durkam geleng-geleng kepala. "Tak seharusnya kau selalu jadi pelindung kami, kakak kelasku." Keheranan Durkam, hadir kalau Listri, selalu bertindak melindungi, kedua adik kelasnya itu.

"Kalian sudah seperti saudara kandungku. Takdir kita bertiga menjadi anak tunggal, bertetangga jauh." Listri, sembari memeras seragam sekolahnya, setengah roknya basah.

"Ajari kami berenang ya Kak. Sekarang masih renang gaya batu nyemplung." Durkam, sembari duduk di samping Listri, di atas batu besar.

"Juga bela diri ya Kak." Sura, menyusul duduk, ketiganya bersebelahan.

"Ya. Aku sampaikan ke bapakku ya."

**

Suasana sekolah di antara dusun hutan hujan cukup memadai meski bangunan itu setengah bata setengah bilik bambu. Tak ada keluh kesah kendala belajar, sekalipun konon 'kan terpancang jalur komunikasi dunia maya, tower-tower kukuh tak bertuan menjulang langit di ketinggian bukit berjarak tampak dari sekolah. Bagi siswa sekolah itu terpenting ketulusan kegembiraan belajar, bersama relawan guru setempat. Tak menyoal tekno apapun.

Untuk para siswa sekolah terletak antara dusun hutan hujan itu, tak ada lain, hanya belajar senantiasa, seperti apa adanya, tak ada keluh kesah ogah belajar sedikitpun. Keseharian para siswa, cermin bening keberadaan pertumbuhan bangsa berpendidikan berkelanjutan, tanpa basa-basi dalam bentuk slogan apapun. Para siswa kelak, bakal mengarungi kehidupan tanah negeri tercinta segigih mereka berangkat sekolah menempuh berbagai rintangan alami.

Kibaran bendera kebangsaan gagah di ujung tiang bambu terpasak tinggi di atas atap sekolah. Membanggakan senantiasa memberi semangat para siswa bersama relawan guru sekolah sederhana seindah ketulusan negeri kepulauan.

Sebagaimana setiap kali pulang sekolah, dilakukan, Durkam, Listri, Sura, dari ketinggian bukit, ketiganya berdiri tegap menghadap bendera di atas atap sekolah. Berseru lantang kalimat sederhana, telah menjadi ucapan bersama setiap kali usai upacara bendera hari Senin.  

"Benderaku kami senantiasa merindukanmu!" Lantas ketiganya berbalik arah pulang. 

***

Jakarta Indonesiana, Juli 20, 2023.
Salam kasih sayang saudaraku.

Bagikan Artikel Ini
img-content
Taufan S. Chandranegara

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler