x

Iklan

Edy Hendras Wahyono

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 13 Juli 2023

Senin, 7 Agustus 2023 16:10 WIB

Monyet Togean, Peliharaan Saudagar yang Lepas dan Liar

Konon, menurut ceritera masyarakat Togean, monyet-monyet yang hidup di Pulau Malenge itu, merupakan peliharaan saudagar kopra yang leas dan liar. Habitat mereka kini terancam akibet kerusakan hutan serta dianggap sebagai hama kebun.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Pulau Sulawesi itu, salah satu pulau yang unik, diantara pulau-pulau di Indonesia. Terutama pulau yang besar. Kalau Jawa, Sumatera dan Kalimantan cenderung kehidupannya dekat dengan Benua Asia. Sedangkan Papua dan pulau-ulau kecil lainnya lebih dekat ke Benua Australia. Sehingga beberapa satwa memiliki kesamaan. Sulawesi berbeda. Satwa pada umumnya endemik dan tidak ada di tempat lain seperti anoa atau babi rusa.

 

Seperti halnya monyet Sulawesi, juga hanya ada di pulau selebes itu. Memang agak mirip dengan monyet yang ada di Kalimantan atau Sumatera. Monyet Sulawesi mirip dengan beruk. Ada 7 jenis monyet Sulawesi yang berbeda. Dari ujung utara, berwarna lebih gelap, semakin ke selatan warna kelabu.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

 

Berdasarkan Buku Panduan Primata Indonesia yang ditulis oleh Prof Jatna Supriatna dan Edy Hendras. Monyet Togean, termasuk Macaca tonkeana, yang tersebar luas di Sulawesi Tengah, sehingga monyet togean, digolongkan pada jenis tersebut. Pernah diusulkan oleh Prof. Jatna yang berupakan Guru Besar Bidang Biologi pada Universitas Indonesia, dipisahkan menjadi jenis tersendiri, yaitu Macaca togeanus.

 

Monyet togean, mempunyai kisah yang unik. Konon berdasarkan ceritera tetua masyarakat Togean, bahwa monyet itu semula adalah peliharaan saudagar kopra yang selalu singgah dari pulau yang satu ke pulau yang lain untuk membeli kopra dari masyarakat. Namun saat itu cuaca kurang baik, sehingga kapal dagang itu segera meninggal pelabuhan untuk berlayar ka pulau yang lain. Namun saudagar lupa bahwa sepasang peliharaannya tertinggal saat berlabuh di pelabuhan. Sepasang monyet itu selalu dibawa kemana-nama ketika saudagar pergi berdagang. Dan peliharaannya itu, biasanya di lepas agar bisa memanjat pohon dan mencari makan, saat berlabuh. Namun saat itu, saudagar itu lupa, ketika lepas tali untuk berlayar dan peliharaannya tertinggal.

 

Sepasang monyet itu sudah beranak pinak menjadi beberapa kelompok yang tesebar di Pulau Malenge. Memang unik, bahwa beberapa pulau di Kepulauan Togean yang berjumlah 60an, pulau besar dan kecil, hanya di pulau Malenge yang diketemukan primata itu. Pulau-pulau lain yang lebih besar, tidak ditemukan.

 

Dianggap sebagai hama.

Monyet Togean telah berkembang cukup banyak, dan hanya tersebar di Pulau Malenge, yang luasnya hanya 12 kilometer persegi. Berdasarkan data dari TN Kepulauan Taogean, tahun 2016, hasil penelitian, populasinya ada 183 individu yang terbagi dalam beberapa kelompok.

 

Selain monyet togean kawasan konservasi itu juga ditemukan babirusa togean, Babyrousa babyrussa togeanensis. Habitat satwa endemik  itu, kian terancam, dan beberapa masyarakat menganggap sebagai hama, terutama perkebunan kelapa atau tanaman palawija yang lain.

 

Kelompok monyet ini selalu berkelompok, ketika mengembara mencari makan. Memasuki perkebunan kelapa penduduk. Rupanya kelompok ini membagi tugas. Sang pemimpin kelompok, memanjat pohon kelapa dan mengawasi sekelilingnya. Ada anggota kelompok, yang bertugas menjatuhkan kelapa dengan cepat, hingga satu tandan kelapa muda atau malah lebih, yang mudah dipatar dan kelapa itu jatuh. Sedangkan di bawah, begitu mendapatkan bagian kelapa langsung lari menuju hutan terdekat. Monyet pemetik kelapa, mengambil satu buah kelapa, turun sambil menggigit kelapa. Sang pemimpin setelah aman, turun dan mengambil satu buah kelapa.

 

Untuk mengupas kelapa terlihat sulit, namun monyet-monyet itu dengan cekatan menggunakan taringnya mencabik-cabik sebut kelapa, nampak dengan mudah, dan malah dapat memecahkan tempurung. Meminum air dan memakan kelapa bagian dalam. Saya tak melihat ketika mereka memecahkan tempurung atau menggigit, bagian yang lunak dari tempurung kelapa muda itu. Tidak seperti bangsa kera, layaknya simpase yang menggunakan alat, seperti batu untuk memecahkan biji yang keras. Atau monyet ekor panjang yang menghancurkan kepiting di pesisir dengan menggunakan batu. Setelah pesta pora kelapa usai, mereka berlarian ke dalam hutan.

 

Melihat satwa Togean di danau kecil.

Di tengah-tengah Pulau Malenge, ada danau kecil atau kubangan yang cukup lebar dan menyimpan air. Tempat ini pada siang hari, akan banyak dikunjungi oleh berbagai satwa, seperti babi rusa, sekelompok monyet, berbagai jenis burung dan satwa lainnya. Karena pulau yang kecil itu jarang ditemui kubangan air atau sungai yang dapat memberikan kehidupan bagi satwa.

 

Di pinggiran danau kecil itu sudah dibuat tempat mengintip, ala fotographer, untuk melihat satwa-satwa yang turun untuk minum. Sayangnya waktu itu saya hanya membawa kamera poket keluaran pertama yang sudah digital. Menyimpan gambar juga hanya 20 kb, paling tinggi dan lupa membawa kamera yang dilengkapi dengan telezoom. Namun untuk melihat kehidupan alam liar, cukuplah puas. Harus diam membisu, tak ada suara, tak ada cakap, tak ada asap rokok atau obat nyamuk. Setelah satwa-satwa itu kenyang minum, mereka lantas meninggalkan kubangan itu, dan masuk hutan kembali, kecuali beberapa jenis burung yang masih berterbangan di dahan.

 

Kamp Penelitian.

Di Pulau Malenge, telah dibangun stasiun penelitian yang dioperasikan oleh YABSHI (sebuah Lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang penelitian) serta Conservation International Indonesia. Setiap pagi peneliti menjelajah hutan untuk melakukan pengamatan. Tidak hanya kehidupan di hutan, namun juga kehidupan di laut. Para penyelam silih berganti melakukan pengamatan.

 

Karena saya sudah menjelajah dan mengelilingi pulau itu, maka saya tinggal di kamp, untuk menyelesaikan buku panduan primata. Dengan energi genset, sesekali saya hidupkan untuk menghidupkan laptop hitam putih untuk meneruskan penyusunan buku.

 

Rupanya kawan-kawan peneliti lupa meninggalkan air atau perahu dayung di kamp. Maka seharian saya hanya hidup dengan satu botol 1,5 liter untuk minum dan masak nasi. Sedangkan untuk kebutuhan lauk, tak sulit. Di seberang kamp, kalau lagi air laut surut bisa jalan kaki, ada pemukiman masyarakat Bajo yang tinggal di pulau berbatu. Saya juga heran, di seberangnya ada pulau yang masih banyak pepohonan, namun mereka memilih untuk membangun rumah panggung di pinggiran laut. Memang sudah kebiasaan dan adat mereka, sebagai orang laut.

Pernah saya akan membeli ikan untuk lauk. Nelayan yang orang Bajo itu, bertanya.

“Bapak mau beli ikan yang mati atau yang hidup?”, tanya dia.

“Kalau yang hidup berapa dan kalau yang sudah mati berapa pak”, tanya saya singkat.

“Kalau yang hidup 50 ribu dan yang sudahbmati lima ribu”, jawabnya.

“Yang mati sajalah pak, karena akan lekas saya masak”.

Rupanya ikan yang masih hidup itu akan dijual, yang masih ada di dalam drum, boleh jadi untuk diekspor, sedangkan yang sudah mati dijual di desa terdekat.

 

Mengembangkan daerah tujuan wisata.

Untuk mengembangkan daerah tujuan wisata, dibentuklah Jaringan Ekowisata Togean di dalamnya terdapat beberapa lembaga, selain CI Indonesia, Yabshi, juga Indecon (Indonesia Ekoturism Network) untuk membantu menyiapkan sumber daya manusia dan destinasi wisata (daerah tujuan wisata). Destinasi laut, sudah banyak dikenal, dan sudah ada pemandu “under waternya”, namun untuk daratan perlu dilakukan, salah satunya adalah jembatan mangrove.

 

Setaiap jam 11.00 waktu Indonesia Tengah, saya mengumpulkan para nelayan yang pulang dari laut. Kami menggunakan beberapa perahu untuk menuju ke kawasan mangrove yang ada. Mangrove cukup terjaga, dan masih besar-besar. Kami bersama masyarakat membuat trek di tengah hutan mangrove. Terkadang harus naik, menanjak dan kadang turun, disesuaikan dengan pohon mangrove yang ada. Selama pembuatan jembatan dengan kayu ala kadarnya, saya membuat panduan untuk bercerita sepanjang trek mangrove. Mulai dari daratan dengan beberapa kebun, tebing pendek, hingga beberapa jenis mangrove yang dilalui.

 

Masyarakat sudah paham nama-nama tumbuhan itu, hanya saja saya membantu bagaimana cara mengkomunikasikan kepada pengunjung bila memandu wisatawan yang akan mengunjungi kawasan mangrove. Saya bagi setiap 50 meter ceritera apa, baik kehidupan yang ada di lumpur seperti ikan glodok, kepiting dsb. Atau burung yang ada dan tentunya setiap tumbuhan mangrove yang ada.

 

Rupanya pada tahun 1998, perusahaan penerbangan Inggris British Airways melalui program "British Award" memberikan penghargaan kepada Jaringan Ekowisata Togean (Togean Ecotorism Network) untuk kategori "Highly Commended Pacific". Penghargaan diberikan atas "best practice" pengelolaan ekowisata hutan bakau berbasis masyarakat yang dikembangkan oleh Kelompok WAKATAN di desa Lembanato. Penghargaan British Award ini mengusung tema "Tourism for Tommorow".

 

Gagasan pengembangan wisata di Togean, karena kepulauan itu menjadi jalur wisata dari Poso atau Ampana yang akan berkunjung ke Gorontalo. Sehingga digagas agar wisatawan yang menempuh perjalanan dengan kapal itu, bisa mampir dan berkunjung ke Togean. Sehingga dalam pengembangannya sangat diperlukan untuk peningkatan sumber daya manusia dan destinasi wisata.

 

Wisata laut di Togean yang telah menjadi Kawasan Konservasi, berupa Taman Nasional Laut Kepulauan Togean yang diresmikan sebagai Kawasan konservasi laut pada tahun 2004, memiliki kehidupan dasar laut yang menakjubkan. Para penyelam sangat mengagumi keindahan batu karang atau coral reef, beraneka warna kehidupan. Malah para penyelam ini, bentuk batu karang menyerupai miniatur great barrier reef di Australia. Kecil, namun memiliki tebing yang curam. Mereka menyebut mini barrier.

 

Ikuti tulisan menarik Edy Hendras Wahyono lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Bingkai Kehidupan

Oleh: Indrian Safka Fauzi (Aa Rian)

Sabtu, 27 April 2024 06:23 WIB