x

Krontjong Toegoe

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Selasa, 8 Agustus 2023 15:55 WIB

Krontjong Toegoe: Keroncong itu Milik Indonesia

Himpunan Orkes Poesaka Krontjong Morescho Toegoe kini bernama Orkes Keroncong Cafrinho Tugu, yang dikenal Krontjong Toegoe telah berdiri sejak 1661, jauh sebelum negara ini merdeka.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kami tinggal dalam satoe kampong jang ketjil jang diseboet Toegoe, dan ada dalam bilangan district Beccasie afdeeling Meester Cornelis. Kampong Toegoe itu ada dekat pinggir laoet dan hawa oedara disana ada panas. Aer boewat minoem itoe soesah sebab soemoer-soemoer banjak jang aernja asin. (Schurchardt, 1892)

Kampung Tugu. Sebelum pindah ke Kalimantan, selama tiga tahun saya tinggal di daerah sana. Mengalami macetnya, mendengar bisingnya dan kadang menggerutu tentang teriknya Jakarta. Banyak kenangan yang tidak mungkin saya lupakan. Sewaktu di sana, Tugu Utara, saya menikah dan saat tinggal disanalah, Ranindhita, anak pertama kami lahir.

Juga tentang pertemuan saya dengan seorang driver ojek online. Suatu ketika, setelah selesai dari suatu keperluan—yang saya lupa apa itu, saya memesan jasa ojek online untuk pulang. Selang beberapa menit menunggu, datanglah mobil berwarna putih menjemput saya. Begitu naik, saya disapa ramah oleh seorang driver dengan rambut gondrongnya yang terikat. Mirip Didi Kempot tetapi agak gempal. Sembari ngobrol ke sana kemari, pedal gas dia injak kalem. Sehingga pelan-pelan mobil kami menyatu dengan kemacetan siang itu.

Untuk menghilangkan rasa bosan, dia memutarkan lagu melalui sebuah flashdisk yang dicolokkan ke head unit yang tampaknya telah dimodifikasi. Sayup-sayup terdengar musik yang tidak asing di telinga. Musik keroncong. Sontak saja saya minta driver saya itu untuk menaikkan volumenya. Sebagai orang Jawa, keroncong adalah hal yang lumrah diputar dan didengarkan orang-orang di desa saya. Kakek saya adalah pengagum Gesang dan Soendari Soekotjo, dua maestro keroncongnya Indonesia. Bahkan sampai sekarang, bagaikan sebuah mitos, keluarga saya meyakini bahwa tidak ada yang bisa menandingi merdunya suara kakek ketika membawakan lagu 'Bengawan Solo'-nya Gesang.

Namun ada yang aneh dari lagu yang diputarkan driver saya itu. Meski jelas-jelas itu adalah lagu keroncong, saya yang notabene dari kecil akrab dengan keroncong, tidak mengenali liriknya sama sekali. Nadanya sama dengan 'Bunga Anggrek' yang dibawakan Soendari Soekotjo. Hanya itu yang saya tahu. Saya bertanya ke driver saya apa judul lagunya. Ternyata nomor itu berjudul Als de Orchideen Bloeien atau dikenal sebagai De Orchideen. Yang secara literer artinya memang bunga anggrek. Dan kata driver saya, ini adalah lagu asli dari 'Bunga Anggrek'-nya Soendari.

Liriknya dalam bahasa Belanda. Dan saya—yang saat itu salah paham dan mengira bahwa musik keroncong itu berasal dari Jawa Tengah khususnya Solo atau Yogyakarta—merasa aneh kalau lagu keroncong dinyanyikan dengan bahasa selain Jawa atau Indonesia. Apalagi Belanda. Lalu, mulailah rasa penasaran saya muncul.

"Mas, suka keroncong ya?", saya membuka obrolan.

"Iya mas, itu genre musik favorit saya."

"Oh, Masnya asli sini?"

"Iya, saya lahir dan besar disini, orang Jakarta asli. Kalau mas?"

"Wuihh, jarang lho mas orang Jakarta tapi suka keroncong, musik Solo", saya melanjutkan "Kalau saya dari Wonogiri mas, dekete Solo. Di daerah saya, musik keroncong terkenal banget. Sering dinyanyiin kalau ada hajatan. Pas sunatan dan kalau pas ada orang nikahan. Musik Jawa Tengah itu memang enak bukan main, nikmat di telinga.", sedikit usil saya banggakan ke-jawa-an saya di depan driver saya itu.

Dia diam sejenak, mengernyitkan dahi, lalu merespons singkat, "Sebenernya mas, musik keroncong itu asalnya dari sini. Musik asli Kampung Tugu."

Modyarr. Kualat rekk. Saat itu saya tidak dapat berkata apa-apa kecuali, "Heeeh?"

Lalu dengan kalem driver saya itu menjelaskan sejarah keroncong di Indonesia. Setelah dipadukan dengan hasil browsing-an saya kurang lebih begini ceritanya:

***

Himpunan Orkes Poesaka Krontjong Morescho Toegoe kini bernama Orkes Keroncong Cafrinho Tugu, yang dikenal Krontjong Toegoe telah berdiri sejak 1661, jauh sebelum negara ini merdeka. Bahkan kata merdeka, selain berasal dari kata mahardhika, yang berarti kuat, juga seakar kata dengan mardjiker, istilah Belanda untuk menyebut tahanan Portugis yang dibebaskan.

Keroncong Tugu lahir dari masyarakat keturunan Portugis yang tinggal di Kampung Tugu, Jakarta Utara. Menurut Guido Quiko—pemimpin Orkes Keroncong Cafrinho Tugu, di samping Andre Juan Michels—ketika Malaka jatuh ke tangan Belanda pada 1641, sekitar 800 tawanan Portugis diasingkan ke Batavia. Beberapa dari mereka berlabuh di pelabuhan Cilincing. Di tahun 1661, dua puluh tiga keluarga dimerdekakan dan diberi kebebasan untuk tinggal tanpa membayar pajak asal mereka mau berpindah keyakinan dari Katolik ke Protestan. Sejak itu mereka disebut sebagai de Mardjikers, orang-orang bebas. 

Di area seluas 20 hektare di perbatasan Bekasi itu orang-orang Portugis tersebut tinggal. Wilayah itu sekarang dikenal sebagai Kampung Tugu yang konon berasal dari kata port-tugu-ese. Sejak konversi agama itu, banyak nama fam Portugis kemudian diubah menjadi nama fam Belanda seperti Andres, Cornelis, Mihils, Abraham dan Browne. Kecuali fam Quiko, karena saat itu sesepuh dari fam Quiko adalah seorang penginjil dari Gereja Katolik.

Untuk menikmati hiburan, mereka harus berjalan kaki dengan jarak yang cukup jauh dan melalui hutan lebat, ke kawasan Kota Tua. Karena rasa haus akan hiburan itu, mereka membuat alat musik sendiri yang dibuat dari batang kayu dari beberapa jenis pohon antara lain nangka, kenanga dan waru. Mereka membuat gitar kecil menyerupai tapakkunyo—alat musik tradisional Portugis. Mereka menyebutnya jitera, prunga dan macina. Jitera atau guitar adalah alam musik petik yang berukuran paling besar, prunga yang berukuran sedang dan yang terkecil disebut macina. Terbuat dari kayu yang dibobok di bagian tengah dan diberi senar dari kulit pohon. Kombinasi ketiga alat musik ini menghasilkan bunyi krang...krang...crong...crong.... Ketika mereka sedang memainkannya, orang Betawi di masa itu menyebutnya: “orang Tugu lagi krang-krong, crang-crong”. Pada perkembangan selanjutnya, dari bunyi tersebutlah musik itu dinamakan keroncong.

Mereka memainkan alat musik itu pada saat musim panen. Karena keindahan bunyinya, lama-kelamaan tiap musim panen orang Betawi dan orang Belanda datang ke Kampung Tugu untuk mendengarkan mereka main musik dan bernyanyi. Seringkali orang Betawi ikut bermain musik dengan suling dan rebananya. Juga orang Belanda dengan ukulele dan bassnya. Dengan berbagai latar belakang dan bahasa yang berbeda orang-orang berkumpul di Kampung Tugu tiap panen raya. Mereka tidak paham bahasa satu sama lain dan hanya ada satu bahasa yang dapat menyatukan mereka: Musik.  

Beratus tahun kemudian, untuk melestarikan warisan leluhur, orang keturunan Portugis di sana membentuk grup musik Orkes Poesaka Krontjong Morescho Toegoe yang sekarang dikenal sebagai grup musik Krontjong Toegoe. Selain kerap dipanggil ke Istana Negara untuk menyambut tamu kenegaraan dari Portugal, grup musik itu juga sering tampil ke mancanegara, antara lain: Timor Leste, Malaka, Jepang dan Belanda. Krontjong Toegoe sempat diundang untuk menjadi bintang perayaan lima tahun penetapan musik Fado sebagai warisan budaya dunia di Lisbon, Portugal. Mereka memainkan musik keroncong dan berbicara di forum internasional bahwa musik keroncong itu berasal dari Indonesia, musik asli Kampung Tugu.

***

Di hari berikutnya, saya melanjutkan browsing karena semakin penasaran tentang grup musik Krontjong Toegoe ini. Ternyata mereka mengadakan latihan setiap hari Selasa malam di rumah Guido Quiko di Jalan Raya Gereja Tugu No.7, Jakarta Utara, tidak jauh dari rumah saya. Tempat latihan mereka terbuka untuk umum. Iseng-iseng juga saya cari siapa saja personel dari grup musik legendaris ini, lalu muncul sebuah foto. Pertama muncul foto sang maestro, Guido Quiko dan Andre Juan Michels. Dibelakangnya, kedua dari kanan, ada seorang personel senior yang memainkan cello. Seorang gondrong dengan rambut terikat, mirip Didi Kempot tetapi agak gempal. Tidak asing. Saat itu saya hanya mbatin, "Asemmm, ngertio wingi tak jaluki tanda tangan."

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB