x

Bayi

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Jumat, 11 Agustus 2023 13:06 WIB

Anak Kecil yang Penasaran

Anak-anak memang selalu memukau. Kejujurannya, kepolosannya, anak anak adalah manusia yang apa adanya. Tidak dibuat-buat dan dilabeli macam-macam. Mereka memiliki rasa keingintahuan yang tinggi yang seringkali luput dimiliki orang dewasa. Padahal itu adalah kunci hidup yang bersahaja. Karena dengan ingin tahu, sebenarnya kita mengakui bahwa kita tidak tahu. Dan kalau sudah tidak tahu apa-apa, apa lagi yang pantas kita sombong-banggakan?

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Manusia, raganya tumbuh karena makan, jiwanya tumbuh karena penasaran. Rasa penasaran, keingintahuan ini, adalah salah satu fitrah yang diberikan tuhan kepada manusia sejak lahir, bagian dari kesucian manusia. Selalu merasa ingin tahu hal-hal yang tidak diketahuinya adalah bekal utama manusia, untuk senantiasa tumbuh. Bayi yang semula tidak tahu benda-benda, belajar merangkak menghampiri benda tersebut, mengambilnya, lalu memasukkannya ke dalam mulut. Itu semata-mata karena rasa penasaran terhadap benda apa itu. Caranya unik, langsung di dirasakan. Disentuh, dimasukkan mulut, dan dikecap dengan lidah. Mungkin sebagai orang dewasa, kita menganggap cara itu adalah cara yang bodoh. Tetapi sebenarnya, menyentuh dan mengecap lidah yang merupakan bentuk paling sederhana dari 'merasa', adalah cara paling to the point, tidak bertele-tele dalam mengenal sesuatu. 

Secanggih-canggihnya filsafat, sehebat-hebatnya tulisan tidak akan bisa menjelaskan apa itu pahit dan manis kepada orang yang belum pernah merasakan pahit dan manis. Tidak percaya? coba tuliskan sebuah esai tentang pahit-manis, maka kita akan kesulitan dan mau tidak mau akan berputar putar ke pengertian "pahit seperti kopi, manis seperti gula" atau semisalnya. Padahal orang yang belum pernah merasakan pahit dan manis, pasti belum pernah minum kopi dan makan gula. Maka cara paling mudah untuk tahu apa itu pahit adalah meminum kopi, tidak menjelaskannya. Untuk tahu apa itu manis adalah dengan makan gula, tidak menafsir-nafsirkannya. 

Ilmu yang sejak lahir dimiliki bayi ini, yang bermodalkan rasa penasaran karena ketidaktahuan adalah ilmu yang sama yang menjadikan Imam Ghazali, sang Hujjatul Islam, meninggalkan filsafat untuk menuju tasawuf. Bukan berarti beliau ini adalah anti filsafat seperti yang dituduhkan kepada beliau sejak abad ke-13 sampai sekarang. Tetapi lebih ke arah untuk mendekati tuhan itu, tidak akan sampai jika hanya menggunakan filsafat. Ibarat anak tangga, untuk mencapai anak tangga keseratus, tidak mungkin kita hanya naik satu-dua anak tangga, ada anak tangga lain yang harus dilewati. Satu-dua anak tangga itu filsafat, yang memang mau tidak mau harus beliau tinggalkan untuk menyempurnakan yang seratus. 

Umum kita temui bahwa The Mother of Sciences, induk segala ilmu pengetahuan adalah filsafat, sedangkan puncak dari filsafat—seperti yang dikatakan Socrates, bapak filsafat—adalah, "Aku tahu bahwa aku tidak tahu." Lucu memang, fakta puncak dari ilmu pengetahuan adalah kerendahhatian untuk merasa tidak tahu. Top-topnya pengetahuan adalah ketidaktahuan. Bahwa pengetahuanku ini sedikit dan tidak ada apa-apanya. Bahwa ilmuku ini rendah dan sama sekali tidak ada tinggi-tingginya. Bukankah ciri dari seorang ulama (seorang yang menguasai banyak ilmu) adalah tawadhu, rendah hati?

 

"Sesungguhnya hanya di sisi Allah ilmu tentang hari Kiamat; dan Dia yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan dikerjakannya besok. Dan tidak ada seorang pun yang dapat mengetahui di bumi mana dia akan mati. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Mengenal." (QS Luqman: 34)

"Dan kunci-kunci semua yang gaib ada pada-Nya; tidak ada yang mengetahui selain Dia. (QS Al-An‘am: 59)

 

Dan jangan diseram-seramkan bahwa gaib itu pasti berhubungan dengan dunia lain dan makhluk halus. Tidak, sederhananya gaib itu segala hal yang tidak diketahui manusia, tak terjangkau. Artinya ya "ketidaktahuan" itu. Ini bukan pendapat saya, namun pendapatnya pak Quraish Shihab, penulis tafsir Quran Al-Mishbah. Bapaknya mbak Najwa Shihab yang terkenal itu.

Namun sebagai catatan, Imam Ghazali meninggalkan filsafat bukan karena benci tetapi karena memang mustahil menggapai tuhan, tangga keseratus itu, kalau hanya melalui filsafat. Maka beliau terkesan 'mengharamkan' filsafat, karena pada saat itu banyak sekali anggapan bahwa filsafat adalah segalanya. Banyak orang yang merasa tuntas setelah menaiki hanya satu-dua anak tangga. Bahkan merasa telah menaiki anak tangga yang benar padahal secara nyata bertentangan dengan logika pada umumnya dan dengan Al-Quran pada khususnya. Jadi kritik Imam Ghazali sebenarnya adalah kepada orangnya, bukan kepada filsafatnya. Kalau kita sedikit jeli, judul kitabnya sendiri adalah Tahafut al-Falasifah (Kerancuan para Filsuf), bukan Tahafut al-Falsafah (Kerancuan Filsafat).

Lalu mengapa tasawuf? Karena berkaca pada filsafat yang gagal menjelaskan perkara pahit-manis tadi, dengan tasawuflah beliau mencicipi sendiri pahit dan manisnya. Tidak perlu muluk-muluk berteori, langsung minum kopi atau makan gula. Tidak usah lama-lama membaca ensiklopedi tentang ikan, ombak, batu karang, air dan nelayan. Langsung saja menceburkan diri ke lautan. Namun Imam Ghazali bukanlah orang bodoh seperti kita, ia menyadari bahwa di laut itu ada hiu dan paus pembunuh. Maka dalam menyelam ia mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang. Ia siapkan harpun yang kuat untuk melawan hiu dan tombak yang kokoh untuk melawan paus pembunuh. Serta tabung oksigen yang cukup. Harpun itu bernama kalam, tombak itu bernama fikih dan tabung oksigen itu bernama filsafat. Beliau persiapkan semuanya untuk menyelam sejauh dan sedalam mungkin, semaksimal mungkin.  Meskipun dengan rendah hati, beliau tahu sebenarnya luasnya samudera tidak akan mampu beliau jelajahi seluruhnya dan dalamnya lautan tidak akan dapat beliau selami sepenuhnya. 

Dari pandangan itu, saya meyakini bahwa tasawufnya Imam Ghazali yang dahsyat itu muncul dari hal yang sederhana: Curiosity, rasa penasarannya anak kecil. Yang selalu ingin tahu. Yang selalu merasa tidak tahu. Maka sebagai orang tua, janganlah kita terlalu 'membungkam' rasa penasaran anak-anak kita. Biarkan dia cerewet bertanya tentang apapun karena itu memanglah fitrahnya. Karena bagitu keingintahuannya dibungkam dan mati, rasa penasaran itu tidak bisa dibangkitkan dan bersuara lagi. Begitu juga dengan kita.

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB

Terkini

Terpopuler

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

Sabtu, 27 April 2024 14:25 WIB