Oleh kokowoyo
Seni-seni konvensional telah memberikan kita kesemrawutan yang tak beraturan dan juga keramaian tak berarti. Secara esensi, fenomena ini dapat disebut sebagai kematian seni oleh seni. Seni sakral yang membahana dan penuh kemapanan telah dibunuh oleh seni konvensional yang anti-meaning.
Terdapat beberapa faktor yang paling dominan dalam tragedi ini, khususnya dalam pola paradigma dan perspektif masyarakat terhadap kesenian. Seni pada saat ini hanya eksis sebagai sebuah proses transaksi material yang tak bermakna. Selain karena seniman bodoh yang tak mampu menggali arti pengkaryaan itu sendiri, naasnya masyarakat konsumeris juga menjadi ladang kebodohan yang dimana dua subjek tersebut saling membunuh seni dengan dalih berkesenian.
Pembunuhan ini dapat dikatakan sebagai fenomena dissconected antara masyarakat konsumeris dan seniman konvensional tak berwawasan yang rakus. Keduanya sejatinya tidak menjalin relasi dalam karya, tetapi lebih ke persoalan kesepakatan. Kesepakatan yang dimaksud disini bukanlah dalam kesepakatan untuk saling memahami dan mencari kekorelasian, tetapi kesepakatan dalam konsumerisme, terkhususnya dalam eksistensial dan benefical, keduanya saling memakan pungutan liar.
Seniman menikmati kebodohan masyarakat, dan seniman juga semakin tak berguna, tak ada benefit apapun dalam konteks intelektual dan pemahaman disini. Seniman dewasa ini hanya menyajikan karya yang sama, mereka hanya mengartikulasikan dan memanipulasi bahasa untuk melakukan sebuah pembaharuan, dan tragisnya masyarakat mengiyakan hal tersebut.
Seniman dan masyarakat sejatinya adalah pelaku utama dalam pembunuhan tersebut. Seni tradisional sebenarnya adalah seni sakral dan penuh dengan wahyu. Intuisi kita benar benar dapat merasakan kesakralan tersebut. Tetapi hal itu telah tergerus oleh kesenian kering yang tak bermakna.
Tak ada lagi yang dapat ditawarkan disini. Yang ada hanyalah manipulasi pikiran absolut yang eksis dan menjadi konsumsi masyarakat. Orang-orang menganggap bahwa seni akan terus berkembang,tetapi mereka tidak memahami dari esensi seni itu sendiri. Ditambah lagi seniman pemalas yang mengandalkan namanya hanya akan menimbulkan proses dissconected antara seniman dengan kesenian, seniman dengan masyarakat.
Semuanya seperti sesuatu yang tak beraturan. Dan fenomena ini sebenarnya sama-sama memberikan kemudahan mendalam terhadap kesenian saat ini, dan hal ini pula yang menyebabkan seniman dan masyarakat itu sendiri yang telah mematikan kesenian itu sendiri.
Ikuti tulisan menarik Kokowoyoo lainnya di sini.