x

Iklan

Kokowoyoo

Penulis Indonesiana
Bergabung Sejak: 31 Mei 2023

Senin, 17 Juli 2023 07:32 WIB

Menilik Kecacatan Logika Berpikir Feminisme Radikal

Artikel opini ini bercerita tentang bagaimana alur proses berpikir feminisme radikal

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Oleh Kokowoyo

Dalam hiruk-piruk realitas dewasa ini, proses penyetaraan kerap kali menjadi isu yang sensitif, walau pada dasarnya problematika ini merupakan problem masa lampau, tetapi hal ini akan terus berlanjut dan pada akhirnya sampai pada titik dimana orang-orang merasa bahwa dirinya harus setara dengan yang lainnya. Isu-isu ini menjadi topik yang akan terus berlanjut dan mungkin tak akan pernah selesai karena sosok ego yang terus bertarung dan terus berkembang meliputi jamannya.

Kesetaraan gender adalah konflik sosial yang terus berlalu hingga berabad-abad, dan bahkan konflik itupun terlihat sebagai sesuatu yang tak ada akhirnya. Ketika dominasi patriarki merajalela, kaum perempuan berbondong-bondong mempertahankan dirinya untuk eksis dan terus melanjutkan kehidupannya, bergerak kesana kemari mengatakan bahwa perempuan harus mendapatkan suatu hal sebagaimana semestinya. Tetapi dalam gerakan yang dianggap bersifat revolusioner tersebut, terdapat beberapa hal yang dimana sesuatu yang diperjuangkannya itu menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Dalam artian wanita tidak memahami bahwa seluruh manusia baik laki-laki dan perempuan memiliki karakteristik dan struktur biologis yang berbeda.  Hal inilah juga yang sebenarnya membuat sejarah mengkonstruksi realitas sosial seperti apa yang terjadi pada masa sebelumnya secara aktual.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Melihat perjalanan sejarah, dalam berbagai bidang secara faktanya laki-laki selalu mendominasi dalam berbagai hal, seperti Duni intelektual,pemerintahan dan berbagai bidang sosial yang lainnya. Perlu diperhatikan secara seksama, artikel ini sejatinya bukanlah bentuk sentimen terhadap gerakan feminisme, tapi sebuah bacaan edukatif agar orang-orang dapat memahami jati dirinya sebagai manusia. Sebenarnya kesetaraan yang selalu di gaungkan bukanlah sesuatu yang sebenarnya harus selalu di tuntut, karena pada esensinya laki-laki dan wanita memang berbeda, bukanlah tindakan bijaksana jika kita mengelak pada hal tersebut.

Secara biologis, ukuran otak laki-laki lebih besar daripada wanita, bahkan bukan dalam ukuran otak, dalam postur tubuh dan vital pun sudah jelas berbeda. Hal yang ingin ditekankan disini adalah bahwa sebenarnya, hal biologis ini jelas dapat kita tarik dalam sisi psikologis, postur pria yang tercipta sebagai sosok yang perkasa jelas menimbulkan kesan maskulinitas dan perempuan yang anggun dan lemah lembut itu menimbulkan kesan feminitasnya pula. Bentuk yang beda jelas akan beda, seharusnya bentuk keadilan yang di gaungkan bukan perihal kesetaraan dalam berbagai hal, lebih tepatnya jangan menuntut.

Jika wanita menuntut suatu hal yang tak mungkin, itu sebenarnya adalah bentuk kekalahan dominasi terhadap perjalanan sejarah sebagai subjek yang kalah dalam pertarungan dominasi. Wanita harusnya memahami bahwa kita memang dilahirkan berbeda dengan segala intinya, sejarahpun sebenarnya sudah berjalan dengan semestinya. Ini bukan bentuk menyetujui penindasan wanita, tapi lebih ke penyadaran personal akan dirinya sendiri. 

Jika gerakan kebodohan akan kesetaraan gender itu terus berlanjut, karena wanita sejatinya tidak akan pernah bisa atau mampu untuk menjadi dan setara dengan laki-laki. Sebenarnya gugatan yang diajukan para feminisme radikal ini menjadi sesuatu yang rancu, mereka menuntut suatu hal yang sesuai dan setara. Tetapi secara biologis memang mereka tak akan mampu menjadi the real man, jangankan secara biologis, secara psikologis dan mindset pun tidak akan pernah sama.

Wanita pada dasarnya bukan dihargai lewat pencapaiannya tentang bagaimana ia melakukan suatu hal yang sama dengan laki-laki, tetapi mereka dihargai lewat bagaimana ia dapat menjadi sosok yang melampaui dirinya sendiri, dalam artian mereka mampu menjadi wanita yang seutuhnya. Wanita yang menjalankan fungsinya sebagai seorang wanita yang waras dan utuh, memahami kondisi psikologis dan biologisnya sekaligus menerimanya dengan senang hati.

Bukan dalam artian para laki-laki menentang penyetaraan dan superioritas wanita, tetapi wanita harus memahami bahwa menjadi dan setara dengan laki-laki bukanlah kodrat mereka sebagai manusia. Wanita tak akan mampu menanggung beban seorang laki-laki, karena sejatinya laki-laki sebagai subjek maskulin mempunyai tanggung jawab besar dalam kehidupannya dan orang disekitarnya. Walaupun sebenarnya pemikiran ini tidak dapat digeneralisasi tetapi penting untuk kita semua memahami, konsep kesetaraan sebenarnya adalah suatu hal yang utopis, karena sejatinya kita semua itu berbeda, tetapi secara holistik kita semua manusia punya hak untuk hidup, selebihnya ditentukan oleh kita sendiri dan sosial disekitar kita.

Ikuti tulisan menarik Kokowoyoo lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terkini

Ekamatra

Oleh: Taufan S. Chandranegara

5 jam lalu

Terpopuler