x

Ilustrasi Masalah Sosial. Gambar oleh Mifner dari Pixabay.com

Iklan

Bryan Jati Pratama

Penulis Indonesiana | Author of Rakunulis.com
Bergabung Sejak: 19 Desember 2022

Senin, 4 September 2023 18:42 WIB

Memberantas Loba, Mengentaskan Kerakusan

Slogan memberantas kemiskinan hanya efektif kepada dia yang meneriakkan. Sebab setelah menang pemilu, orang-orang memang menjadi kaya raya, khususnya dia sendiri dan golongannya. Dan seiring dengan itu, orang-orang tidak sadar kalau perlahan tapi pasti, hartanya digerogoti.

Dukung penulis Indonesiana untuk terus berkarya

Kemiskinan adalah coreng bagi rupa suatu negara, apalagi negara yang telah merdeka, tujuh puluh delapan tahun lamanya. Dulu Nelson Mandela pernah berkata, "Sementara kemiskinan terus berlanjut, tidak ada kebebasan sejati." Kalau demikianlah adanya, jika kemiskinan tetap membelenggu hidup rakyatnya, sebenarnya dari hal apakah negara itu merdeka? Penjajahan dilawan untuk mempertahankan apa yang menjadi milik kita, tetapi mengapa setelah penjajah angkat kaki, kita tetap saja miskin dan tidak punya apa-apa?

Begitu banyak slogan berceceran tentang pengentasan dan pemberantasan kemiskinan. Kadang muluk dan ambisius seperti target kemiskinan 0% pada tahun 2024 mendatang. Apakah mungkin? Mungkin saja. Apa yang tidak mungkin kalau Tuhan berkehendak? Tapi sudahkah kita melibatkan-Nya dalam program-program negara kita selain sebagai sebuah pengantar doa upacara dan urusan "atas nama"? Tidak ada satu pun agenda pemerintah di negeri keramat ini, yang ketika mengambil keputusan, direktur, menteri, presidennya bertanya, "Kalau menurut Tuhan, baiknya bagaimana?"

Semuanya diputuskan sendiri. Mereka menganggap bahwa mereka berdiri di atas telapak kaki yang bernama kemandirian. Mereka kira demokrasi itu bersayapkan kebebasan. Karenanya, Tuhan tidak perlu cawe-cawe urusan negara. Maka tidak heran kalau selama ini, segala tanggung jawab dari keputusan tersebut akan mereka pikul sendiri. Segala resikonya mereka rasakan sendiri, tanpa adanya Tuhan yang cawe-cawe menolong mereka.

Slogan memberantas kemiskinan hanya efektif kepada dia yang meneriakkan. Sebab setelah menang pemilu, orang-orang memang jadi kaya raya, khususnya dia sendiri dan golongannya. Dan seiring dengan itu, orang-orang tidak sadar kalau perlahan tapi pasti, hartanya digerogoti.

Lagian, kok ada orang sebegitu pede-nya meneriakkan mau memberantas kemiskinan sedangkan mereka mengemis-ngemis minta suara. Siapa sebenarnya yang lebih miskin? Yang memilih atau yang minta dipilih? Selain itu, Nabi saja tidak ada yang koar-koar mau memberantas kemiskinan. Kalau Nabi saja tidak begitu, mereka pikir mereka itu siapa? Yang Nabi basmi adalah sifat rakus, loba dan tamak yang berakar dari egosentrisme yang memandang diri secara berlebihan sehingga dia merasa perlu mendapatkan, memakan dan mengonsumsi, nguntal sesuatu dengan sama berlebihannya.

Apakah kerakusan itu bisa dibasmi oleh orang yang rakus? Oleh orang yang  meminta-minta kekuasaan? Apakah kemiskinan itu bisa diberantas oleh orang yang miskin? Oleh orang yang mengemis-ngemis suara? Jawabnya pasti: Tidak.

Yang bisa memberantas kerakusan adalah orang-orang yang berpuasa. Mereka yang sadar bahwa hidup adalah arena menahan diri. Dari segala bentuk godaan dan segala macam pelampiasan. Mereka yang selalu "merasa cukup dengan", bukan "merasa cukup dari". Mereka tidak mengumbar kebebasan tapi tahu batasan. Dan hanya orang yang tahu bataslah yang mengerti apa arti sesungguhnya dari kemerdekaan.

Yang bisa mengentaskan kemiskinan hanyalah orang-orang kaya. Mereka cukup kaya untuk tidak jadi peminta-minta. Karena kaya, mereka tidak butuh apa-apa. Mereka tidak butuh pangkat dan jabatan sebagaimana diidam-idamkan oleh orang kebanyakan. Seperti Ibn Arabi, "Mereka memberi semua yang ada dan menerima segala rupa." Mereka yang kaya adalah yang paling sedikit keperluannya. Mereka memiliki segalanya karena tidak mendua. Hanya ada Tuhan di depan mata mereka. Tuhan yang memiliki mereka, bukan sebaliknya.

Masalahnya, negeri ini tidak memungkinkan orang-orang seperti itu bisa naik ke jabatan politis yang menelurkan kebijakan-kebijakan strategis. Kebijakan yang benar-benar bijaksana, tidak sekadar keputusan yang cuma memutus. Ketika negarawan kelas satu tidak menjabat, jabatan akan diisi oleh orang-orang kualitas kelas dua. Bagaimana jika yang tidak bisa menjabat itu tidak hanya kelas satu, melainkan sampai kelas seratus? Ya, jabatan akan diisi oleh orang kelas seratus satu. Sesederhana itu.

Maka kemiskinan hanyalah salah satu dari sekian produk turunan dari kerakusan yang lahir dari sebuah sistem yang gagal. Mengapa gagal? Karena di negeri ini, tidak ada yang peduli soal kerakusan. Sehingga yang tampak terlihat adalah agenda setiap pemimpinnya selalu sibuk membersihkan lantai dari kotoran tikus, ribut mencari formula cairan pembersih yang paling wangi, serta tak kalah repot menggonta ganti kain pel tanpa pernah sekalipun membunuh tikusnya.

Ikuti tulisan menarik Bryan Jati Pratama lainnya di sini.


Suka dengan apa yang Anda baca?

Berikan komentar, serta bagikan artikel ini ke social media.












Iklan

Terpopuler

Terpopuler